LEGISLASI: RUU Kejaksaan Berpotensi Timbulkan Diskriminasi

JAKARTA, KOMPAS — Rancangan Undang-Undang Kejaksaan yang kini tengah diharmonisasi oleh Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat dikritik kalangan masyarakat sipil. Sejumlah pengaturan di dalam RUU Kejaksaan itu berpotensi mengganggu kebebasan sipil, termasuk dalam menjalankan kebebasan beragama dan beribadah.

Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Supratman Andi Agtas mengatakan, saat ini, RUU itu masih diharmonisasi oleh Baleg DPR. Artinya, RUU Kejaksaan sedang diperiksa apakah ada pertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lain, termasuk dengan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi. Sesuai dengan ketentuannya, seusai diharmonisasi, RUU Kejaksaan itu akan dikembalikan kepada Komisi III DPR selaku pengusul.

”Saat ini belum selesai diharmonisasi. Setelah diharmonisasi baru dapat dikembalikan kepada pengusul,” ujarnya, ketika dihubungi, Rabu (9/9/2020).

Sejumlah masukan juga disampaikan oleh anggota Baleg DPR terhadap substansi RUU Kejaksaan. Salah satunya ialah agar ada pengawasan yang kuat terhadap kejaksaan. Sebab, selama ini sekalipun ada Komisi Kejaksaan (Komjak), rekomendasi dari Komjak acap kali tidak didengarkan oleh kejaksaan.

Anggota Baleg DPR dari Fraksi Partai Demokrat, Hinca Pandjaitan, yang dihubungi sebelumnya mengatakan, RUU Kejaksaan itu mencantumkan sejumlah kewenangan yang luas.

Salah satunya yang dicantumkan di dalam Pasal 30 Ayat 5 RUU Kejaksaan. Dalam pasal dan ayat tersebut, kejaksaan memiliki wewenang dan tugas di bidang ketertiban dan ketenteraman umum, yang meliputi penyelidikan, pengamanan, dan penggalangan guna mendukung kegiatan dan kebijakan penegakan hukum.

”Ini baru tahapan harmonisasi dan pembulatan ide. Belum masuk ke substansi. Kalau sudah selesai dari Baleg, akan diserahkan kepada Komisi III DPR guna membahas substansinya,” ujar Hinca.

Dalam tahapan harmonisasi, lazimnya Baleg tidak mengubah substansi RUU yang diajukan, tetapi hanya dapat memberikan catatan-catatan jika ada pertentangan antara materi RUU dan UU atau peraturan lainnya. Khusus untuk pembahasan substansinya, dan perubahan materi, hal itu menjadi kewenangan lembaga pengusul. Dalam hal ini, Komisi III DPR selaku lembaga pengusul dapat melakukan revisi dan pembahasan ulang dalam penyusunan draf RUU Kejaksaan, sebelum draf itu diserahkan kepada pimpinan dan dimintakan persetujuan sebagai RUU inisiatif DPR.

Baca juga : Baleg Soroti Kewenangan Penyadapan Kejaksaan 

Di sisi lain, substansi RUU Kejaksaan telah menjadi bahan telaah dari kalangan masyarakat sipil.

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan, substansi Pasal 30 Ayat 5 revisi UU Kejaksaan yang saat ini tengah diharmonisasi oleh Baleg berpotensi menebalkan diskriminasi atas nama agama dan kepercayaan. Sebab, di dalam huruf e, disebutkan kewenangan kejaksaan untuk mengawasi aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara. Sementara di huruf f, kejaksaan berwenang mencegah penyalahgunaan dan atau penodaan agama.

Wewenang dan tugas itu memiliki sejumlah masalah, terutama terkait dengan pengawasan terhadap aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara, dinilai sebagai bentuk diskriminasi. Diskriminasi ini berakar pada stigma yang ada dalam UU No 1/PNPS/1965.

”Mahkamah Konstitusi telah memutuskan di dalam Putusan MK 97/PUU-XIV/2016, hak dasar untuk menganut agama, yang di dalamnya mencakup hak untuk menganut kepercayaan terhadap Tuhan YME, adalah bagian dari hak asasi manusia dalam kelompok hak-hak sipil dan politik. Oleh karena itu, pengawasan terhadap aliran kepercayaan tertentu berpotensi diskriminatif,” ujarnya.

Selain itu, kewenangan untuk mencegah penodaan agama dinilai sebagai pengekalan diskriminasi terhadap kelompok minoritas keagamaan dan keyakinan. Ketiadaan definisi penodaan agama telah membuat berbagai tindakan dihukum dengan kriteria yang sama, yaitu penodaan agama.

”Tentu hal ini merupakan pelanggaran terhadap asas legalitas; lex scriptalex certa, dan lex stricta. Penodaan agama juga merupakan tindak pidana yang ada sebelum Indonesia menjadi negara pihak Kovenan Hak Sipil dan Politik. Menjadi kewajiban Indonesia untuk melakukan harmonisasi dan bukannya mengekalkan bentuk-bentuk diskriminasi berbasis agama/keyakinan yang ada sebelumnya,” kata Usman.

Terkait hal itu, Usman mendorong agar dalam penyusunan RUU Kejaksaan, DPR melibatkan dan menyerap aspirasi publik, khususnya kelompok minoritas dan rentan. Selain itu, materi dalam RUU harus diselaraskan dengan peraturan perundang-undangan yang lain dan norma HAM internasional yang telah diratifikasi dan menjadi hukum Indonesia.

KOMPAS, KAMIS, 10092020 Halaman 9.

Print Friendly, PDF & Email

Share this post:

Related Posts

Comments are closed.