JAKARTA, KOMPAS – Di tengah terus terjadinya kasus kebocoran data pribadi, pembahasan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi di DPR justru terhenti. Pasalnya, Badan Musyawarah DPR tidak kunjung memperpanjang pembahasan rancangan undang-undang yang diharapkan dapat mencegah terus berulangnya kasus kebocoran tersebut.
Pembahasan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP) yang dimulai September 2020 terhenti sejak April 2021. Pembahasan terhenti karena pembahasan RUU itu oleh Panitia Kerja (Panja) RUU PDP DPR dan pemerintah telah berlangsung selama tiga masa persidangan DPR yang menjadi batas waktu pembahasan RUU seperti diatur di Tata Tertib DPR. Untuk melanjutkan pembahasan, harus terlebih dulu dibahas dan diputuskan dalam Badan Musyawarah (Bamus) DPR.
Namun hingga Rabu (9/6/2021), Ketua Panja RUU PDP yang juga Wakil Ketua Komisi I DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Abdul Kharis Almasyhari mengatakan, perpanjangan pembahasan RUU PDP belum dibahas dalam rapat Bamus DPR. ”(Kelanjutan pembahasan) masih menunggu Bamus,” ujarnya.
Bamus dipimpin oleh Ketua DPR Puan Maharani. Puan memimpin didampingi empat wakil ketua DPR dan beranggotakan pimpinan alat kelengkapan DPR (AKD) dan perwakilan fraksi. Bamus bertugas menetapkan agenda DPR untuk satu tahun sidang, satu masa persidangan, atau sebagian dari suatu masa sidang. Selain itu, Bamus juga bertugas memperkirakan waktu penyelesaian suatu masalah dan jangka waktu penyelesaian RUU tanpa mengurangi kewenangan rapat paripurna untuk mengubahnya.
Baca juga: Kembali Terulang, Jutaan Data Kependudukan Diperjualbelikan
Anggota Bamus DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN), Saleh Partaonan Daulay, mengungkapkan, sebenarnya tidak ada kendala di Bamus untuk menentukan jadwal pembahasan lanjutan RUU PDP. Belum adanya jadwal ditengarai karena masih ada kendala pada pembahasan di Komisi I.
Menurut dia, kemungkinan penjadwalan akan dibahas pada rapat Bamus berikutnya. Ditanyakan kapan, ia mengatakan jadwal rapat ditentukan pimpinan Bamus.
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, menilai, sikap Bamus telah menghambat pembahasan RUU PDP. Semestinya tidak ada alasan bagi Bamus DPR untuk menunda penjadwalan agenda karena kewenangannya terkait dengan koordinasi, bukan substansi RUU. Ia menduga, ada kepentingan tertentu yang membuat Bamus DPR menahan laju pembahasan RUU PDP.
Oleh karena itu, menurut Lucius, perlu ada dorongan dari Panja RUU PDP agar Bamus segera menjadwalkan kelanjutan pembahasan RUU tersebut. ”Panja RUU PDP paling paham dengan urgensi dan kebutuhan RUU ini sehingga punya alasan jelas untuk mendorong Bamus menjadwalkan agenda pembahasan lanjutan,” ujar Lucius.
Mendesak
Praktisi digital forensik Ruby Alamsyah kembali mengingatkan urgensi dari UU PDP. Sebab, peretasan yang berlanjut pada penjualan data pribadi penduduk kian sering terjadi.
Pada awal Juni 2021, data yang diduga kuat identik dengan data yang dikelola oleh empat dinas kependudukan dan pencatatan sipil dijual di situs forum peretas Raid Forums.
Sebelumnya, hal serupa terjadi pada data yang diduga dikelola BPJS Kesehatan pada Mei 2021. Tahun sebelumnya, data dari platform e-dagang Tokopedia dan Bukalapak yang jadi sasaran.
Menurut Ruby, tiga tahun terakhir kebocoran data meningkat, baik secara kuantitas maupun kualitas. Peningkatan itu membuat komponen data penduduk yang terekspos kian lengkap. Potensi memanfaatkannya untuk kepentingan tertentu juga kian meningkat.
Pemerintah dan DPR diminta untuk tidak meributkan soal otoritas pengawas pengelolaan data terus-menerus. Persoalan itu juga semestinya tidak dijadikan alasan untuk memundurkan pembahasan RUU. ”Hak masyarakat mendapatkan perlindungan seharusnya diprioritaskan, bukan lagi soal siapa pengawasnya,” kata Ruby.
Untuk diketahui, saat pembahasan RUU PDP masih berlangsung, terjadi perbedaan pendapat terkait otoritas pengawas pengelolaan data pribadi. Panja RUU PDP DPR menilai, lembaga itu seharusnya independen. Adapun Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) menghendaki lembaga pengawas itu berada di bawah Kemenkominfo.
Revisi UU ITE
Sementara itu, dalam rapat dengan Komisi III DPR, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly menyampaikan keseriusan pemerintah untuk merevisi UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Revisi terbatas pada empat pasal, yaitu Pasal 27, 28, 29, dan 36, ditambah satu pasal penjelasan.
”Revisi terbatas UU ITE itu akan kami lakukan. Pemerintah sudah tegaskan supaya pasal itu jangan karet, pasal akan dipertegas supaya tidak multitafsir,” ucapnya.
Baca juga: Menkumham: Pasal di UU ITE Jangan Karet, Jangan Multitafsir
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Gerindra, Habiburokhman, berharap, revisi terbatas UU ITE dapat menghentikan kriminalisasi dengan pasal-pasal karet di UU ITE, terutama bagi orang-orang yang kritis terhadap pemerintah seperti selama ini kerap terjadi.
Adapun terkait dengan rencana penambahan satu pasal baru, peneliti di The Indonesian Institute, Hemi Lavour Febrinandez, khawatir hal itu justru akan menambah masalah baru.
”Pasal baru yang akan menjelaskan tentang keonaran ini dikhawatirkan justru akan mengancam kebebasan berekspresi atau digunakan oleh kelompok tertentu untuk memenjarakan seseorang. Sebab, frasa dapat menyebabkan keonaran itu bisa ditafsirkan bebas oleh pelapor dan penegak hukum,” katanya.
KOMPAS, Kamis 10062012 Halaman 2.