PP Gambut Terbuka Untuk Direvisi

JAKARTA – Kementerian Kehutanan (Kemenhut) menyatakan bahwa PP No 71 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut terbuka untuk direvisi dengan mengajukan evaluasi melalui gugatan proses hukum. Bagi pemangku kepentingan di sektor kehutanan yang merasa keberatan dengan kehadiran PP itu bisa menempuh upaya tersebut.
Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan mengatakan, PP Gambut dirancang atas inisiatif Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) sedangkan Kemenhut menyepakati ketentuan yang diatur dalam PP tersebut termasuk soal penetapan kawasan lindung gambut dan batas paling rendah muka air gambut. “Tidak bisa jika kami menolak sendiri, PP itu kesepakatan antarlembaga pemerintah. Ini negara demokrasi dan hukum, silakan tempuh proses revisi dan evaluasi melalui proses hukum jika memang keberatan dengan PPGambut ini,” kata dia di Jakarta, Senin (29/9).
PP Gambut yang baru disahkan menuai banyak protes dari kalangan pelaku usaha, akademisi, juga lembaga swadaya masyarakat (LSM). Beberapa ketentuan yang kontraproduktif dalam PPGambut adalah penetapan kawasan lindung seluas 30% dari seluruh kesatuan hidrologis gambut. Selain itu, gambut juga ditetapkan berfungsi lindung jika memiliki ketebalan lebih dari 3 meter. Yang dinilai paling memberatkan adalah ketentuan yang menyatakan bahwa muka air gambut ditetapkan minimal 0,4 meter, atau bakal dinyatakan rusak.
Ketua Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) bidang Hutan Tanaman Industri (HTI) Nana Suparna mengatakan jika PP Gambut ini di­ terapkan maka semua HTI di gambut secara otomatis akan menghentikan kegiatannya. Potensi kerugian yang ditimbulkan pun sangat besar mencapai Rp 103 triliun per daur tanam selain itu kematian juga mengancam industri hilir pengguna bahan baku kayu HTI, pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran dikhawatirkan juga terjadi.
Nanamenyebutkan, saat ini saja HTI yang terhenti operasionalnya karena berbagai kendala ekonomi seperti konflik lahan, regulasi tumpang tindih termasuk pungutan dan iuran, sudah puluhan unit. APHI memprediksi dengan berlakunya RPP gambut, HTI yang aktif akan berkurang lagi, menjadi 27% dari 45% yang kini aktif, karena 60% dari HTI yang beroperasi adalah HTI gambut.
Sementara itu, Koalisi organisasi masyarakat sipil untuk penyelamatan hutan Indonesia dan iklim global mengkritik tindakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang menandatangani PPNo 71 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut. Sebab, PP itu tidak memuat subtansi perlindungan yang menyeluruh terhadap ekosistem gambut yang unik dan rentan.
Citra Hartati dari Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) me­ minta pemerintah meninjau kembali PP tersebut. Jangan sampai PP itu justru merugikan dan menambah ke­rusakan lingkungan hidup. Keha­ di­ran PP itu dikhawatirkan membuat pemerintah tunduk kepada korporasi dalam perencanaan. Pengelolaan lahan gambut itu tiada menguntungkan. “Jadi ketika ada yang menyebutkan pengelolaan gambut bisa membuat emisi karbon berkurang itu tidak be­nar. Yang terjadimalahbertambah,” kata dia dalam konferensi pers, pekan lalu.
Citra juga menyayangkan PP tersebut tidak bisa diakses masyarakat melalui website resmi pemerintah seperti setkab.go.id. Hal ini bertolak belakang dengan komitmen Presiden SBY untuk menjalankan transparansi dalam tata kelola pemerintah yang baik. Terhitung sejak Oktober 2013 telah beredar 4 draf rancangan PP (RPP) Gambut. “Namun keempat draf itu tidak menekankan esensi perlin­ dungan gambut secara total danmasih membuka peluang perusakan gambut oleh korporasi,” kata dia.
Citra mengatakan, masih banyak pasal yang melemahkan perlindungan gambut secara total yang mana itu dapat berimplikasi kepada berlanjutnya bencana asap di masa mendatang dan munculnya generasi muda yang sakitsakitkan. Berdasarkan draf terakhir, PP Gambut masih mengklasifikasikan ekosistem gambut berdasarkan ketebalannya. Dengan dasar itu, PP ini memberikan kewenangan kepada menteri untuk mengelompokan ekosistem gambut menjadi ekosistem dengan fungsi lindung dan budidaya. “Pembedaan dua jenis ekosistem gambut ini ada pada kriteria baku kerusakan ekosistemnya,” ujar dia.
Citra menilai dalam perspektif eko­ logis, hal itu tentu menjadi masalah, sebab ekosistem gambut adalah satu kesatuan ekosistem. Pengelolaan di satu bagian ekosistem gambut akan memberikan pengar uh terhadap bagian lain. Namun dalam praktiknya akan terjadi bencana ekologis kalau izin pengelolaan ekosistem gambut budidaya diberikan di hamparan yang terdapat ekosistem gambut dengan fungsi lindung. Sebagai konsekuen­ sinya, PP ini justru mendelegasikan penentuan kriteria baru kerusakan ekosistem gambut dengan kedalaman kurang dari 1 meter kepada penerbit izin lingkungan. “Dengan demikian, nanti tidak akan ada lagi standar yang sama mengenai kriteria baku kerusakan ekosistemgambut dengan kedalaman kurang dari 1 meter,” kata Citra.
Permisif bagi Korporasi
Kurniawan Sabar dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mengatakan, kehadiran PP Gambut akan membuat masyarakat yang tinggal dekat lahan gambut akan sangat rentan tergusur dari ruang hidupnya dan kelolanya. “Dengan skema ekosistem gambut yang sekarang yang mana korporasi atau unit usaha yang justru membuka efek kerusakan pada gambut akan terus lanjut, sehingga masyarakat akan tertutup akesnya,” ujar Kurniawan.
Ia mengatakan, Walhi banyak menemukan baik dari laporan atau melihat langsung ke lapangan bahwa praktikpraktik kearifan lokal itu mampu menjaga dan melindungi kelestarian gambut. Justru skema korporasi inilah yang menjadi aktor utama dalam kerusakan tersebut. PP Gambut lebih bersifat permisif terhadap koorporasi itu sendiri dibanding masyarakat. Sejak awal pembahasan Oktober 2013, Walhi sudah memberikan pandangan dan kritikan. “Harus ada perlindungan secara menyeluruh terhadap ekosistem gambut. Jadi tidak dipeta-petakan antara wilayah fungsi untuk perlindungan dan budidaya. Karena satu kesatuan yang tidak terpisah. Kami telah menyarankan bahwa pelestarian ekosistem gambut harus diletakkan berdasarkan kearifan lokal,” ujar dia.
Teguh Sur ya dari Greenpeace mengatakan, PP Gambut memiliki subtansi sangat lemah dan kompromitis. Selain itu mengakomodir perusahaan-perusahaan besar untuk investasi gambut. Dampaknya, Indonesia bisa terancam gagal mengurangi emisi karbon dan mengurangi intesitas kebakaran hutan. Ini suatu kemunduran bagi SBY dalam perlin­ dungan lingkungan. Seharusnya, SBY menyelesaikan jabatan dengan warisan yang kuat dan hijau. (leo/tl/ant)
Investor Daily, Selasa 30 September 2014, hal. 7

Print Friendly, PDF & Email

Share this post:

Related Posts

Comments are closed.