LEGISLASI: Lakukan Perbaikan UU Cipta Kerja Sesuai Prosedur

JAKARTA, KOMPAS – Kesalahan penulisan masih dijumpai dalam Undang-Undang Cipta Kerja setelah UU itu ditandatangani Presiden Joko Widodo dan diundangkan di lembaran negara. Perbaikan atas kesalahan itu mesti dilakukan dengan memakai mekanisme yang disediakan oleh hukum, misalnya pemerintah atau DPR mengajukan revisi atas UU itu.

Kesalahan itu, antara lain, ditemukan pada Pasal 6 di Bab III. Pasal itu berbunyi, ”Peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 Ayat (1) huruf a meliputi….” Namun, Pasal 5 Ayat (1) yang dirujuk ternyata tak ada di Undang-Undang (UU) Cipta Kerja.

Kekeliruan rujukan juga tertera pada Pasal 175 di Bab XI, persisnya di Pasal 53 Ayat (5). Ayat (5) di Pasal 53 itu merujuk ke Ayat (3). Padahal, semestinya yang dirujuk adalah Ayat (4). Sebab, Ayat (3) tak terkait dengan maksud di Ayat (5).

Menteri Sekretaris Negara Pratikno, dalam keterangan tertulis, Selasa (3/11/2020), mengakui adanya kekeliruan teknis penulisan dalam UU Cipta Kerja. Namun, menurut Pratikno, kesalahan tersebut tidak akan berpengaruh pada implementasi dari UU Cipta Kerja. ”Kekeliruan bersifat teknis administratif sehingga tak berpengaruh terhadap implementasi UU Cipta Kerja,” katanya.

Baca juga: Istana Akui Ada Kesalahan di UU Cipta Kerja

Ia menjelaskan, Kementerian Sekretariat Negara (Kemsetneg) sebenarnya sudah memeriksa draf UU Cipta Kerja setelah dokumen UU itu diserahkan DPR. Dari hasil pemeriksaan, sejumlah kekeliruan teknis ditemukan dan sudah dimintakan persetujuan Sekretariat Jenderal DPR untuk dilakukan perbaikan bersama. Namun, ternyata kesalahan masih ditemukan setelah UU itu ditandatangani Presiden pada 2 November lalu.

Menurut Pratikno, kekeliruan teknis tersebut akan menjadi catatan bagi pemerintah untuk terus menyempurnakan kendali kualitas terhadap produk regulasi. Dengan demikian, diharapkan kesalahan teknis, seperti yang ditemukan dalam UU Cipta Kerja, tidak terulang lagi.

Kekeliruan kerap terjadi
Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR dari Fraksi Partai Nasdem Willy Aditya menduga, kekeliruan tersebut terjadi saat UU Cipta Kerja masih dibahas oleh pemerintah dan DPR.

”Nanti diperbaiki Setneg dalam Distribusi II. Dulu pernah ada preseden pada UU No 13/2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban serta UU No 49/2008 tentang Pembentukan Kabupaten Mesuji, yaitu terjadi kekeliruan teknis penulisan saat diundangkan. Lalu, dilakukan revisi dan dikeluarkan Distribusi II atas UU yang telah diperbaiki itu,” ujar Willy.

Sebelumnya, sejumlah kesalahan juga dijumpai saat DPR merilis kepada wartawan RUU Cipta Kerja yang telah disetujui oleh Rapat Paripurna DPR untuk disahkan menjadi UU pada 5 Oktober lalu (Kompas, 14/10). Setelah DPR menyerahkan dokumen itu kepada pemerintah pada 14 Oktober lalu, Kemsetneg mengoreksi Pasal 46 UU Migas di UU Cipta Kerja, (Kompas, 24/10).

Ketua Baleg DPR dari Fraksi Partai Gerindra Supratman Andi Agtas kala itu mengatakan, koreksi dilakukan untuk disesuaikan dengan keputusan pemerintah dan DPR saat RUU Cipta Kerja masih dibahas.

Mekanisme konstitusional
Pengajar Hukum Tata Negara dari Sekolah Tinggi Hukum Jentera, Bivitri Susanti, mengatakan, mekanisme penerbitan Distribusi II untuk memperbaiki kesalahan teknis di sebuah UU tidak diatur dalam UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Sekalipun ada preseden sebelumnya, hal itu tidak menjustifikasi tindakan revisi sebagai sesuatu yang benar secara hukum.

”Jadi, kesalahan di Pasal 6 dan 175 UU Cipta Kerja tidak bisa diperbaiki secara sembarangan,” katanya.

Direktur Pusat Studi Hukum dan Teori Konstitusi Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, Umbu Rauta menambahkan, jika ada kesalahan substansi dan redaksional di sebuah UU, untuk memperbaikinya harus melalui mekanisme yang konstitusional, yaitu pemerintah atau DPR mengajukan revisi atas UU tersebut.

Adapun Direktur Advokasi dan Jaringan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia Fajri Nursyamsi menilai, kesalahan dalam UU Cipta Kerja melanggar asas kejelasan rumusan yang diatur dalam Pasal 5 Huruf f UU No 12/2011. Kesalahan itu kian menunjukkan bahwa UU Cipta Kerja cacat formil. Karena itu, harus dipertimbangkan secara serius oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dalam menindaklanjuti permohonan uji formil atas UU tersebut.

Baca juga: UU Cipta Kerja Bakal Menambah Panjang Daftar Konflik Lahan di Kalteng

Setelah UU Cipta Kerja diundangkan, kalangan buruh langsung mengajukan uji konstitusionalitas UU tersebut ke MK.

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengatakan, gugatan KSPI dan Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia pimpinan Andi Gani Nena Wea telah didaftarkan ke MK. ”Untuk pertama kali, (kami melayangkan) uji materiil dan menyusul uji formil,” ujar Said.

KOMPAS, RABU, 04 Nopember 2020 Halaman 1.

Print Friendly, PDF & Email

Share this post:

Related Posts

Comments are closed.