JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah telah menyerahkan usulan konsep Rancangan Undang-Undang Badan Pembinaan Ideologi Pancasila sebagai jawaban atas draf RUU Haluan Ideologi Pancasila yang dikirimkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Namun, substansi RUU BPIP dan kemungkinan perubahan nomenklatur dari RUU HIP menjadi RUU BPIP itu pun masih mengundang pro dan kontra.
Usulan konsep RUU BPIP sebagai pengganti RUU HIP itu disampaikan oleh rombongan sejumlah menteri yang dipimpin oleh Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD, Kamis (16/7/2020). Menteri yang hadir ialah Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Tjahjo Kumolo, Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, dan Menteri Sekretaris Negara Pratikno.
Adapun pimpinan DPR hadir lengkap, yakni Ketua DPR Puan Maharani dan para wakilnya, Azis Syamsuddin, Sufmi Dasco Ahmad, Muhaimin Iskandar, dan Rachmat Gobel.
Baca juga : Pemerintah Serahkan RUU BPIP
Direktur Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Jember Bayu Dwi Anggono menyampaikan, dari proses legislasi, yang dilakukan pemerintah atau presiden telah sesuai Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Di dalam UU tersebut, pemerintah memiliki waktu 60 hari untuk merespons surat dari DPR terkait usulan RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP).
Terhadap RUU inisiatif DPR tersebut, presiden berhak berbeda pendapat dengan DPR, baik judul maupun substansi RUU.
”Ini, kan, masih dalam tenggat yang diatur di UU. Jadi, dari aspek proses legislasi, yang dilakukan pemerintah atau presiden sesuai dengan proses legislasi,” ujar Bayu.
Menurut Bayu, terhadap RUU inisiatif DPR tersebut, presiden berhak berbeda pendapat dengan DPR, baik judul maupun substansi RUU. Perubahan menjadi RUU Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), tambah Bayu, merupakan hasil dari menerima masukan publik serta hasil upaya membangun konsensus dengan berbagai kelompok organisasi masyarakat serta tokoh masyarakat.
”Artinya, titik persetujuannya adalah kalau RUU itu hanya mengatur BPIP, tidak mengatur tafsir sila-sila Pancasila sebagaimana RUU HIP,” ucap Bayu menjelaskan.
Namun, menurut Bayu, pembahasan RUU BPIP di DPR kelak juga harus tetap dikawal agar tidak ada substansi RUU BPIP yang keluar dari pembinaan ideologi oleh BPIP. Pembinaan ideologi oleh BPIP tidak boleh kembali ke masa era Orde Baru yang indoktrinatif dan menjadi alat penguasa. Dengan begitu, model pembinaan ideologi Pancasila harus berbasis penghormatan pada hak asasi manusia, negara hukum demokratis, dan supremasi konstitusi.
”Model-model pembinaan oleh BPIP juga perlu disesuaikan dengan konteks negara hukum demokratis, partisipatif, akuntabel, edukatif. Sifatnya adalah pengikutsertaan masyarakat dalam konteks pembinaan ideologi Pancasila. Pengawasan DPR juga harus berjalan. Pembahasan RUU nanti harus seperti itu,” tutur Bayu.
Dengan adanya 17 pasal di RUU BPIP, Bayu menduga itu hanya mengatur tugas, struktur, fungsi BPIP. Dia menyarankan, sebaiknya BPIP sebatas mengoordinasikan dan menyinkronisasikan pembinaan ideologi Pancasila. Sebab, semua lembaga negara dan seluruh kelompok masyarakat wajib ikut melakukan pembinaan ideologi Pancasila.
”BPIP hanya membantu presiden untuk menyusun arah kebijakan pembinaannya. Kemudian, BPIP menyusun strandardisasinya. BPIP menyusun gimana pembinaan itu dilakukan secara terencana, terpadu, dan sistematis, dengan mengikutsertakan lembaga negara,” kata Bayu lagi.
Tak hanya itu, lanjut Bayu, segala masukan dan perbedaan pendapat terkait RUU BPIP kelak juga harus diakomodasi oleh pemerintah dan DPR. Itu dilakukan dalam hal penyempurnaam tugas, struktur, fungsi BPIP.
”Konteks keterwakilan BPIP saat ini sudah baik. Di BPIP sudah ada representasi kelompok agama, representasi tokoh masyarakat dan tokoh bangsa. Memang harus begitu agar BPIP tidak menjadi genggaman presiden. Mencerminkan keindonesiaan. Itu yang harus dijaga agar posisi representasi yang ada di pengarah memang mencerminkan representasi agama, kelompok masyarakat, dan tokoh bangsa,” ujar Bayu.
Perlu argumentasi jelas
Pengajar Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas, Padang, Charles Simabura, mengatakan, mengubah nomenklatur RUU tidak semudah membalikkan telapak tangan. Artinya, tidak bisa serta-merta sebuah RUU dapat diubah namanya atau substansinya. Pembuat UU terlebih dulu harus menarasikan atau memberikan argumentasi yang jelas mengapa suatu RUU itu perlu dibuat, termasuk apabila ada kemungkinan suatu RUU itu harus diubah nama dan substansinya.
Sebuah RUU dibentuk, antara lain, karena ada kebutuhan masyarakat, merespons kekosongan hukum, dan menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Dari berbagai syarat itu, apakah RUU BPIP memenuhi satu di antaranya, hal itu dinilai perlu dielaborasi oleh pemerintah lagi.
”Harus ada kajiannya dulu, kenapa BPIP itu perlu diatur di dalam UU. Kan, tidak bisa juga semua lembaga diatur ke dalam UU. Apakah BPIP itu perlu diatur di dalam UU, itu dulu yang harus dijelaskan oleh pemerintah. Bukan sekadar soal mengubah nama dan susbtansi RUU,” katanya.
BPIP pun selama ini dipandang tetap bisa bekerja sekalipun payung hukumnya hanya peraturan presiden. Sejumlah lembaga yang diatur dengan UU, menurut Charles, sebagian besar merupakan turunan dari aturan konstitusi, semisal Komisi Pemilihan Umum (KPU), Komisi Yudisial (KY), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan lembaga negara lainnya. Khusus untuk BPIP, kaitannya dengan konstitusi harus dijelaskan sehingga ada argumentasi yang kuat mengapa perlu ada UU yang mengatur lembaga itu.
Harus ada kajiannya dulu, kenapa BPIP itu perlu diatur di dalam UU. Kan, tidak bisa juga semua lembaga diatur ke dalam UU.
”Seperti Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisikan (BMKG), itu kan hanya dipayungi dengan perpres. Nah, lalu di mana posisi BPIP ini, apakah tidak cukup dengan perpres saja dan mengapa harus dengan UU. Terlebih lagi nanti di mana posisi BPIP ini di dalam posisi ketatanegaraan kita. Sebab, sudah ada MK dan MPR, yang sama-sama punya peran menjaga Pancasila dan konstitusi,” katanya.
Baca juga : Pemerintah Usulkan Konsep RUU BPIP sebagai Pengganti RUU HIP
Sementara itu, Wakil Ketua DPR dari Fraksi Gerindra Sufmi Dasco Ahmad mengatakan, RUU HIP belum dipastikan untuk dicabut karena masih perlu untuk dikaji kembali dalam sidang DPR yang terdekat setelah reses. DPR juga baru menerima surpres pada Kamis, beserta usulan konsep RUU BPIP.
”Mari berkepala dingin. Saya akan ajak fraksi-fraksi yang ada, kita akan menyikapi surat dari pemerintah. Kita perlu waktu menelaah dan mengkaji, mendalami, dalam waktu sidang terdekat setelah reses,” katanya.
KOMPAS, JUM’AT, 17072020 Halaman 2.