JAKARTA, KOMPAS — Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan atau Komnas Perempuan menyesalkan usulan DPR untuk menarik Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual dari Program Legislasi Nasional 2020. Jika tak juga disahkan tahun ini, regulasi itu akan menambah lama upaya pemenuhan keadilan bagi korban kekerasan seksual.
Anggota Komnas Perempuan, Dewi Kanti, menyampaikan hal tersebut, Rabu (1/7/2020).
Menurut dia, tingginya angka kekerasan seksual terhadap perempuan seharusnya menjadi pertimbangan DPR sebelum mengusulkan untuk menarik Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) dari Program Legislasi Nasional Prioritas (Prolegnas) 2020.
”Padahal, sejak tahun 2016, RUU PKS itu sudah masuk Prolegnas. Dari pemantauan Komnas Perempuan, sepanjang 2011-2019, tercatat ada 46.698 kasus kekerasan seksual di ranah personal atau publik terhadap perempuan,” katanya.
Dari catatan Kompas, RUU tersebut juga merupakan RUU yang didesakkan oleh kalangan masyarakat sipil untuk segera disahkan pemerintah dan DPR. Unjuk rasa besar-besaran yang dilakukan oleh mahasiswa, akhir September 2019, salah satu tuntutannya ialah segera mengesahkan RUU PKS.
Baca juga: RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Ditunda, Keadilan bagi Korban Terhambat
Seperti diberitakan sebelumnya, RUU PKS menjadi satu di antara 13 RUU inisiatif DPR yang diusulkan Badan Legislasi (Baleg) DPR ditarik dari Prolegnas 2020.
Alasannya, pandemi Covid-19 membuat kerja legislasi DPR tidak bisa optimal sehingga tak semua RUU di Prolegnas, total sebanyak 50 RUU, bisa dituntaskan tahun ini. Di sisi lain, jika target Prolegnas tidak diturunkan, dan pada akhirnya banyak RUU tak bisa dituntaskan, DPR khawatir publik akan menilai negatif kinerja DPR. Sebab, publik selalu melihat capaian pengesahan RUU sebagai salah satu indikator penilaian kinerja DPR.
Baca juga: DPR Turunkan Target Prolegnas karena Pandemi Covid-19
Terkait evaluasi Prolegnas 2020 itu, peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus melihat, perencanaan Prolegnas tidak dilakukan dengan ukuran yang jelas. Ini mengulang tahun-tahun sebelumnya. Sekalipun tak ada pandemi Covid-19, kinerja legislasi untuk menuntaskan RUU dalam Prolegnas tak pernah optimal.
”Evaluasi di tengah tahun ini memang agak aneh dan tidak lazim dilakukan oleh DPR. Sebab, dari dulu memang DPR dari tahun ke tahun tidak optimal dalam menyelesaikan target legislasinya. Pada perencanaan tahun-tahun berikutnya, aspek manajemen itu tetap tidak dijadikan evaluasi karena jumlah RUU yang ditargetkan tetap banyak, bahkan jauh lebih banyak dari tahun-tahun sebelumnya,” kata Lucius.
Wakil Ketua Baleg DPR Willy Aditya mengatakan, evaluasi itu dilakukan untuk mengukur kapasitas dan kemampuan DPR dalam menyelesaikan target legislasi. Situasi pandemi membuat kerja legislasi tidak optimal dilakukan.
Oleh karenanya, supaya beban lembaga lebih terukur dalam menuntaskan legislasi, evaluasi dilakukan.
”Hampir di semua komisi ada RUU yang didorong untuk ditarik dari Prolegnas. Nanti, RUU yang ditarik itu bisa diajukan kembali pada Prolegnas 2021, yang perencanaannya mulai dibahas Oktober 2020. Bukan berarti tidak akan dibahas lagi karena ini hanya soal kapasitas masing-masing AKD (alat kelengkapan dewan) dalam menyelesaikan RUU,” katanya.
Sementara itu, terkait tidak adanya RUU problematik yang diusulkan untuk ditarik pembahasannya dari Prolegnas 2020, seperti RUU Cipta Kerja, Willy beralasan, itu tidak berarti DPR hanya mengutamakan RUU tertentu, dan tidak menganggap penting RUU lainnya.
”Ini, kan, hanya soal kapasitas AKD bersangkutan. Jadi, karena ada yang masih belum bisa dibahas di AKD, sementara kami akan menyiapkan Prolegnas baru, Oktober 2020, sebaiknya kami evaluasi,” ujarnya.
Willy pun tidak menampik persepsi negatif yang berkembang di publik karena usulan DPR yang menarik sejumlah RUU yang justru menjadi konsen mereka, seperti RUU PKS.
”DPR itu, kan, selalu dianggap keliru, ke kanan keliru, ke kiri keliru. Jadi, kami kerjakan yang bisa kita kerjakan saja. Soal RUU Cipta Kerja, misalnya, itu kami bahas mendesak karena kita butuh adaptasi terhadap krisis dan pandemi,” katanya.
Kinerja tidak optimal
Lucius mengatakan, penyelesaian legislasi memang merupakan salah satu indikator untuk mengukur kinerja DPR.
Meski demikian, sikap DPR yang menarik sebagian RUU dari Prolegnas di tengah jalan itu harus dilihat komprehensif dan mesti dipahami latar belakangnya. Sebab, selama ini DPR tidak pernah menurunkan target Prolegnas. Evaluasi di tengah jalan itu pun dipandang aneh dan mengada-ada.
”Sudah menjadi rahasia umum, kalau sekalipun suatu RUU masuk sebagai prioritas atau Prolegnas, bukan berarti RUU itu akan cepat selesai. DPR juga tidak pernah merevisi Prolegnas karena kerja mereka tidak tercapai. Jika sekarang mereka melakukan evaluasi dengan alasan tidak mau membebani lembaga dengan Prolegnas yang tidak tercapai, seharusnya sedari awal mereka melakukan perencanaan yang terukur. Selain itu, Prolegnas bukanlah beban lembaga, melainkan memang kewajiban lembaga untuk menuntaskan,” katanya.
Baca juga: Plus Minus Rapat Virtual DPR
Menurut Lucius, DPR semestinya melakukan evaluasi berdasarkan pada kebutuhan publik. Akan tetapi, pada kenyataannya, sejumlah RUU yang justru menjadi konsen publik tidak mendapatkan prioritas penyelesaian dari DPR. Sebaliknya, DPR mempercepat pembahasan sejumlah RUU problematik di tengah pandemi. Ada pula RUU yang bahkan tetap dibahas sekalipun DPR reses, misalnya RUU Cipta Kerja.
KOMPAS, KAMIS, 02072020 Halaman 2.