RUU SAPU JAGAT: Tanpa Reforma Agraria, Percepatan Investasi Perparah Konflik

JAKARTA, KOMPAS—Penyusunan rancangan undang-undang Cipta Lapangan Kerja didesak agar tak melulu berorientasi pada perizinan eksploitasi sumber daya alam. RUU itu agar dimanfaatkan juga sebagai pemutus rantai hambatan yang menghalangi Indonesia menyelesaikan konflik agraria dan sumber daya alam, termasuk rendahnya implementasi reforma agraria.

Tanpa menyertakan hal ini, Rancangan Undang Undang (RUU) yang juga disebut RUU Sapu Jagat itu malah memperparah konflik, bahkan menimbulkan konflik baru, yang kian kompleks. Implikasinya, niat pemerintah untuk meningkatkan investasi dan perekonomian malah menjadikan konflik sebagai penambah beban pemerintah dan investor.

Dengan kondisi saat ini, Perkumpulan HuMa Indonesia mendokumentasikan 346 konflik sumber daya alam dan agraria sepanjang tahun 2019. Konflik tersebut terjadi di 166 kabupaten/kota di 32 provinsi, dengan luas areal 2.322.669,325 hektar, dan melibatkan 1.164.175 jiwa masyarakat adat dan masyarakat lokal.

Jika dibagi berdasarkan sektor, konflik sektor perkebunan paling tinggi, namun dari segi luas area dan masyarakat terdampak, konflik di sektor kehutanan masih yang terbanyak. Konflik perkebunan menempati jumlah tertinggi dengan 161 konflik, area terdampak 645.484,42 hektar, serta melibatkan warga terdampak berjumlah 49.858 jiwa. Sementara konflik di sektor kehutanan sampai kini terdata 92 konflik, dengan luasan 1.293.394,682 hektar, dan melibatkan 586.349 korban.

Di sektor pertambangan tercatat 50 konflik, pertanahan 40 konflik, dan 3 konflik di perairan dan kepulauan. Dari konflik itu, ada 53 kasus penangkapan dengan korban 805 orang. Tercatat juga 29 kasus dengan 317 korban penganiayaan. Bahkan, dalam 13 kasus mengakibatkan hilangnya nyawa dengan jumlah korban 30 jiwa. Selain itu ada 51 kasus pemidanaan dengan jumlah korban 382 orang. Itu belum termasuk usaha kriminalisasi seperti warga yang dilaporkan, tapi sampai kini kelanjutan kasusnya belum jelas.

Baca juga Konflik Agraria Kian Meluas

“Pada draft (RUU Cipta Lapangan Kerja)  yang beredar itu menjadikan sumber daya sebagai obyek eksploitasi tanpa melihat kondisi di lapangan berupa kriminalisasi dan konflik yang dialami masyarakat,” kata Dahniar Adriani, Koordinator Eksekutif Perkumpulan HuMa Indonesia seusai peluncuran Outlook HuMa 2020 di Jakarta.

Ia tak heran bila isi RUU seperti itu lantaran pemerintah hanya mengajak kalangan pengusaha dalam penyusunannya. Sementara kalangan serikat buruh dan organisasi masyarakat sipil tak dilibatkan dalam pembahasan yang diklaim pemerintah masih internal itu.

Penghilangan hak warga

Dahniar mengatakan, RUU Cipta Lapangan Kerja dirancang untuk memberi jalan tol bagi percepatan izin usaha, di antaranya pengelolaan sumber daya alam. Izin itu memiliki potensi dampak penghilangan hak-hak masyarakat.

Ia mengingatkan agar momen penyusunan RUU Cipta Lapangan Kerja, terutama pada klaster kemudahan berusaha dari sisi Lingkungan Hidup dan Kehutanan, juga dimanfaatkan untuk menjalankan Ketetapan MPR Nomor 9 Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Hal ini minim dikerjakan pemerintah meski Presiden Joko Widodo dalam Nawa Cita menekankan pada Reforma Agraria.

Reforma agraria berupa redistribusi/pembagian lahan yang ditargetkan seluas 4,1 juta ha untuk mengatasi ketimpangan masyarakat belum dilakukan. Program yang berjalan berupa legalisasi berupa sertifikasi tanah masyarakat.

“Omnibus Law bukan berarti bisa menerjang konstitusi. Mempercepat investasi bukan merarti bisa melanggar prinsip konstitusi,”cetusnya. Peningkatan laju investasi dinilai tak akan selalu berujung pada peningkatan kesejahteraan masyarakat, apalagi jika investasi yang masuk justru menyebabkan konflik sumber daya alam dan bencana ekologis.

Omnibus Law bukan berarti bisa menerjang konstitusi. Mempercepat investasi bukan merarti bisa melanggar prinsip konstitusi.

Menurut data HuMA, sampai tahun ini perusahaan masih jadi aktor paling banyak dalam konflik sumber daya alam dengan masyarakat. Dahniar mengatakan, konflik itu dipastikan meningkat jika penanaman modal selalu menjadi muara dalam perombakan dan penegakan hukum oleh pemerintah.

Baca juga Undang-undang Sapu Jagat Rentan Perparah Dampak Lingkungan dan Konflik

Ditemui sebelumnya terkait Omnibus Law, Sekretaris Jenderal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Bambang Hendroyono mengatakan,  pemerintah intensif membahasnya. Pihak KLHK masuk pada klaster percepatan berusaha di isu lingkungan hidup dan kehutanan dengan merevisi UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup serta UU 41/1999 tentang Kehutanan.

“ Dorongan kita (KLHK), Amdal (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) jadi acuan. Mekanisme tata kelola lebih rapi. (Kegiatan usaha) Yang ringan sekali hanya registrasi (bukan izin). Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Amdal itu kan pesan moral bahwa usaha harus perhatikan lingkungan,” kata dia.

Dalam kesempatan itu, ia pun menampik bahwa RUU Cipta Lapangan kerja akan membatasi partisipasi/konsultasi publik, terutama masyarakat yang terdampak. Menurut Bambang, justru masyarakat terdampak mendapatkan perhatian. “Lingkungan jangan sampai terjadi kegaduhan, perusakan, dan pencemaran. Itu amdal akan mem-backup perizinan berusaha,” ujarnya.

Bambang Hendroyono pun menekankan, Omnibus Law itu akan memercepat kegiatan kementerian berintegrasi dengan kementerian lain dan pemerintah daerah. Jadi investasi bertambah dengan kemudahan berusaha. “Produktivitas hutan dan tenaga kerja meningkat. Daya saing pun naik dengan ekspor luar biasa dan PNBP (Pendapatan Negara Bukan Pajak) banyak, tapi lingkungan terjaga dan masyarakat sejahtera,” ungkapnya.

KOMPAS, 17012020 Hal. 10.

Print Friendly, PDF & Email

Share this post:

Related Posts

Comments are closed.