PASAR MODAL: Penerbitan Obligasi Harus Seiring Solvensi

JAKARTA, KOMPAS — Pertumbuhan volume penerbitan obligasi atau surat utang swasta atau korporasi harus seiring dengan tingkat kemampuan pelunasan (solvensi) perusahaan yang menerbitkan. Otoritas Jasa Keuangan dan Bursa Efek Indonesia didorong untuk lebih selektif, efektif, sekaligus preventif dalam memfasilitasi aksi korporasi itu.
Tumpal Sihombing, Direktur Utama Bond Research Institute (BondRI), perusahaan yang bergerak dalam bidang riset dan diklat obligasi, menyatakan, volume seharusnya bukan ukuran utama kinerja pasar obligasi yang efektif meskipun volume ditargetkan Bursa Efek Indonesia (BEI). Dia mengatakan, paradigma ukuran kinerja ini perlu diperbaiki dan disempurnakan sebagai ukuran kinerja BEI.
”Yang terutama dalam pengukuran kinerja pasar obligasi adalah indikator solvensi pelunasan kewajiban, jumlah basis investor dan proporsi emiten dengan peringkat andal, serta beberapa ukuran lain. Volume itu pertimbangan juga, tetapi bukan yang utama,” kata Tumpal ketika dihubungi di Jakarta, Senin (14/7).
Sebagaimana diungkapkan Pejabat Sementara Kepala Divisi Penilaian Perusahaan Non Group BEI Arif M Prawirawinata, dalam keterbukaan informasi, otoritas bursa mencatat total emisi obligasi dan sukuk sepanjang tahun 2014 sebanyak 27 emisi dari 26 emiten senilai Rp 26,49 triliun. Obligasi terakhir yang dicatat adalah obligasi berkelanjutan II tahun 2014 yang diterbitkan PT Pegadaian (Persero) sebesar Rp 960 miliar.
Jumlah emisi baru obligasi, sukuk korporasi, dan efek beragun aset sepanjang tahun 2013 berjumlah 61 emisi dengan nilai emisi mencapai Rp 58,56 triliun, yang diterbitkan oleh 47 emiten. Nilai emisi obligasi dan sukuk pemerintah mencapai Rp 266,72 triliun.
Menurut Tumpal, solvensi merujuk pada tingkat kemampuan emiten dalam melunasi kewajiban pembayaran kupon periodik dan nilai pokok obligasi. Volume penerbitan obligasi, jika berpotensi wanprestasi, mengandung risiko bagi investor.
”OJK (Otoritas Jasa Keuangan) dan BEI tentunya bertanggung jawab melakukan filter terhadap kemampuan keuangan calon emiten yang berniat melakukan emisi obligasi,” kata dia.
Tumpal menilai, sejumlah berita bernuansa keberhasilan sering terdengar di berbagai media jika emiten sukses melakukan penyerapan dana triliunan rupiah dari investor melalui emisi obligasi. Hal ini adalah ukuran yang dapat menimbulkan mispersepsi.
Kondisi wanprestasi juga menimpa sejumlah perusahaan penerbit obligasi. Selain kurang filter dan lebih mengutamakan target volume, mitigasi emiten terhadap risiko juga dinilai lemah.
Secara terpisah, Direktur PT Penilai Harga Efek Indonesia Wahyu Trenggono melihat obligasi yang digunakan sebagai instrumen perdagangan di BEI masih relatif kecil. Mayoritas merupakan obligasi milik pemerintah. Menurut Wahyu, obligasi swasta yang diperdagangkan baru sekitar 6 persen.
”Likuiditasnya kurang karena 94 persen obligasi korporasi tidak diperdagangkan. Obligasi pemerintah yang banyak diperdagangkan,” kata dia. (BEN)
Kompas, Selasa 15 Juli 2014, hal. 20

Print Friendly, PDF & Email

Share this post:

Related Posts

One Comment

  1. I read this article completely concerning tthe comparison of newest annd earlier technologies, it’s
    amazing article. https://Www.waste-NDC.Pro/community/profile/tressa79906983/

Leave a Comment