JAKARTA – Kementerian Perdagangan (Kemendag) menargetkan revisi Permendag 32/2013 tentang Ketentuan Ekspor Timah rampung Agustus tahun ini. Masih ada satu kali pertemuan lagi sebelum revisi aturan tersebut dirampungkan.
Direktur Perdagangan Luar Negeri Kemendag Partogi Pangaribuan menuturkan, revisi itu merupakan revisi kedua dari Permendag 78/2012. Pihak Kemendag akan bertemu dengan pihak asosiasi pekan ini.
“Mungkin perlu pertemuan dan pembahasan satu kali lagi. Masih perlu waktu, sehingga paling tidak Agustus sudah keluar,” ungkap Partogi di Jakarta, akhir pekan lalu.
Dia menegaskan, revisi itu bertujuan untuk mewujudkan industri dan perdagangan yang berkelanjutan dan mendorong hilirisasi. Saat ini, ekspor masih lebih banyak berbentuk timah batangan (ingot).
“Ada bentuk-bentuk timah lainnya lagi yang harus kita atur supaya tidak ada yang tertinggal dan pengaturannya juga benar. Bagaimana kita mengatur timah ingot? Bagaimana kita mengatur timah murni bentuk lainnya seperti timah solder?” ujar dia.
Namun, dia menampik anggapan aturan baru ini dikatakan sebagai pengetatan ekspor. Bahasa yang tepat adalah penertiban ekspor timah. Selain itu, revisi ini bertujuan menghindari pelanggaran serta memberikan kepastian hukum.
“Pada prinsipnya ekspor tidak boleh dihambat, tapi paling tidak ada norma-norma yang harus mereka patuhi agar mereka bisa mengekspor dengan tenang. Selama ini, kita dengar banyak yang ditangkap karena me langgar ekspor,” ujar Partogi
Dalam aturan yang baru, dia mengatakan, akan diatur jenis timahmana yang boleh diekspor dan mana yang dilarang. Dia mencontohkan, larangan biji timah yang dulu masih belum jelas akan diperjelas dengan revisi peraturan.
Par togi menuturkan, akan ada masa transisi sekitar 1-1,5 bulan setelah aturan keluar. “Tentu harus ada masa transisi untuk memberikan kepastian berusaha dan kepastian hukum. Biasanya ada kontrak, paling tidak sebulan atau sebulan sete ngah. Itu yang paling realistislah supaya semuanya bisa berjalan dengan baik,” ujar Par togi.
Sebelumnya, Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi menegaskan revisi aturan tersebut merupakan upaya untuk memastikan ekspor timah melalui proses industri. Dengan demikian, tidak ada lagi yang menjual pasir timah.
Bahkan, ke depan, eksportir timah harus membayar royalti. Tujuan revisi itu adalah hili risasi industri timah. Jika ekspor bukan timah ingot atau yang boleh diperjualbelikan atau barang mentah, eksportir harus membayar pajak pertambahan nilai (PPn).
“Ini yang kita mau agar lebih baik. Kita tidak mau menahan ekspor timah kita, apalagi produk lain dari Babel (Bangka Belitung), karena kehidupan dari provinsi itu dari situ. Tapi tujuannya harus itu, bayar ro yalti, bayar PPn kalo industri dan berlangsung transparan,” papar Lutfi. (ajg)
Investor Daily, Senin 14 Juli 2014, hal. 8