JAKARTA, KOMPAS — Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia, Kamis (10/7), memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan atau BI Rate 7,5 persen. BI Rate sudah pada posisi ini sejak November 2013 dan diperkirakan bertahan hingga akhir tahun ini.
BI Rate dipertahankan untuk mengarahkan inflasi ke kisaran 3,5-5,5 persen tahun ini dan 3-5 persen tahun depan. Selain itu, juga untuk menurunkan defisit transaksi berjalan ke tingkat yang lebih sehat.
Pada triwulan I-2014, transaksi berjalan Indonesia defisit 4,191 miliar dollar AS atau 2,06 persen produk domestik bruto (PDB).
Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, A Tony Prasetiantono berpendapat, keputusan Bank Indonesia mempertahankan BI Rate tepat.
”Tidak ada alasan bagi BI untuk menurunkan suku bunga acuan karena menjelang Idul Fitri inflasi akan lebih tinggi dibandingkan bulan-bulan lainnya,” kata Tony.
Selain faktor internal ekonomi makro Indonesia, keputusan BI juga diambil setelah Bank Sentral AS mengumumkan penghentian pembelian obligasi pada Oktober 2014. Jika suku bunga acuan diturunkan, nilai tukar rupiah bisa melemah.
BI menyebutkan, tekanan depresiasi terhadap nilai tukar rupiah meningkat pada Juni 2014. Secara rata-rata, rupiah melemah 3,03 persen dari Mei 2014, menjadi Rp 11.892 per dollar AS.
BI menyebutkan, perekonomian domestik pada triwulan II-2014 masih menunjukkan tren melambat. Kendati tumbuh cukup kuat, konsumsi rumah tangga diperkirakan melambat, yang diindikasikan, antara lain, oleh melambatnya indeks penjualan eceran dan penjualan mobil.
”Perbaikan ekonomi global masih terus berlangsung, tetapi lebih rendah dibandingkan perkiraan sebelumnya karena terjadi koreksi proyeksi pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat,” kata Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Tirta Segara di Jakarta, kemarin.
Kredit lebih tinggi
Kredit perbankan pada 2015 diperkirakan lebih baik dibandingkan pada 2014. Pertumbuhan itu didorong kinerja perekonomian nasional yang meningkat setelah pemilu usai.
Direktur Keuangan PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk Achmad Baiquni menjelaskan, hingga tahun ini, kebijakan uang ketat mungkin masih akan berlangsung. Hal ini merupakan konsekuensi melambatnya pertumbuhan ekonomi dan pembatasan pertumbuhan penyaluran kredit.
”Tahun depan, kami berharap kredit BRI bisa tumbuh 20-22 persen. Sampai Juni tahun ini, pertumbuhan kredit BRI sesuai arahan otoritas, yakni 15-17 persen,” kata Baiquni, kemarin.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan BI mengarahkan pertumbuhan kredit pada 2014 di rentang 15-17 persen.
Pertumbuhan ekonomi 2015 ditargetkan 5,3-57 persen dan inflasi turun menjadi 3-5 persen. Tahun ini, ekonomi diprediksi tumbuh 5,1-5,5 persen.
”Melihat proyeksi pertumbuan ekonomi, penyaluran kredit bisa tumbuh,” kata Tirta Segara.
Secara terpisah, Direktur Konsumer dan Ritel PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Darmadi Sutanto mengatakan, per semester I-2014, kredit konsumer BNI tumbuh 15 persen secara tahunan. Hingga akhir tahun, kredit konsumer diperkirakan tumbuh 15-16 persen.
Darmadi memperkirakan, pertumbuhan kredit konsumer BNI 2015 berkisar 17-18 persen. ”Dengan adanya presiden baru, membaiknya kondisi neraca perdagangan, inflasi, stabilitas nilai tukar, dan terutama pengurangan subsidi BBM, kami optimistis PDB naik. Kalau sekarang 5,1-5,2 persen, tahun depan diperkirakan di atas itu,” kata Darmadi.
Kondisi tersebut akan mendorong pergerakan ekonomi yang akan menolong pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.
Kredit industri perbankan per Maret 2014 sebesar Rp 3.334 triliun, tumbuh 19,61 secara tahunan.(AHA/CAS)
Kompas, Jumat 11 Juli 2014, hal. 20