PENDIDIKAN: UU Cipta Kerja Mendorong Pendidikan Kapitalistik?

Terlepas dari ”ngeri-ngeri sedapnya” rapat pleno DPR dalam pengesahan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (UU) menjadi Undang-Undang Cipta Kerja, acungan dua jempol selayaknya diberikan kepada DPR atas kerja kerasnya menghasilkan UU setebal 905 halaman itu.

Saking tebalnya, sejumlah orang, termasuk penulis, membacanya pun pilih-pilih. Karena sangat berkepentingan dengan institusi pendidikan, saya mencari pasal-pasal yang berkaitan dengan pendidikan dan kebudayaan; dan ”terantuklah” pada Paragraf 12, Pendidikan dan Kebudayaan, Pasal 65 yang berbunyi sebagai berikut.

”(1) Pelaksanaan perizinan pada sektor pendidikan dapat dilakukan melalui perizinan berusaha sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini. (2) Ketentuan lebih lanjut pelaksanaan perizinan pada sektor pendidikan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah”.

Saking tebalnya, sejumlah orang, termasuk penulis, membacanya pun pilih-pilih.

Tak mengatur pendidikan

Membaca dua ayat itu, penulis terkejut karena sektor pendidikan masuk dalam kategori yang harus membuat perizinan berusaha. Muncul pertanyaan, apa sebenarnya di balik pemikiran para anggota Dewan terhormat ini sampai-sampai mereka merumuskan sektor pendidikan dan kebudayaan sebagai semacam badan usaha?

Baca juga: Waspadai Potensi Komersialisasi Pendidikan dalam RUU Cipta Kerja

Untuk penjelasannya, pada halaman 764 hanya disebutkan, ”Sudah jelas”. Namun, membaca lebih jauh Pasal 66, semua menjadi jelas. Pasal 66 tersebut berbunyi: ”Untuk mempermudah pelaku usaha perfilman dalam melakukan kegiatan usaha, undang-undang ini mengubah, menghapus, atau menetapkan pengaturan baru yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman” (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 141, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5060).

Ternyata, paragraf 12 yang terdiri atas dua pasal yang berjudul Pendidikan dan Kebudayaan itu lebih mengatur tentang perizinan untuk para pelaku usaha perfilman (Pasal 66), yang dilakukan oleh institusi pendidikan (Pasal 65).

Kesimpulannya: memang harus begitu. Apalagi mengingat Paragraf 12 ini berada di bawah Bagian Keempat: Penyederhanaan Perizinan Berusaha Sektor serta Kemudahan dan Persyaratan Investasi.

Siapa saja yang harus berurusan dengan perizinan itu dijelaskan lebih lanjut di Pasal 26. Bunyinya: ”Perizinan berusaha terdiri atas sektor (a) kelautan dan perikanan; (b) pertanian; (c) kehutanan; (d) energi dan sumber daya mineral; (e) ketenaganukliran; (f) perindustrian; (g) perdagangan, metrologi legal, jaminan produk halal, dan standardisasi penilaian kesesuaian; (h) pekerjaan umum dan perumahan rakyat; (i) transportasi; (j) kesehatan, obat, dan makanan; (k) pendidikan dan kebudayaan; (l) pariwisata; (m) keagamaan; (n) pos, telekomunikasi, dan penyiaran; dan (o) pertahanan dan keamanan.

Jelaslah bahwa Undang-Undang Cipta Kerja ini tidak mengatur apa pun mengenai pendidikan. Oleh karena itu, pihak-pihak yang khawatir tentang betapa kelak dunia pendidikan kita di masa depan akan semakin kapitalistik, buanglah jauh-jauh kekhawatiran itu.

Jelaslah bahwa Undang-Undang Cipta Kerja ini tidak mengatur apa pun mengenai pendidikan.

Hilangkan kebingungan

Harus diakui, betapa UU Cipta Kerja ini belum tersusun sangat rapi, bahkan sangat membingungkan, sementara di sisi lain, masyarakat umumnya segera ingin membacanya, terutama pasal-pasal yang menyangkut kepentingan mereka.

Padahal, kalau mau sedikit bersabar, apalagi mau membaca secara cermat, di awal UU ini (Pasal 1), rambu-rambu isinya sudah diuraikan: Cipta Kerja adalah upaya penciptaan kerja melalui usaha kemudahan, perlindungan, dan pemberdayaan koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah; peningkatan ekosistem investasi dan kemudahan berusaha; dan investasi pemerintah pusat dan percepatan proyek strategis nasional.

Baca juga: Jokowi dan Jejak yang Dalam

Di samping itu, kalau saja mau membaca bagian per bagian yang ada, akan diperoleh gambaran besar, betapa bagian satu (Pasal 6) sudah dengan sangat tegas memuat kerangka isi dari undang-undang ini, yaitu peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha.

Yakni, meliputi: (a) penerapan perizinan berusaha berbasis risiko; (b) penyederhanaan persyaratan dasar perizinan berusaha, pengadaan tanah, dan pemanfaatan lahan; (c) penyederhanaan perizinan berusaha sektor; dan (d) penyederhanaan persyaratan investasi.

Tugas kita bersama, seraya membaca dan terus membaca kandungan UU Cipta Kerja yang memang tebal ini. Kita perlu ikut ambil bagian untuk menghilangkan kebingungan demi kebingungan yang ada di sebagian masyarakat kita.

JC Tukiman Taruna, Ketua Dewan Penyantun Unika Soegijapranata, Semarang

KOMPAS, RABU, 04 Nopember 2020 Halaman 7.

Print Friendly, PDF & Email

Share this post:

Related Posts

Comments are closed.