OMNIBUS LAW: Uji Formil UU Cipta Kerja

RUU Cipta Kerja akhirnya sah dan diundangkan menjadi UU No 11 Tahun 2020 pada 2 November 2020. Artinya, ada waktu 45 hari setelahnya yaitu mulai 3 November hingga 17 Desember 2020, bagi siapa pun untuk memohonkan uji formil ke Mahkamah Konstitusi/MK (Putusan No 27/PUU-VII/2009).

Uji formil merupakan sarana konstitusional untuk menguji proses pembentukan UU Cipta Kerja yang dinilai cacat prosedur sebab tak transparan, tidak partisipatoris, lebih memihak kepentingan tertentu, dan tak memenuhi ketentuan teknis legal drafting yang baik sehingga masih terjadi kesalahan redaksional pasca-diundangkan.

Baca juga: Uji Konstitusionalitas UU Cipta Kerja Sekaligus Jadi Ujian Independensi MK

Apabila terbukti, apakah keberlakuan UU Cipta Kerja seketika itu batal? Untuk menjawabnya, berikut adalah hasil telusur dan telaah atas putusan-putusan MK terkait uji formil sebelumnya, yang kiranya relevan dengan problematika legislasi UU Cipta Kerja.

Belum pernah dikabulkan

Hingga per akhir Oktober 2020, MK telah memutus 1.365 judicial review yang 34 putusan di antaranya tentang uji formil, dan belum ada satu pun yang dikabulkan. Beberapa pokok alasannya, sebagai berikut.

Hingga per akhir Oktober 2020, MK telah memutus 1.365 judicial review yang 34 putusan di antaranya tentang uji formil, dan belum ada satu pun yang dikabulkan.

Sebelum lahirnya UU No 10/2004 yang diganti dengan UU No 12/2011 dan diubah dengan UU No 15/2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3) sebagai amanah Pasal 22A UUD 1945, MK menyatakan tak berwenang untuk menilai teknik perumusan seperti sistematika, tata bahasa, dan tata tulis. Termasuk, tidak menyoal tentang pengaruh aspirasi publik terhadap proses pembentukan UU yang dipermasalahkan. (Putusan 006/PUU-I/2003)

Bahkan, naskah akademik bukanlah keharusan konstitusional dan ketiadaannya bukanlah cacat hukum yang mengakibatkan batalnya UU. Terhadap aspirasi yang tak tertampung pun, bukanlah penanda bahwa prosedur pembentukan UU inkonstitusional. Justru, aksi demonstrasi dianggap bagian dari upaya memberi masukan dan menyerap aspirasi publik.

Baca juga:  Berserah kepada Mahkamah

Pun, kepentingan (modal) asing dalam proses legislasi bukanlah bentuk intervensi atas kedaulatan negara sepanjang pembentukan UU tetap dilakukan secara bebas, independen, tanpa paksaan, tanpa tipu daya, tanpa intervensi kekuatan (asing) secara langsung, dan tetap memerhatikan kepentingan nasional (012/PUU-I/2003).

Adanya pernyataan keberatan (minderheitsnota), penolakan, atau abstain oleh anggota DPR saat pengambilan keputusan adalah lazim dalam praktik berdemokrasi dan tak menghambat atau membatalkan persetujuan (002/PUU-I/2003),

Pasca-berlakunya UU P3, MK pun berpendapat suatu UU yang tidak memenuhi persyaratan teknis pembentukan UU yang baik, tidaklah otomatis secara formil menjadi inkonstitusional (009-014/PUU-III/2005).

Baca juga: Pengujian UU Cipta Kerja, MK Jamin Kesempatan Seimbang

Selain tenggat waktu pengajuan permohonan, MK dalam yurisprudensi Putusan 27/PUU-VII/2009 juga telah menentukan syarat kedudukan hukum (legal standing) khusus untuk uji formil – yang berbeda dengan syarat uji materiil – yakni selain mendasarkan pada Pasal 51 UU MK dan alasan tax payer, Pemohon harus bisa membuktikan dirinya sebagai pemilih dalam pemilu yang hak konstitusionalnya dirugikan oleh pemegang mandat, serta memiliki “pertautan langsung” dengan UU yang dimohonkan.

Namun sayangnya, syarat legal standing tersebut tidak konsisten diterapkan dalam perkara-perkara uji formil berikutnya. Sebagaimana pula tidak ada prioritas atas uji formil, meskipun tujuan ditetapkannya tenggat waktu 45 hari untuk mengajukan permohonan adalah supaya suatu UU dapat lebih cepat diketahui statusnya apakah telah dibuat secara sah atau tidak, demi kepastian hukum.

Namun sayangnya, syarat legal standing tersebut tidak konsisten diterapkan dalam perkara-perkara uji formil berikutnya.

Sekalinya terbukti cacat prosedur, namun dengan alasan materi muatannya lebih baik daripada UU sebelumnya dan tidak memunculkan persoalan hukum, serta sudah diterapkan dan menimbulkan akibat hukum, maka demi asas manfaat untuk tercapainya tujuan hukum, UU dinyatakan tetap konstitusional. (27/PUU-VII/2009)

Uji formil berikutnya

Entah bakal bagaimana nasib uji formil terhadap UU KPK dan UU lainnya, termasuk UU Cipta Kerja nantinya. Jika tak ada pembaruan argumentasi, setidaknya sudah bisa diprediksi akan seperti apa bunyi amar putusan MK nanti.

Namun, ada satu hal yang patut dicamkan, bahwa keabsahan suatu kewenangan membutuhkan legitimasi. Franz Magnis-Suseno, dalam bukunya Etika Politik, mengutip Miriam Budiardjo, menyatakan ada tiga kriteria legitimasi untuk menilai keabsahan suatu wewenang.

Baca juga: Politik Hukum Omnibus Cipta Kerja

Pertama, legitimasi sosiologis, yang mendasarkan pada keyakinan publik bahwa wewenang yang ada pada seseorang, kelompok, atau penguasa adalah wajar dan patut dihormati. Jika suatu tindakan penguasa banyak mendapat penolakan publik sebab dijalankan dengan tidak wajar dan tidak patut, masihkah dapat dinilai sahih.

Kedua, legalitas, yang menuntut agar suatu wewenang dijalankan sesuai hukum yang berlaku. Apa artinya UU P3 jika tidak dipatuhi dan tidak dijadikan dasar untuk menilai keabsahan prosedur pembentukan UU. Bukankah, itu juga akan bertentangan dengan Pasal 51A ayat (3) UU MK yang menyatakan uji formil didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang mengatur tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan.

Ketiga, legitimasi etis, yang menitikberatkan pada aspek moralitas sebagai pengarah untuk menjalankan wewenang dengan penuh hikmat-kebijaksanaan yang sesuai dengan tuntutan-tuntutan kemanusiaan yang adil dan beradab.

Maka dari itu, demi menjamin tegaknya etika serta norma berhukum, berpolitik, dan bernegara, hendaknya MK tak lupa bahwa MK pun mempedomani suatu prinsip hukum dan keadilan yang dianut secara universal yang menyatakan “tidak seorang pun boleh diuntungkan oleh penyimpangan dan pelanggaran yang dilakukannya sendiri dan tidak seorang pun boleh dirugikan oleh penyimpangan dan pelanggaran yang dilakukan oleh orang lain” (nullus/nemo commodum capere potest de injuria sua propria). Semoga.

Wiwik Budi Wasito, Anggota Dewan Penasihat LBH Ansor Jawa Timur. Mantan Panitera Pengganti di Mahkamah Konstitusi.

KOMPAS, RABU 18 November 2020 Halaman 6.

Print Friendly, PDF & Email

Share this post:

Related Posts

Comments are closed.