KONVERSI PULSA: Perlindungan Data Pribadi Dibutuhkan

JAKARTA, KOMPAS —  Konversi pulsa prabayar menjadi uang perlu dikendalikan untuk meminimalkan risiko kejahatan dari praktik tersebut. Dibutuhkan payung hukum untuk mengendalikannya berupa Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi atau UU PDP yang saat ini rancangannya masih dibahas di DPR.

Konversi pulsa menjadi uang masih luput dari perhatian operator dan regulator. Bisnis penyedia jasa konversi pulsa tersebar di sejumlah daerah dan beroperasi sejak 2013.

Praktik ini pun tumbuh bersama masifnya penggunaan pulsa sebagai alat pembayaran di penyedia aplikasi seperti Google Play Store dan aplikasi gim daring. Namun, pemerintah baru merestui penggunaan pulsa untuk membeli aplikasi seperti diatur dalam Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 9 Tahun 2017. Di regulasi itu pun pulsa disebut sebagai deposit untuk akses aplikasi, bukan sebagai alat pembayaran.

Di tengah minimnya regulasi peredaran pulsa, registrasi nomor ponsel perdana pun masih serampangan. Dengan bantuan pedagang pulsa dan kartu SIM di Rawa Belong, Jakarta Barat, konsumen dengan mudah memperoleh nomor perdana yang telah diregistrasi dengan nomor identitas orang lain.

Wahyudi Djafar, peneliti Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) yang juga salah satu inisiator RUU PDP, menyampaikan, UU PDP turut mengatur perlindungan data pribadi yang dikumpulkan dan diproses terkait dengan registrasi kartu SIM. Dengan sistem sekarang, pemerintah dan operator telekomunikasi bertindak sebagai pengendali data yang akan memiliki serangkaian kewajiban sebagai pengendali data. Sementara para pengguna sebagai subyek data yang memiliki serangkaian hak.

”Saat ini tidak ada satu pun UU yang mengatur perlindungan subyek data sehingga ketika ada pelanggaran atau penyalahgunaan, konsumen tidak bisa melakukan apa-apa. Hadirnya UU PDP setidaknya akan menjawab permasalahan itu,” ujar Wahyudi di Jakarta, Minggu (16/8/2020).

Salah satu anggota Panitia Kerja RUU PDP dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Charles Honoris, menjelaskan, saat ini pembahasan RUU sudah memasuki tahap pengajuan daftar inventarisasi masalah (DIM). Sebelumnya, Komisi I DPR sudah mengadakan rapat dengar pendapat dengan para pelaku usaha, koalisi masyarakat sipil, dan para ahli.

”Dari hasil rapat dengar pendapat tersebut, kami menerima masukan supaya dibentuk otoritas independen untuk mengawasi perlindungan data pribadi,” katanya.

Dari hasil rapat dengar pendapat tersebut, kami menerima masukan supaya dibentuk otoritas independen untuk mengawasi perlindungan data pribadi.

Charles menuturkan, otoritas tersebut akan mengawasi kegiatan para pelaku usaha, seperti operator seluler dan pasar daring. Otoritas independen ini bisa berbentuk lembaga baru ataupun kewenangannya diberikan kepada lembaga yang sudah ada. Menurut dia, otoritas ini bisa saja diberikan kepada Komisi Informasi Pusat (KIP) ataupun Ombudsman RI.

”Karena Presiden, kan, ingin supaya ada perampingan lembaga negara. Oleh karena itu, jika tidak bisa membentuk lembaga baru,  otoritas ini bisa diserahkan kepada KIP dan Ombudsman dengan catatan perlu dibentuk komisoner khusus untuk melakukan pengawasan data pribadi,” ujarnya.

Digunakan penipu

Komisioner Ombudsman RI, Alamsyah Siregar, menyampaikan, permasalahan registrasi kartu SIM dengan menggunakan data identitas tak sesuai memang belum bisa diatasi. Kondisi ini membuat kejahatan siber, seperti penipuan yang mengincar pulsa dan dompet digital, terus terjadi.

”Registrasi kartu memang sudah ampun-ampunan, dan sudah harus diperketat. Dan itu sangat mudah digunakan penipu. Dia enggak perlu beli (kartu SIM), ada cadangan pulsa dengan kartu ilegalnya. Sangat mungkin akibat dan dampak kejahatannya marak,” tuturnya.

Dengan kondisi seperti ini, menurut Alamsyah, Ombudsman akan mendorong pemerintah menyediakan payung hukum untuk mengendalikan praktik konversi pulsa ini, yaitu dengan segera mengesahkan RUU PDP. Kedua, perlu ada perbaikan aturan operasional Kemenkominfo terutama terkait penggunaan pulsa.

Hal selanjutnya, menurut Alamsyah, Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) harus didukung dengan teknologi kecerdasan buatan untuk melakukan pelacakan digital terhadap peredaran pulsa dalam praktik konversi pulsa menjadi uang. Menurut dia, ini berguna untuk memitigasi kemungkinan terburuk dari praktik konversi pulsa tersebut.

”BRTI harus memiliki AI (artificial intelligent/kecerdasan buatan) yang dapat melakukan pelacakan secara elektronik. Digital tracking untuk memastikan ada alert, ini berbahaya. Sebab, praktik konversi pulsa ini bisa digunakan untuk perdagangan narkoba atau kejahatan lainnya,” ujarnya.

Komisioner Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia, I Ketut Prihadi Kresna Murti, menyampaikan, BRTI memiliki fungsi pengawasan dan pengendalian terkait penggunaan pulsa untuk akses aplikasi sesuai Peraturan Menkominfo No 9/2017. Menurut Ketut, jika ada hal-hal yang belum diatur di dalam peraturan tersebut,  BRTI akan berdiskusi dengan Kemenkominfo.

Dia mengatakan, BRTI dengan Kemenkominfo mungkin bakal membahas kewenangan pengendalian peredaran pulsa yang dikonversi menjadi uang tunai.

Menurut Ketua Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia Merza Fachys, operator memiliki kemampuan mengawasi lalu lintas peredaran pulsa melalui distributor. ”Kami sih senang kalau ada yang spending pulsanya besar. Masa, kami tolak? Hanya saja kalau kebutuhannya untuk yang aneh-aneh, nontelekomunikasi, tentu kami bisa mulai terapkan pengawasan,” ujar Merza.

KOMPAS, JUM’AT, 04092020 Halaman 2.

Print Friendly, PDF & Email

Share this post:

Related Posts

Comments are closed.