UU MAHKAMAH KONSTITUSI: MK Janji Revisi Tak Goyahkan Independensi

JAKARTA,KOMPAS – Mahkamah Konstitusi atau MK berjanji perubahan ketiga terhadap Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK yang kini sedang dibahas oleh pemerintah dan DPR, tak akan menggoyahkan independensi MK.

Hakim MK Enny Nurbaningsih saat dihubungi, Kamis (27/8/2020), mengatakan independensi sudah menjadi prinsip bagi hakim MK. Independensi ini pun dapat dilihat pada pertimbangan hukum MK dalam memutus setiap perkara.

“Kami tidak mengenal istilah barter dalam melaksanakan fungsi yudisial. Tugas kami tegak lurus sesuai Bangalore Principles (standar kode etik hakim) untuk menegakkan konstitusi. Jadi sekali lagi tidak ada istilah barter,” katanya.

Baca juga: Masa Jabatan Dihapus, Hakim Konstitusi Akan Menjabat hingga Usia 70 Tahun

Jawaban Enny ini untuk menepis dugaan yang muncul, bahwa ada barter di balik cepatnya pembahasan revisi UU MK oleh pemerintah dan DPR. Dugaan itu salah satunya disampaikan peneliti di Konstitusi dan Demokrasi Inisiatif, Violla Reininda. Ini karena substansi revisi UU MK yang berkutat pada persoalan jabatan hakim konstitusi, mulai dari perpanjangan batas usia minimal menjadi hakim MK, masa jabatan ketua dan wakil ketua MK, dan masa jabatan hakim konstitusi hingga pensiun, tak dijelaskan alasannya oleh inisiator revisi, DPR, dalam naskah akademis RUU MK itu.

Ketiadaan justifikasi akademis, menurut Violla, dapat memicu kecurigaan publik. Pasalnya, banyak UU kontroversial yang diujikan di MK, seperti UU Keuangan Negara untuk Covid-19, UU KPK, dan UU Minerba. Selain itu, RUU Cipta Kerja yang sedang dibahas DPR bersama pemerintah berpotensi pula diuji ke MK. ”MK berpotensi menjadi perpanjangan tangan pembentuk UU di dalam kekuasaan kehakiman yang dibarter aturan soal masa jabatan,” ujarnya.

Lebih lanjut ditanyakan soal substansi revisi UU MK, Enny mengatakan, hakim MK tidak dapat berkomentar. Sebab, tidak terlibat sama sekali dalam pembahasan. “Selain itu, tidak etis mengomentari RUU apapun yang notabene merupakan kewenangan MK untuk mengujinya,” tambahnya.

Target pengesahan

Setelah rapat maraton membahas revisi UU MK pada Rabu (26/8), Panitia Kerja (Panja) RUU MK DPR dan pemerintah kembali rapat membahas revisi, Kamis pagi hingga malam. Sama seperti sebelumnya, rapat kemarin pun tertutup.

Anggota Panja RUU MK dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Sarifuddin Sudding menyampaikan, rapat diskors hingga Jumat ini (28/8) pukul 09.00, karena masih ada beberapa pasal yang menjadi perdebatan, seperti masalah pengaduan konstitusional yang diberikan kepada MK.

Adapun persoalan jabatan hakim konstitusi, mulai dari perpanjangan batas usia minimal menjadi hakim MK, masa jabatan ketua dan wakil ketua MK, dan masa jabatan hakim konstitusi hingga pensiun, menurut Sudding, telah disepakati oleh pemerintah bersama dengan DPR.

Proses selanjutnya, jika seluruh pasal-pasal di RUU MK sudah disepakati antara DPR dan pemerintah, RUU tersebut akan diproses oleh tim perumus dan tim sinkronisasi.

“Setelah itu, baru kami bawa masuk ke paripurna untuk pembahasan tingkat kedua,” ujarnya.

Baca juga: Revisi UU MK Berpotensi Memantik Kecurigaan Publik 

Terkait rapat yang selalu digelar tertutup, pimpinan Panja RUU MK dari Fraksi PAN Pangeran Khairul Saleh beralasan agar pembahasan pasal demi pasal di RUU MK tak menimbulkan kesalahpahaman di masyarakat.

“Memang harus tertutup dikarenakan masih pembahasan pasal-pasal, agar tidak menimbulkan kesalahpahaman atau salah persepsi apabila pasal-pasal yang belum disetujui sudah diumumkan ke masyarakat,” tambahnya.

Catatan Kompas, revisi UU MK disepakati menjadi RUU inisiatif DPR, 2 April 2020. Pemerintah lantas menyerahkan daftar inventarisasi masalah (DIM) RUU itu ke Komisi III DPR, pada Selasa (25/8). Penyerahan DIM dilanjutkan dengan pembentukan panja yang bertugas membahas RUU. Setelah itu, RUU intens dibahas oleh pemerintah dan DPR.

KOMPAS, JUM’AT, 28082020 Halaman 2.

Print Friendly, PDF & Email

Share this post:

Related Posts

Comments are closed.