MAHKAMAH KONSTITUSI: Lemahkan MK, UU MK Digugat

JAKARTA, KOMPAS  — Gabungan 18 organisasi masyarakat sipil yang menamakan diri Koalisi Selamatkan Mahkamah Konstitusi mengajukan uji formil dan uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 dan UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Selasa (3/11/2020).

Dari sisi pembentukan, revisi UU MK itu dinilai mengabaikan prinsip demokrasi dan negara hukum. Secara substansi, UU itu justru melemahkan kelembagaan MK sebagai penegak dan pelindung konstitusi serta pengawal demokrasi.

Pihak penggugat, yaitu peneliti Konstitusi dan Demokrasi Inisiatif (Kode Inisiatif), Violla Reininda, mengatakan, obyek pengujian UU di MK itu ada dua, yaitu revisi UU MK terbaru dan UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK.

Baca juga: Perubahan UU MK Kepentingan Siapa

Menurut Violla, pemohon perlu menarik ke belakang untuk melihat pemberlakuan UU itu sebelumnya. Pemohon juga merasa khawatir dengan kecenderungan global di masa pandemi. Banyak praktik pelemahan demokrasi yang dilakukan dengan cara-cara konstitusional. Salah satunya, menyasar independensi peradilan sebagai pilar penjaga demokrasi.

Pemohon juga merasa khawatir dengan kecenderungan global di masa pandemi. Banyak praktik pelemahan demokrasi yang dilakukan dengan cara-cara konstitusional. Salah satunya, menyasar independensi peradilan sebagai pilar penjaga demokrasi.

Praktik ini tidak bisa dibiarkan karena tak hanya berdampak pada kelembagaan peradilan, tetapi juga publik.

”Sejatinya, revisi UU MK tidak hanya berdampak pada hakim konstitusi, kepaniteraan, kesekretariatan jenderal MK, atau pihak-pihak yang mau mencalonkan sebagai hakim konstitusi. Revisi UU MK sangat erat dengan kepentingan publik di mana fungsi MK sebagai penegak konstitusi, pelindung hak-hak konstitusional warga negara, dan pengawal demokrasi,” kata Violla.

Catatan Kode Inisiatif, tambah Violla, secara formil ada enam aspek prosedural pembentukan UU yang dilanggar. Proses pembahasan daftar inventarisasi masalah (DIM) yang hanya tiga hari dilakukan secara tertutup di tengah pandemi Covid-19 salah satunya. RUU MK memecahkan rekor sebagai UU tercepat untuk dibahas dan disahkan.

Praktis, hanya dalam tujuh hari, RUU MK disetujui di DPR. Pembahasan DIM hanya tiga hari, secara tertutup, dan tidak melibatkan partisipasi publik. Materi yang dibahas dalam RUU MK pun tidak substantif karena hanya mengatur, misalnya, perpanjangan masa jabatan hakim konstitusi dan ketua dan wakil ketua MK, serta usia minimal calon hakim konstitusi.

Kedua, RUU MK tidak masuk Program Legislasi Nasional, tetapi masuk daftar kumulatif terbuka dengan dalih menindaklanjuti Putusan MK Nomor 49 Tahun 2011, Putusan No 34/2012, dan Putusan No 7/2013.

”Sikap DPR inkonsisten dan kontradiktif saat mengatakan alasan merevisi UU MK. Mereka mengatakan UU MK carry over. Namun, draf tak ada kesinambungan dengan sebelumnya. Pengusul RUU pun berbeda. Dulu, inisiatif ada di pemerintah, sekarang di DPR,” kata Violla.

Sikap DPR inkonsisten dan kontradiktif saat mengatakan alasan merevisi UU MK. Mereka mengatakan UU MK carry over. Namun, draf tak ada kesinambungan dengan sebelumnya. Pengusul RUU pun berbeda. Dulu, inisiatif ada di pemerintah, sekarang di DPR.

Selain pembentukan revisi, UU MK juga dinilai cacat formil karena melenceng jauh dari tujuan penguatan kelembagaan dan kewenangan MK. UU itu hanya berfokus pada isu perpanjangan jabatan dan kenaikan usia minimal hakim konstitusi. Akibatnya, tak ada urgensi substansi dalam revisi UU.

Baca juga: Pertanyaan yang Tertinggal Pascarevisi UU MK

Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Jentera, Giri Ahmad, mengatakan, revisi UU MK tidak berdampak signifikan kepada kepentingan publik.

Juru Bicara Mahkamah Konstitusi Fajar Laksono saat dikonfirmasi mengenai gugatan masyarakat sipil tersebut belum bersedia berkomentar.

KOMPAS, RABU, 04 Nopember 2020 Halaman 2.

Print Friendly, PDF & Email

Share this post:

Related Posts

Comments are closed.