JAKARTA, KOMPAS – Pembahasan tingkat pertama Rancangan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi yang berlangsung tertutup kian menguatkan dugaan adanya kepentingan politik transaksional dalam pembahasan RUU tersebut. Publik tidak mengetahui jalannya rapat dan hal-hal krusial yang dibahas Panja dengan pemerintah.
Dalam rapat perdana Panitia Kerja RUU MK, Rabu (26/8/2020), dengan agenda pembahasan daftar inventarisasi masalah (DIM) dari pemerintah, Wakil Ketua Komisi III DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional (F-PAN) Pangeran Khairul Saleh langsung mengetuk palu menyatakan rapat dilakukan secara ditutup. Keputusan itu diambil tanpa meminta izin terlebih dulu dari peserta rapat. Ini berbeda dengan kelaziman dalam pembahasan rapat-rapat lain di DPR yang terlebih dulu ditanyakan kepada forum peserta rapat.
“Perkenankan kami membuka rapat Panitia Kerja Rancangan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi pada hari ini, dan rapat dinyatakan tertutup untuk umum,” katanya saat memimpin rapat yang dihadiri 16 dari 27 anggota panja tersebut. Rapat sebelumnya telah dinyatakan kuorum.
Selain anggota panja dari Komisi III DPR, hadir pula perwakilan pemerintah, yakni Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan Widodo Ekatjahjana, yang mewakili Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly. Rapat mengundang pula Sekretaris Jenderal MK M Guntur Hamzah.
Baca juga: Revisi UU Mahkamah Konstitusi Berpotensi Memantik Kecurigaan Publik
Tertutupnya pembahasan RUU MK oleh Panja DPR dan pemerintah tersebut disayangkan oleh publik dan sejumlah pakar hukum tata negara. Pembahasan RUU yang dilakukan tertutup kian menajamkan dugaan kentalnya kepentingan politik transaksional dalam pembahasan RUU ini. Padahal, dalam dua kali rapat sebelumnya, pimpinan Komisi III DPR mengatakan akan membahas sejumlah hal krusial terkait dengan RUU MK, antara lain meliputi periodisasi jabatan ketua dan wakil ketua MK, masa pensiun hakim, serta lamanya masa jabatan sebagai hakim konstitusi. Hal-hal itu selama ini menjadi poin yang menonjol dalam draf RUU MK yang diinisiasi oleh DPR.
Pada Selasa, pemerintah telah menyerahkan DIM kepada DPR yang terdiri atas 121 DIM. Dari jumlah itu, sebanyak 101 DIM bersifat tetap atau subtansinya tidak berbeda dengan materi yang ada di dalam draf RUU MK inisiatif DPR, delapan DIM bersifat redaksional, 10 DIM substansial, dan dua DIM berkaitan dengan substansi baru.
Pembahasan RUU yang dilakukan tertutup kian menajamkan dugaan kentalnya kepentingan politik transaksional dalam pembahasan RUU ini.
DPR dan pemerintah pun langsung mengesahkan 101 DIM tetap tersebut pada Selasa lalu. Dengan demikian, praktis hanya menyisakan pembahasan 20 DIM, yakni meliputi DIM subtantif, koreksi redaksional, dan substansi baru usulan pemerintah.
Sejak awal, rapat pembahasan tingkat pertama RUU MK didorong oleh Komisi III DPR untuk dibahas secara maraton. Usulan itu disambut baik oleh pemerintah. Pimpinan Komisi III DPR dalam dua rapat sebelumnya, yakni Wakil Ketua Komisi III dari Fraksi Golkar Adies Kadir beralasan, anggota Komisi III DPR sedang bersemangat membahas legislasi, karena sudah lama tidak membahas legislasi. Komisi III menargetkan pada masa sidang ini dapat menyelesaikan 1-2 RUU, baik usulan DPR maupun pemerintah.
Baca juga: Kaji Mendalam Draf RUU MK
Usia pensiun diperpanjang
Berdasarkan informasi yang diperoleh Kompas, sebagian besar DIM pemerintah sama dengan usulan dari DPR. Namun, ada beberapa usulan perubahan terkait dengan isu-isu krusial seperti periodisasi jabatan pimpinan MK, syarat usia calon hakim MK, dan pasal peralihan yang menyangkut nasib hakim konstitusi yang saat ini menjabat. Selain itu, pemerintah juga mengusulkan perubahan terhadap komposisi anggota dewan etik MK, yang dalam draf RUU itu disebut dengan Mahkamah Kehormatan MK.
Di dalam DIM, pemerintah antara lain menyetujui adanya pengaturan pensiun hakim hingga usia 70 tahun. Terkait dengan nasib hakim konstitusi yang saat ini menjabat, pemerintah memberikan usulan perubahan. Sebelumnya, pada Pasal 87 Huruf b draf RUU MK, DPR menginginkan agar hakim MK yang saat ini menjabat untuk meneruskan jabatannya hingga diberhentikan berdasarkan UU yang baru.
Pemerintah antara lain menyetujui adanya pengaturan pensiun hakim hingga usia 70 tahun.
Pada Pasal 87 Huruf b draf RUU MK usulan DPR disebutkan, “Apabila hakim konstitusi pada saat jabatannya berakhir sebagaimana dimaksud pada huruf b telah berusia 60 (enam puluh) tahun, maka meneruskan jabatannya sampai usia 70 (tujuh puluh) tahun.”
Namun, pemerintah mengusulkan agar pasal ini dihapuskan. Sebagai gantinya, pemerintah mengusulkan perubahan ketentuan mengenai pasal peralihan ini diganti dengan bunyi, “Hakim konstitusi yang sedang menjabat pada saat Undang-Undang ini ditetapkan dianggap memenuhi syarat menurut Undang-Undang ini dan mengakhiri masa tugasnya sampai usia 70 (tujuh puluh) tahun selama keseluruhan masa tugasnya tidak melebihi 15 (lima belas) tahun”.
Selain itu, pemerintah juga mengusulkan perubahan atas Pasal 15 Ayat 2 Huruf d, yang mengatur batasan usia minimal syarat calon hakim konstitusi. DPR mengusulkan usia minimal calon hakim MK ialah 60 tahun. Namun, pemerintah di dalam DIM mengusulkannya menjadi 55 tahun.
Terkait dengan periodisasi jabatan ketua dan wakil ketua MK, pemerintah setuju dengan DPR untuk menjadikannya masing-masing lima tahun, tidak lagi 2 tahun 6 bulan sebagaimana diatur oleh UU MK saat ini. Hanya saja, DIM pemerintah memberikan catatan agar pengaturan mengenai seleksi dan periodisasi ketua dan wakil ketua MK itu diatur dalam ayat yang terpisah.
Terkait dengan periodisasi jabatan ketua dan wakil ketua MK, pemerintah setuju dengan DPR untuk menjadikannya masing-masing lima tahun, tidak lagi 2 tahun 6 bulan sebagaimana diatur oleh UU MK saat ini.
Adapun untuk anggota Mahkamah Kehormatan MK, yang oleh DPR diusulkan terdiri atas dua orang saja, yakni masing-masing satu dari Komisi Yudisial (KY) dan hakim konstitusi, diusulkan untuk ditambah menjadi tiga orang oleh pemerintah. Pemerintah mengusulkan agar ada perwakilan dari akademisi berlatar belakang hukum.
Baca juga: Motif DPR Dipertanyakan
Untuk DIM berupa usulan baru, pemerintah menginginkan Pasal 20 Ayat (2) diatur lebih detil dalam redaksionalnya. Pasal 20 itu diusulkan untuk berbunyi, “(1) Ketentuan mengenai tata cara seleksi, pemilihan, dan pengajuan hakim konstitusi diatur oleh masing-masing lembaga yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 Ayat (1). (2) Proses pemilihan hakim konstitusi dari ketiga unsur lembaga negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui proses seleksi yang obyektif, akuntabel, transparan, dan terbuka untuk umum oleh masing-masing lembaga negara.”
Transaksional
Mantan hakim konstitusi I Dewa Gede Palguna menyayangkan pembahasan RUU MK yang lebih mengedepankan isu-isu mengenai periodisasi jabatan pimpinan MK dan perpanjangan usia pensiun hakim konstitusi. Sebab, isu-isu tidak mendesak dilakukan, terutama bila pertimbangannya ialah untuk perbaikan kelembagaan MK.
“Rencana perubahan itu juga tidak ada urusannya dengan tuntutan kebutuhan penguatan kelembagaan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk lebih mengukuhkan perannya, yang menurut istilah Heinz Klug dengan merujuk pada peran MK Afrika Selatan, yakni sebagai “ko-kreator demokrasi” dalam konteks pewujudan gagasan constitutional democratic state,” katanya.
Rencana perubahan itu juga tidak ada urusannya dengan tuntutan kebutuhan penguatan kelembagaan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk lebih mengukuhkan perannya, yang menurut istilah Heinz Klug dengan merujuk pada peran MK Afrika Selatan, yakni sebagai “ko-kreator demokrasi” dalam konteks pewujudan gagasan constitutional democratic state (I Dewa Gede Palguna)
Draf RUU MK yang dibuat oleh DPR itu, lanjut Palguna, juga berpotensi dimaknai sarat dengan kepentingan transaksional oleh publik, sebab kemunculan pembahasan RUU MK itu terkesan tidak ada tujuan yang jelas terkait dengan penguatan kelembagaan MK. Dengan pembahasan RUU MK yang tertutup dan minim akses dari publik, dugaan adanya kepentingan transaksional itu menjadi sesuatu yang dapat dipahami.
“RUU MK ini lebih tepat disebut sebagai “RUU Perubahan Masa Jabatan Pimpinan Konstitusi dan Masa Jabatan Hakim Konstitusi” sebab memang hanya itu isinya,” katanya.
Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Universitas Andalas, Padang, Feri Amsari, mengatakan, pembahasan RUU MK ini diduga dari awal ada kepentingan transaksional. “Tidak hanya berkaitan dengan asumsi publik, yakni sebagai tanda terimakasih kepada MK dalam penanganan sengketa Pemilu 2019. Tetapi ini juga berkaitan dengan potensi pengujian sejumlah UU yang kontroversial, seperti omnibus law, dan Perppu 1/2020 tentang Stabilitas Keuangan Negara di masa pandemi,” katanya.
Pembahasan RUU MK yang fokus pada masa jabatan hakim pun dinilai tidak banyak manfaatnya bagi publik. Menurut Feri, publik saat ini tidak memerlukan pembahasan RUU MK yang terkesan “memanjakan” atau bahkan dengan tujuan lain yang lebih buruk, seperti “menyogok,” hakim MK. Sebab, hakim MK sebagai penafsir konstitusi pasti sulit mengelak dari konflik kepentingan jika berkaitan langsung dengan hal-hal yang menyangkut pengaturan terhadap hakim. Kecuali jika pengaturan itu tidak diterapkan kepada hakim yang saat ini menjabat, tetapi kepada hakim selanjutnya.
“Kalau belajar dari senat Amerika, misalnya, ketika ingin menaikkan gaji, untuk menghindari konflik kepentingan, mereka membuat aturan itu berlaku bagi senat berikutnya. Demikian halnya untuk pengaturan pensiun dan perpanjangan jabatan bagi hakim MK ini, sebaiknya juuga diberlakukan untuk hakim konstitusi berikutnya kalau mau menghindari konflik kepentingan,” katanya.
Publik saat ini tidak memerlukan pembahasan RUU MK yang terkesan “memanjakan” atau bahkan dengan tujuan lain yang lebih buruk, seperti “menyogok,” hakim MK.
Ketua Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif, Veri Junaidi, mengatakan, pembahasan RUU MK yang tertutup tidak sesuai dengan prinsip pembahasan suatu undang-undang yang baik. Pembahasan RUU seharusnya partisipatif, dan terbuka dengan melibatkan banyak pihak. Apalagi, RUU yang dibahas ini menyangkut MK yang menjaga marwah konstitusionalisme di Indonesia.
“Perubahan undang-undang itu kan untuk memperbaiki sistem yang ada, sehingga mesti terbuka, dan kenapa harus tertutup. Memang kesannya ada agenda tertentu yang berkembang di pikiran orang banyak, dan kenapa pula harus terburu-buru dan pembahasannya tertutup. Kalau memang mau membahas masa jabatan hakim, atau usia pensiun hakim MK, kan sebenarnya tidak perlu ada yang dirahasiakan. Prosesnya sebaiknya dibuka saja supaya publik ikut memantau,” kata Veri.
Di luar isu masa jabatan hakim, menurut Veri, ada isu lain yang sebenarnya lebih penting dibahas, yakni soal evaluasi terhadap hakim MK, dan penguatan penegakan kode etik. “Tidak semata-mata memperpanjang masa jabatan, tetapi tidak dibuat evaluasi yang jelas terhadap hakim,” ujarnya.
KOMPAS, KAMIS, 27082020 Halaman 2.