RUU CIPTA KERJA: Kemudahan Investasi Dianggap Abaikan Dampak Jangka Panjang

JAKARTA, KOMPAS — Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja yang saat ini sedang dibahas pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat berpotensi mengabaikan dampak jangka panjang terhadap lingkungan. Selama proses pembahasan regulasi mengabaikan realitas dan persoalan empiris yang ada, terobosan kemudahan investasi yang ditawarkan hanya akan menumpuk masalah.

Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup periode 1978-1993, Emil Salim, Kamis (16/7/2020), mengatakan, paradigma RUU Cipta Kerja dikhawatirkan hanya akan membawa dampak jangka panjang yang membahayakan kondisi lingkungan hidup dan sumber daya alam hayati Indonesia.

Menurut Emil, jalur pembangunan di Indonesia selama ini menunjukkan ciri-ciri eksploitasi sumber daya alam (resource exploitation), bukan memperkaya sumber daya alam (resource enrichment). Kehadiran RUU Cipta Kerja memperparah eksploitasi itu dengan dalih mempermudah masuknya investasi, memperbaiki iklim usaha, dan memperbanyak lapangan kerja.

”Tidak ada poin di dalam RUU ini yang mengarah pada memperkaya sumber daya alam hayati kita. Apa yang akan terjadi? Pada 2045 nanti, omong kosong kita akan menjadi negara maju. Indonesia justru akan hancur sumber daya alamnya,” katanya dalam diskusi publik ”Perizinan Dasar dan Kemudahan Berusaha dalam RUU Cipta Kerja” yang diadakan Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah secara virtual.

Menurut Guru Besar IPB University Hariadi Kartodihardjo, RUU Cipta Kerja mengabaikan persoalan empiris yang muncul di lapangan akibat masuknya investasi, seperti eksploitasi lingkungan, konflik dengan warga, pelanggaran tata ruang, serta celah korupsi akibat perizinan investasi.

Di sisi lain, tawaran kemudahan berusaha dalam RUU Cipta Kerja yang diwujudkan lewat pendekatan perizinan usaha berbasis risiko (risk-based approach) justru membawa dampak buruk jangka panjang terhadap lingkungan karena penerapannya yang bias dan rancu.

Baca juga : Struktur Ekonomi RI Akan Diperbaiki lewat RUU Cipta Kerja

Sebagaimana diketahui, RUU Cipta Kerja mengubah paradigma perizinan usaha dari berbasis lisensi (license-based approach) menjadi berbasis risiko. Dengan pendekatan ini, tidak semua usaha diawasi ketat. Hanya usaha yang berisiko tinggi dari segi kesehatan, keselamatan, lingkungan, dan keterbatasan sumber daya alam yang alur perizinan dan pengawasannya diterapkan ketat.

Menurut Hariadi, pendekatan berbasis risiko itu tidak bisa dipandang sederhana dan dieksekusi merata untuk semua daerah, terlebih untuk aspek lingkungan hidup dan sumber daya alam. ”Ketika usaha yang sebenarnya berkategori risiko rendah mau masuk ke Jawa, di mana sungai-sungainya sudah banyak tercemar, risikonya tetap akan tinggi juga, tetap bahaya,” kata Hariadi.

Risiko tidak bersifat stabil, melainkan akan berubah seiring waktu dan bergantung pada wilayah bersangkutan. Oleh karena itu, penilaian tingkat risiko yang dilakukan pemerintah sebagai patokan pemberian izin usaha dan pengawasan memerlukan evaluasi secara berkala dan tidak berlaku umum untuk semua daerah.

Penilaian tingkat risiko juga harus memperhatikan aspek sosial budaya dan sosial ekonomi masyarakat setempat. Itu karena investasi yang masuk ke suatu daerah akan berdampak nyata pada masyarakat yang hidup di daerah tersebut. Hal-hal ini, ujar Hariadi, diabaikan dalam RUU Cipta Kerja yang lebih fokus pada segi kemudahan berusaha, tetapi tidak pada dampak sosial, budaya, dan lingkungan.

Baca juga : RUU Cipta Kerja Bukan Solusi di Tengah Pandemi

RUU Cipta Kerja pun tidak mengatur keterlibatan masyarakat dalam menetapkan persepsi penilaian risiko sehingga penilaian itu berpotensi sepihak dan tidak relevan dengan kondisi masyarakat.

”Terkadang kita harus berpikir terbalik. Di ujung Indonesia ini, ketika tidak ada investasi besar, justru masyarakat lebih sejahtera karena tidak ada yang merebut ruang hidup masyarakat lokal atau adat,” kata Hariadi.

Dibutuhkan

Pelaksana Tugas Deputi Bidang Pengembangan Iklim Penanaman Modal Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Yuliot mengatakan, di tengah pandemi Covid-19, tantangan yang dihadapi lebih berat sehingga membutuhkan terobosan solusi lewat RUU Cipta Kerja.

Pertumbuhan ekonomi pada triwulan II-2020 ini diproyeksikan minus dari sebelumnya 2,97 persen pada triwulan I-2020. Seiring dengan lumpuhnya perdagangan global, investasi, baik dalam negeri maupun asing, pun diproyeksi ikut anjlok. BKPM baru-baru ini memangkas target investasi untuk 2020 dari Rp 886 triliun menjadi Rp 817,2 triliun.

Yuliot mengatakan, BKPM sudah mulai mendorong kemudahan berusaha melalui penyederhanaan prosedur perizinan investasi dan penerapan sistem online single submission (OSS). Namun, menurut dia, itu tidak cukup. ”Dengan adanya pandemi, RUU ini sangat diharapkan dunia usaha, jangan sampai kita terpuruk lebih dalam,” katanya.

Menurut Staf Ahli Bidang Pengembangan Produktivitas dan Daya Saing Ekonomi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Lestari Indah, draf RUU Cipta Kerja masih bisa berubah seiring dengan pembahasan yang berlangsung dengan DPR. ”Beberapa hal yang belum diatur dalam draf akan kami bahas dengan DPR. Kalau DPR setuju, akan kami perbaiki,” katanya.

KOMPAS, JUM’AT, 17072020 Halaman 10.

Print Friendly, PDF & Email

Share this post:

Related Posts

Comments are closed.