PEMERINTAH DAERAH: Ancaman Resentralisasi dalam RUU Cipta Kerja

JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah pasal di Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja, khususnya kluster administrasi pemerintahan daerah, dinilai sebagai gejala mengembalikan kekuasaan ke pemerintah pusat (resentralisasi). Presiden memiliki kewenangan yang teramat besar, seperti pembatalan peraturan daerah menggunakan peraturan presiden.

Padahal, di era otonomi daerah, pemerintah pusat hanya berwenang menetapkan kebijakan nasional dan melakukan pembinaan sekaligus pengawasan terhadap penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah.

Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng, Rabu (1/7/2020), mengatakan, setelah otonomi daerah terlaksana selama 21 tahun, sangat disayangkan apabila kekuasaan pemerintah pusat kembali kuat dalam urusan pemerintahan. Dalam draf RUU Cipta Kerja, terlihat bahwa hubungan pemerintah pusat dan daerah adalah hubungan vertikal dengan pendelegasian kewenangan.

Setelah otonomi daerah terlaksana selama 21 tahun, sangat disayangkan apabila kekuasaan pemerintah pusat kembali kuat dalam urusan pemerintahan. Dalam draf RUU Cipta Kerja, terlihat bahwa hubungan pemerintah pusat dan daerah adalah hubungan vertikal dengan pendelegasian kewenangan.

Hal tersebut seolah kembali ke era sebelum otonomi daerah, yaitu presiden mendelegasikan wewenangnya kepada bawahan, yakni para kepala daerah. Padahal, di era otonomi daerah, seharusnya yang dilakukan adalah atribusi kewenangan, bukan delegasi. Konstruksi berpikir ini yang terlebih dahulu dilihat oleh para pembuat undang-undang.

”Dalam lima program prioritas pemerintah, memang ada kebijakan penyederhanaan regulasi. Dan, akar permasalahan mengenai regulasi adalah banyaknya regulasi yang ada, sedangkan instrumen kebijakan dari pemerintah pusat, seperti norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK) tidak memadai,” tutur Robert.

Dalam webinar bertema ”Administrasi Pemerintahan dalam RUU Cipta Kerja: Benarkah ada Resentralisasi?” yang diselenggarakan oleh KPPOD itu juga hadir Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Akmal Malik Piliang, Kepala Pusat Perancangan Undang-Undang Badan Keahlian DPR Inosentius Samsul, Staf Ahli Bidang Pembangunan Daerah Kemenko Perekonomian Bobby H Rafinus, dan dosen Departemen Manajemen dan Kebijakan Publik UGM Gabriel Lele.

Baca juga: Mencermati RUU Cipta Kerja

Menurut Robert, dalam desentralisasi, pemerintah pusat berwenang menetapkan kebijakan nasional dan melakukan pembinaan-pengawasan terhadap penyelenggaraan urusan pemerintahan di daerah. Sementara itu, urusan pemerintahan daerah diserahkan secara atributif dan delegatif, serta dilaksanakan berdasarkan atas otonomi dan tugas pembantuan.

Dalam Pasal 166 draf RUU Cipta Kerja disebutkan bahwa peraturan presiden bisa membatalkan peraturan daerah. Hal itu bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 137/PUU-XIII/2015 dan Nomor 56/PUU-XIV/2016 yang menyebutkan Mahkamah Agung sebagai lembaga yang berwenang membatalkan perda provinsi dan kabupaten kota.

Namun, dalam Pasal 166 draf RUU Cipta Kerja disebutkan bahwa peraturan presiden bisa membatalkan peraturan daerah. Hal itu bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 137/PUU-XIII/2015 dan Nomor 56/PUU-XIV/2016 yang menyebutkan Mahkamah Agung sebagai lembaga yang berwenang membatalkan perda provinsi dan kabupaten kota.

”Pemerintah pusat sebenarnya sudah memiliki kewenangan executive review atas rancangan peraturan daerah. Apakah ini sudah berjalan dengan baik,” ujar Robert.

Sementara itu, Akmal M Piliang mengatakan, penyederhanaan regulasi dibuat dengan maksud untuk harmonisasi aturan antara pemerintah pusat dan daerah. Terkadang, perda dibuat tidak sesuai dengan kebijakan pemerintah pusat. Terkait dengan wewenang pembatalan perda oleh presiden melalui perpres, Akmal berpendapat bahwa hal itu merupakan akselerasi hukuman terhadap kebijakan yang dianggap menghambat investasi. Kemungkinan, pembatalan perda itu akan dilaksanakan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham). Selama ini, ruang untuk melakukan harmonisasi aturan itu juga sudah menjadi kewenangan Kemenkumham.

Selain itu, menurut Akmal, proses pengujian perda di MA selama ini dinilai masih lamban. MA memiliki waktu 15 hari kerja untuk menguji sebuah perda. Dalam praktiknya, proses pengujian dilakukan lebih lama daripada waktu tersebut.

Pemerintah membutuhkan dukungan agar ada kepastian hukum dan transformasi ekonomi berkembang dengan baik. Sebab, selama ini memang ada kendala akselerasi yang bukan ranahnya eksekutif. Dan, ini memerlukan terobosan hukum.

Namun, karena MA adalah lembaga hukum tertinggi di Indonesia, tidak boleh ada intervensi dari pihak mana pun, termasuk eksekutif. Padahal, diperlukan percepatan untuk menyederhanakan aturan tersebut. Oleh karena itu, RUU Cipta Kerja dinilai sebagai terobosan untuk mempercepat harmonisasi aturan.

”Pemerintah membutuhkan dukungan agar ada kepastian hukum dan transformasi ekonomi berkembang dengan baik. Sebab, selama ini memang ada kendala akselerasi yang bukan ranahnya eksekutif. Dan, ini memerlukan terobosan hukum,” kata Akmal.

Sederhanakan proses perizinan

Dibandingkan membuat aturan pembatalan perda oleh perpres, menurut Robert, ada alternatif lain yang dapat dilakukan, yaitu menyederhanakan aturan dan proses perizinan. Di Indonesia, menurut kajian KPPOD, terlalu banyak aturan perizinan. Padahal, hal itu sebenarnya dapat diklasifikasikan berdasarkan level risiko yang ditimbulkan oleh aktivitas bisnis tertentu.

Parameter risiko itu di antaranya dapat dilihat dari aspek kesehatan, keamanan dan keselamatan, ataupun lingkungan. Aktivitas bisnis yang berisiko tinggi diatur melalui perizinan. Adapun aktivitas berisiko sedang dapat diatur dengan standardisasi usaha. Sementara aktivitas berisiko rendah dapat diatur menggunakan registrasi.

”Permasalahan peraturan yang terlalu banyak dan tumpang tindih itu dapat diatasi dengan perbaikan hukum pembangunan. Integrasikan obyek pengaturan dalam satu buku besar, rasionalisasi jumlah peraturan, dan lakukan resolusi konflik regulasi serta konflik kewenangan,” papar Robert.

Permasalahan peraturan yang terlalu banyak dan tumpang tindih itu dapat diatasi dengan perbaikan hukum pembangunan. Integrasikan obyek pengaturan dalam satu buku besar, rasionalisasi jumlah peraturan, dan lakukan resolusi konflik regulasi serta konflik kewenangan.

Selain itu, tak kalah penting adalah adanya dukungan debirokratisasi atau perbaikan tata kelola menuju efisiensi layanan dan pembentukan badan regulasi. Digitalisasi atau perubahan layanan ke platform digital yang praktis dan terintegrasi antasistem juga akan membantu menyederhanakan perizinan dalam bidang investasi bisnis.

Formulasi ulang

Kepala Pusat Perancangan Undang-Undang DPR Inosentius Samsul mengatakan, harus diakui bahwa saat ini ada permasalahan akut dalam administrasi pemerintahan, yaitu disharmonisasi antara pemerintah pusat dan daerah. Presiden menganggap hal itu sebagai permasalahan serius yang berdampak pada kualitas pelayanan dan efektivitas birokrasi. Itulah yang kemudian menjadi roh RUU Cipta Kerja yang dinilai menjadi terobosan hukum.

Saat ini, DPR sedang memperbaiki dan memformulasi ulang draf RUU Cipta Kerja. Formulasi dilakukan di antaranya agar tidak bertentangan dengan putusan MK.

Saat ini, lanjut Inosentius, DPR sedang memperbaiki dan memformulasi ulang draf RUU Cipta Kerja. Formulasi dilakukan di antaranya agar tidak bertentangan dengan putusan MK. Menurut dia, kewenangan presiden yang diatur dalam RUU Cipta Kerja ini sebenarnya adalah penegasan terhadap kekuasaan presiden di sistem pemerintahan presidensiil. Selama ini, kerap muncul aturan yang dibuat hanya karena sekadar lembaga, kementerian, atau pemda memiliki kewenangan. Terkadang aturan itu tidak sesuai dengan kebijakan pemerintah pusat.

”Ini bukan untuk mengganggu otonomi daerah, tetapi lebih ke manajemen agar administrasi pemerintahan lebih baik lagi. Ini salah satu cara untuk mengubah pola pikir dari menteri ataupun kepala daerah agar tidak membuat aturan yang kontradiktif dengan kebijakan pusat,” kata Inosentius.

Lebih lanjut, Inosentius mengatakan bahwa DPR akan mencari formulasi agar aturan yang ada di RUU Cipta Kerja tidak bertentangan dengan produk hukum lainnya. Saat ini, karena draf masih dalam pembahasan, masukan dari berbagai pihak pun masih bisa ditampung sebagai bahan perbaikan.

Baca juga: DPR Terus Bahas RUU Cipta Kerja di Masa Reses

KOMPAS, KAMIS, 02072020 Halaman 2.

Print Friendly, PDF & Email

Share this post:

Related Posts

Comments are closed.