Salah satu tema penting RUU Cipta Kerja yang kurang dapat perhatian publik adalah mengenai jaminan produk halal.
Undang-Undang (UU) No 33 Tahun 2014 tentang JPH menjadi salah satu UU yang beberapa pasalnya hendak diubah melalui RUU Cipta Kerja. Apa hubungan antara JPH dan RUU Cipta Kerja? Karena persoalan JPH tak bisa dilepaskan dari kerumitan birokrasi yang berpotensi menghambat investasi. Begitu kira- kira argumen dibalik perubahan itu. Karena itu, RUU Cipta Kerja mereformulasi beberapa bagian dari UU JPH agar pengusaha diberi kemudahan dalam melakukan sertifikasi halal.
UU JPH sendiri sebenarnya selama ini belum terimplementasi secara efektif karena berbagai persoalan. Di samping peraturan turunan yang agak lambat disusun—PP No 31/2019 tentang Peraturan Pelaksanaan UU JPH baru keluar Mei 2019— perangkat kelembagaan dan kapasitas organisasi untuk implementasi JPH juga jauh dari memadai. Studi Ombudsman RI 2019 menunjukkan persoalan kelembagaan paling rumit.
Baca juga : Makanan Halal, Peluang Bisnis yang Menjanjikan
Hingga kini Badan Pengelola Jaminan Produk Halal (BPJPH) belum punya perangkat di daerah. Auditor halal yang harus ada di setiap Lembaga Penjamin Halal (LPH) juga jauh dari mencukupi meski BPJPH sudah bekerja sama dengan sejumlah perguruan tinggi.
Dominasi Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang sebenarnya sudah dikurangi melalui UU JPH justru ditambahi beban lagi melalui PP No 31/2019. Jika dalam UU JPH MUI jadi pemberi fatwa tunggal, melalui PP No 31/2019, MUI diberi mandat sebagai lembaga yang 1) mengeluarkan sertifikasi halal; 2) menetapkan kehalalan produk; 3) akreditasi LPH. Tiga hal ini harusnya jadi kewajiban pemerintah, tapi malah diserahkan ke lembaga non-pemerintah.
Karena itu, RUU Cipta Kerja mereformulasi beberapa bagian dari UU JPH agar pengusaha diberi kemudahan dalam melakukan sertifikasi halal.
Dalam rangka menyederhanakan proses dan membuka peluang seluas-luasnya bagi masyarakat agar terlibat dalam proses sertifikasi, RUU Cipta Kerja membuat perubahan dengan menambahkan norma baru ataupun mengubah beberapa ketentuan yang dipandang menyulitkan pengusaha, terutama UMKM.
Perubahan dan penambahan norma baru itu masuk dalam skema perizinan tunggal, meliputi perizinan berusaha, izin edar, standar nasional Indonesia, dan sertifikasi jaminan produk halal. Ketentuan ini untuk memberikan jaminan kemudahan berusaha, menghilangkan birokrasi yang menyulitkan, memberikan pilihan terbuka pada pelaku usaha jika ingin melakukan sertifikasi halal.
Baca juga : Gratis, Sertifikasi Halal Usaha Mikro dan Kecil
Beberapa perubahan
Perubahan pertama bisa ditemui di Pasal 1 angka 10 tentang definisi sertifikat halal. Jika sebelummya sertifikat halal didefinisikan sebagai pengakuan kehalalan suatu produk yang dikeluarkan BPJPH berdasarkan fatwa halal tertulis yang dikeluarkan MUI. Dalam RUU Cipta Kerja, kata ”tertulis yang dikeluarkan oleh MUI” dihapuskan. Ini dijadikan pintu masuk untuk menghilangkan monopoli fatwa sertifikasi halal.
Terkait kerja sama BPJPH yang dalam Pasal 7 UU JPH hanya dengan kementerian dan/atau lembaga terkait, LPH dan MUI, kini diperluas dengan ormas Islam berbadan hukum, meskipun hanya dalam hal penetapan kehalalan produk, dalam bentuk Keputusan Penetapan Halal Produk setelah melalui proses fatwa.
Norma ini mengubah ketentuan Pasal 10 Ayat 1 dan 2, jika sebelumnya hanya MUI yang diberi kewenangan mengeluarkan penetapan kehalalan produk, kini ormas Islam berbadan hukum juga. Monopoli kewenangan MUI melakukan sertifikasi auditor halal dan akreditasi LPH juga dihilangkan, meskipun LPH masih tetap harus memiliki auditor halal minimal tiga orang. Ketentuan lebih lanjut mengenai auditor halal dan LPH ini akan diatur dengan PP.
Baca juga : Peraturan Baru Tidak Hapuskan Wajib Halal
Apakah pemberian kewenangan kepada ormas Islam berbadan hukum di luar MUI akan menimbulkan ketidakpastian hukum? Sama sekali tidak. Ormas keislaman di Indonesia yang punya kompetensi mengeluarkan fatwa bukan hanya MUI. NU dan Muhammadiyah yang keberadaannya jauh lebih tua dari MUI punya kapasitas untuk memberi fatwa.
Ini menguntungkan pelaku usaha karena penetapan kehalalan produk tak menumpuk di satu lembaga dan menjadikan pelayanan jadi lebih lama. Karena itu, dalam RUU Cipta Kerja ketentuan waktu juga diperpendek dengan ukuran waktu yang lebih pasti. Secara keseluruhan, pengurusan sertifikasi halal butuh waktu 21 hari kerja.
Perubahan penting lain adalah soal sertifikasi halal bagi pelaku usaha mikro dan kecil (UMK). Jika sebelumnya UMK harus mengikuti prosedur yang sama dengan usaha berskala menengah dan besar, dalam RUU Cipta Kerja diperlakukan berbeda. Bagi UMK, kewajiban sertifikat halal hanya didasarkan pernyataan dari pelaku usaha yang didasarkan pada standar BPJPH. Pernyataan ini memang didasarkan pada subyektivitas dan kejujuran UMK.
Ini menguntungkan pelaku usaha karena penetapan kehalalan produk tak menumpuk di satu lembaga dan menjadikan pelayanan jadi lebih lama.
RUU ini juga banyak sekali menghilangkan kewenangan menteri, dalam hal ini Menteri Agama, yang dalam UU No 33/ 2014 diberi kewenangan membuat sejumlah peraturan menteri agama (PMA), diganti dengan PP. Pengaturan PMA yang diubah melalui PP antara lain tentang LPH dan auditor halal, penyelia halal, tata cara pengajuan permohonan sertifikasi halal, pemeriksaan dan pengujian, pembaruan sertifikat halal, biaya sertifikasi halal, tata cara peran serta masyarakat.
Demikian juga dengan ketentuan sanksi administratif bagi pelaku usaha yang tak memisahkan lokasi, tempat dan alat proses produksi halal; pelaku usaha yang tak melakukan kewajiban sertifikasi halal; tak mencantumkan label halal; tak melakukan registrasi; tak menjaga kehalalan produk yang telah memperoleh sertifikasi halal; orang yang tak menjaga kerahasiaan informasi, semua diatur di PP. Memang terkesan ada sentralisasi pengaturan melalui PP, tapi cara ini dianggap paling memungkinkan agar ada kekuatan hukum lebih kuat.
Melihat perubahan-perubahan ini, dalam konteks JPH, RUU Cipta Kerja lebih baik daripada UU No 33/2014. Namun, perubahan ini belum menyentuh aspek eksesif dari UU ini karena pengertian produk tak disentuh. Dalam UU JPH, yang dimaksud produk adalah barang dan/atau jasa yang terkait makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetik, serta barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan masyarakat.
Pengertian ini mengharuskan semua produk dan barang yang dipakai dan dimanfaatkan masyarakat harus bersertifikat halal. Jangan heran kalau beberapa waktu lalu diperbincangkan soal kulkas halal. Nanti akan ada piring halal, mobil halal, motor halal, gelas halal, peci halal, jilbab halal dsb. Apakah harus sedemikian eksesif? Jika tidak, pengertian ”produk” perlu diperbaiki karena hal ini akan jadi penghambat iklim investasi.
Rumadi Ahmad, Tenaga Ahli Utama Kedeputian V Kantor Staf Presiden; Dosen FSH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.