Rencana pemerintah membuat payung hukum “sapu jagat” untuk meningkatkan kinerja perekonomian nasional sepertinya mulai memantik pro dan kontra di tengah masyarakat.
Payung hukum “sapu jagat” (Omnibus Law/OL) yang diharapkan dapat memperbaiki ekosistem investasi dan daya saing Indonesia mulai mendapatkan penolakan dari sebagian masyarakat terutama Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja.
Salah satu kelompok masyarakat yang menentang pemberlakuan Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja adalah kelompok buruh/pekerja.
Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja yang dibuat pemerintah mencakup 11 klaster dari 31 kementerian dan lembaga terkait. Yakni: 1) Penyederhanaan Perizinan, 2) Persyaratan Investasi, 3) Ketenagakerjaan, 4) Kemudahan, Pemberdayaan, dan Perlindungan UMKM, 5) Kemudahan Berusaha, 6) Dukungan Riset dan Inovasi, 7) Administrasi Pemerintahan, 8) Pengenaan Sanksi, 9) Pengadaan Lahan, 10) Investasi dan Proyek Pemerintah, 11) Kawasan Ekonomi.
Upah berdasar jam kerja
Klaster yang menjadi perhatian utama kelompok buruh adalah klaster 3 (Ketenagakerjaan). Setidaknya terdapat tiga isu utama yang dipermasalahkan kelompok buruh terkait klaster ini yaitu rencana peraturan sistem pengupahan berdasarkan jam kerja, persyaratan rekrutmen tenaga kerja asing (TKA), dan peraturan pemutusan hubungan kerja (PHK) dan pesangon.
Ketiga draf ini diduga kuat akan menimbulkan dampak negatif terhadap tingkat kesejahteraan buruh saat ini apabila draf OL ini disahkan menjadi undang-undang (UU).
Selama ini, penentuan pengupahan yang digunakan dalam menentukan Upah Minimum Provinsi (UMP) adalah Peraturan Pemerintah (PP) No 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan yang mengacu pada UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Walaupun sempat menuai pro-kontra, PP ini dianggap sebagai peraturan yang cukup adil, baik untuk pengusaha maupun kelompok buruh.
Ada dua dimensi dalam formula penentuan upah yang terdapat pada PP ini yaitu dimensi jaring pengaman dan dimensi insentif (bonus). Dimensi jaring pengaman diformulasikan dalam bentuk perhitungan tingkat inflasi yang mewakili tingkat daya beli kelompok buruh.
Sedangkan dimensi kedua adalah dimensi insentif berupa pertumbuhan ekonomi. Dengan adanya dimensi insentif ini pemerintah mencoba memberikan keadilan bagi para buruh.
Profit yang selama ini dinikmati para pengusaha seharusnya bisa memberikan trickle down effect kepada para buruh terutama tingkat kesejahteraannya. Peningkatan profit yang didapat oleh para pengusaha harus dinikmati pula oleh para buruh sehingga para buruh mendapatkan tingkat upah yang adil.
Walaupun dianggap sudah mencerminkan penilaian yang obyektif dan komprehensif, di tengah meningkatnya persaingan di pasar tenaga kerja global, dua dimensi yang terdapat dalam PP itu diyakini masih kurang.
Dimensi poduktivitas masih belum menjadi variabel yang digunakan dalam penilaian upah buruh. Oleh karena itu, untuk meningkatkan iklim investasi maka variabel produktivitas harus dimasukkan ke dalam peraturan penentuan upah buruh.
Salah satu variabel proksi yang digunakan untuk menilai tingkat produktivitas buruh adalah jam kerja efektif. Dengan memasukkan variabel produktivitas ini, sistem pengupahan akan dirasa jauh lebih adil selain tentunya menambah daya saing ekonomi nasional.
Namun bagi pemerintah dan kelompok buruh, penambahan variabel tingkat produktivitas kerja ini bisa menimbulkan potensi masalah baru. Menurut catatan Badan Pusat Statistik (BPS), per Agustus 2019 terdapat 28,88 persen penduduk yang bekerja di bawah jam kerja normal (35 jam per minggu) yang mungkin sebagian mendapatkan upah sebagai tenaga kerja penuh.
Dengan pemberlakuan sistem pengupahan berdasarkan jam kerja itu, maka diperkirakan akan ada kelompok pekerja yang berpotensi kehilangan sebagian pendapatannya. Padahal, selama ini kelompok ini masuk ke dalam kelompok ekonomi kelas menengah bawah.
Oleh karena itu, diperlukan peraturan yang lebih rinci mengenai sistem pengupahan tersebut. Jangan sampai sistem pengupahan baru nanti malah menimbulkan masalah baru yang lebih besar.
Perizinan dan TKA
Masalah kedua yang menjadi perhatian utama kelompok buruh adalah perizinan dan mekanisme penggunaan TKA yang dianggap semakin mempermudah masuknya TKA ke dalam pasar tenaga kerja Indonesia. Sebenarnya, masalah TKA ini adalah masalah klasik dan keniscayaan di era globalisasi ekonomi yang semakin meningkat.
Sejak pemberlakuan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada 2012, Indonesia sudah harus menerima TKA tanpa boleh membuat peraturan atau mekanisme yang dapat menghambat masuknya TKA yang berasal dari negara-negara anggota ASEAN.
Pada tahap awal pemberlakukan MEA, terdapat delapan profesi tenaga kerja terdidik yang dibuka secara bebas. Tenaga terdidik dari delapan profesi itu boleh bekerja di semua negara ASEAN tanpa boleh ada hambatan dari pemerintah di masing-masing negara.
Delapan profesi yang dibuka dalam MEA adalah insinyur, arsitek, tenaga medis, perawat, dokter gigi, tenaga survei, tenaga pariwisata, dan akuntan. Bahkan dalam jangka panjang, pemberlakuan MEA ini diarahkan dapat membuka seluruh profesi tenaga kerja terdidik di semua negara anggota ASEAN.
Oleh karena itu, UU No 13 Tahun 2003 sudah tak bisa lagi dijadikan sandaran yuridis dalam pengaturan TKA di Indonesia. Langkah pemerintah membuat OL yang salah satu klasternya adalah pengaturan jumlah, mekanisme, dan kualifikasi TKA mutlak diperlukan.
Namun tentunya pengaturan itu harus tetap memerhatikan kepentingan tenaga kerja nasional. Jangan sampai keberadaan TKA merugikan kelompok buruh secara keseluruhan.
PHK dan pesangon
Isu ketiga yang jadi perhatian utama kelompok buruh adalah peraturan PHK dan pesangon. Sebelumnya, masalah pesangon ini telah diatur di UU No 13 Tahun 2003. Para buruh mengkhawatirkan hilangnya pesangon bagi pekerja yang terkena PHK.
Dalam draf OL yang tersebar ke publik, istilah pesangon diubah jadi tunjangan PHK. Tunjangan PHK diberikan sebesar enam bulan upah. Di aturan sebelumnya, buruh berhak memperoleh hingga 38 bulan upah.
Namun berdasarkan draf OL yang tersebar ke publik, pengaturan pesangon ini sepertinya lebih diperinci. Pemberian pesangon didasarkan lamanya tahun bekerja buruh. Sebagai contoh, untuk masa kerja kurang dari satu tahun, tunjangan PHK yang diperoleh adalah satu bulan upah. Untuk masa kerja satu tahun atau lebih tetapi kurang dari dua tahun, memperoleh dua bulan upah.
Kemudian masa kerja dua tahun atau lebih tetapi kurang dari tiga tahun, dapat tiga bulan upah dan begitu seterusnya. Perincian ini diharapkan dapat memberikan keadilan baik bagi pengusaha maupun pekerja.
Secara umum, pembuatan OL ini adalah untuk memangkas, menyederhanakan, dan menyelaraskan berbagai UU dan peraturan yang selama ini dirasa saling tumpang tindih dan menghambat dan merusak iklim investasi dan daya saing Indonesia.
OL ini mencakup 1.244 pasal dari 79 UU yang coba disederhanakan sehingga jadi payung hukum yang bisa fleksibel menjawab perubahan di sektor tenaga kerja dan investasi.
Namun tentunya pembuatan OL ini harus tetap diarahkan untuk kepentingan bangsa dan negara yang lebih luas. Jangan sampai kemudahan investasi asing malah merusak kepentingan ekonomi nasional.
Jangan sampai kemudahan investasi asing malah merusak kepentingan ekonomi nasional.
Masuknya TKA ke dalam pasar tenaga kerja Indonesia tak boleh menciptakan pengangguran baru bagi tenaga kerja dalam negeri. Sebaliknya, masuknya TKA harus dapat menciptakan nilai tambah terhadap tenaga kerja dalam negeri seperti transfer of knowledge, profesionalitas, dan integritas. Jika hal ini bisa dilakukan, maka tidak ada yang perlu ditakutkan dari OL.
(Agus Herta Sumarto Dosen FEB Universitas Mercu Buana dan Peneliti Indef)
KOMPAS, 23012020 Hal. 6.