JAKARTA, KOMPAS — Pergerakan asumsi harga minyak mentah, kurs rupiah, dan rasio pajak sepanjang tahun ini mesti diwaspadai. Risiko negatif perekonomian global masih membayangi kinerja Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2020, yang berimbas pada penerimaan negara.
Berkaca pada tahun 2019, seluruh indikator asumsi makro terdeviasi dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), antara lain realisasi nilai tukar Rp 14.146 per dollar AS dari asumsi Rp 15.000 per dollar AS, harga minyak mentah 62 dollar AS per barel dari asumsi 70 dollar AS per barel, dan rasio pajak kisaran 10 persen dari target 11,1 persen.
Asumsi makro lain yang terdeviasi dari target APBN adalah tingkat bunga surat perbendaharaan negara (SPN) 3 bulan menjadi 5,6 persen, produksi minyak 741.000 barel per hari, produksi gas 1,05 juta barel per hari, dan inflasi sebesar 2,72 persen. Adapun proyeksi pertumbuhan ekonomi pada 2019 sebesar 5,05 persen dari target 5,3 persen.
Baca juga : Menkeu: Pertumbuhan Ekonomi 2019 Diproyeksikan 5,08 persen
Kepala Departemen Ekonomi CSIS Yose Rizal Damuri, di Jakarta, Rabu (8/1/2020), mengatakan, pergerakan asumsi harga minyak dunia dan kurs rupiah dalam tiga bulan ke depan harus diwaspadai. Kedua asumsi ekonomi makro itu akan memengaruhi realisasi penerimaan negara.
”Shortfall pajak tahun 2019 relatif besar karena ekspor komoditas unggulan Indonesia turun, baik harga maupun volumenya. Kondisi ini akan memengaruhi kinerja 2020,” kata Yose.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, realisasi pendapatan negara tahun 2019 sebesar Rp 1.957,2 triliun atau tumbuh 0,7 persen secara tahunan. Pendapatan negara itu terdiri dari realisasi penerimaan perpajakan Rp 1.545,3 triliun, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) Rp 405 triliun, serta hibah Rp 6,8 triliun.
Adapun penerimaan pajak yang tidak mencapai target (shortfall) tahun 2019 sebesar Rp 245,5 triliun. Shortfall pajak ini terbesar setidaknya dalam lima tahun terakhir sejak 2015.
Baca juga : Penerimaan Pajak Akan Tertekan Sampai Akhir Tahun 2019
Menurut Yose, eskalasi konflik geopolitik antara Amerika Serikat dan Iran akan memengaruhi harga minyak dunia. Meski demikian, dampak fluktuasi harga minyak dunia ke perekonomian dalam negeri tidak terlalu besar. Hal itu karena kinerja ekspor dan impor migas Indonesia berangsur-angsur menurun.
”Pada 2020, impor migas turun karena subsidi BBM dikurangi, sementara ekspor migas juga menurun karena digunakan untuk kebutuhan dalam negeri,” ucap Yose.
Selain harga minyak dunia dan nilai tukar, realisasi pendapatan negara tahun 2020 bergantung pada rasio pajak. Rasio pajak dari tahun ke tahun terus menurun, bahkan mencapai kisaran 10 persen pada 2019. Penurunan rasio pajak ini dipengaruhi penerimaan sektor migas yang lesu, ditambah perubahan struktur perekonomian.
Yose menyebutkan, perubahan struktur ekonomi ke arah digitalisasi mesti segera direspons pemerintah. Potensi penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari transaksi jual beli di laman e-dagang belum digarap optimal. Padahal, dari total transaksi penjualan ritel saat ini, sekitar 4 persen berasal dari e-dagang.
”Pertumbuhan ekonomi relatif tinggi, kisaran 5 persen, tetapi rasio pajak turun. Kondisi ini karena banyak perubahan di struktur perekonomian yang belum bisa ditangkap oleh sistem perpajakan kita,” ujar Yose.
Baca juga : Pemerintah Diminta Gerak Cepat Perbaiki Ekonomi
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menuturkan, pemerintah akan terus meningkatkan kewaspadaan sepanjang 2020. Berbagai dinamika ekonomi global berpotensi memengaruhi sentimen, psikologis, kepercayaan investor, dan akhirnya berdampak pada perekonomian domestik. Tahun 2020 masih diselimuti ketidakpastian.
”Memasuki minggu pertama tahun 2020 sudah terjadi ketegangan AS-Iran. Bukan tidak mungkin setiap bulan akan terjadi kejutan,” kata Sri Mulyani.
APBN Perubahan
Dihubungi terpisah, Rabu, Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan Askolani mengatakan, sejauh ini belum dipastikan ada atau tidaknya APBN Perubahan 2020. Belanja APBN akan dijalankan sesuai rencana. Pemerintah fokus untuk bisa melaksanakan program pembangunan tahun 2020.
Wacana APBN Perubahan mengemuka pascarealisasi pendapatan negara meleset dari target. Mengutip data Kementerian Keuangan, realisasi pajak tahun 2019 sebesar Rp 1.332,1 trillium atau 84,4 persen dari target. Realisasi pajak hanya tumbuh 1,4 persen secara tahunan.
”Saat ini, pemerintah fokus untuk percepatan pelaksanaan program pembangunan,” ujar Askolani.
Baca juga : Target Meleset, Basis Pajak Bisa Diperluas
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo berpendapat, perekonomian tahun 2020 tidak jauh berbeda dengan tahun 2019 karena masih diselimuti ketidakpastian. Karena itu, kinerja pertumbuhan penerimaan kemungkinan tidak mengalami perubahan berarti.
”Untuk mencapai target penerimaan pajak di tahun 2020, pertumbuhan penerimaan perlu meningkat sebesar 23,3 persen dari realisasi 2019. Tentunya ini sulit untuk direalisasikan,” ucap Prastowo.
Menurut Prastowo, pemerintah dapat menurunkan target penerimaan dalam APBN Perubahan. Opsi mengajukan APBN Perubahan untuk menjaga kesinambungan fiskal dan mencegah pelebaran defisit yang akan menaikkan porsi pembiayaan dari utang. Revisi target APBN menjadi pilihan paling rasional.
Pendapatan negara dalam APBN 2020 ditargetkan mencapai Rp 2.233,2 triliun, sementara belanja negara Rp 2.540,4 triliun. Adapun target defisit APBN 2020 sebesar Rp 307,2 triliun atau 1,76 persen produk domestik bruto.
KOMPAS, 09012020 Hal. 13.