Terapkan Strict Liability di Kasus Lingkungan

KEKALAHAN pemerintah dalam gugatan perdata terhadap PT Bumi Mekar Hijau (BMH) terkait kasus kebakaran hutan di Sumatra Selatan membuktikan proses hukum untuk kejahatan lingkungan hidup belum berjalan maksimal.
“Ini bukti bahwa saat ini hukum Indonesia masih terpentok pada pandangan dan cara penanganan lama,” ujar mantan hakim konstitusi Maruarar Siahaan, di Jakarta, kemarin.
Maruarar mengatakan, untuk menghadapi kasus lingkungan, terutama yang berskala besar seperti kebakaran hutan, dibutuhkan keberanian dan cara pengambilan keputusan yang tidak biasa. Hal tersebut dapat dilakukan dengan menerapkan konsep strict liability atau pertanggungjawaban mutlak.
“(Konsep) itu sudah ada dasar hukumnya. Itu yang seharusnya digunakan agar pihak yang digugat oleh pemerintah tidak bisa mengelak,” tambahnya.
Strict liability, lanjutnya, diatur dalam UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Pasal 88 UU itu menyebutkan, “Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun), menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.” “Apalagi kalau sudah menimbulkan kerugian kesehatan dan ekonomi. Ini yang sayangnya belum dijadikan acuan. Mereka hanya berfokus pada unsur kerusakan pada tanah.” Ahli hukum lingkungan hidup Universitas Indonesia Andri Gunawan juga berpendapat, wajib bagi pemerintah menggunakan konsep strict liability dalam mengajukan gugatan kasus lingkungan hidup. Hal tersebut juga harus diimbangi dengan pembaruan paradigma hakim.
“Pakai hakim bersertifi kasi lingkungan,” tegasnya. (Pro/H-3)
 
 
Media Indonesia. 14 Januari 2016. hal: 12

Print Friendly, PDF & Email

Share this post:

Recent Posts

Comments are closed.