Menperin Minta Moratorium HTI Dicabut, Industri Kertas Terancam Setop Produksi

JAKARTA – Sejumlah perusahaan di industri bubur kertas (pulp) dan kertas nasional terancam berhenti berproduksi tahun depan, seiring berlakunya pembekuan izin operasi hutan tanaman industri (HTI) akibat maraknya kebakaran hutan. Kebijakan itu membuat pasokan bahan baku berupa kayu ke industri pulp dan kertas tersendat.
Sejalan dengan itu, ekspor pulp dan kertas tahun depan bakal kurang dari US$ 5,6 miliar. Ribuan karyawan HTI dan industri pulp dan kertas juga terancam dirumahkan.
Direktur Industri Hasil Hutan dan Perkebunan Ditjen Industri Agro Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Pranata mengatakan, industri pulp dan kertas sebenarnya berpotensi tumbuh 3-4% tahun depan, karena termasuk komoditas prioritas. Namun, target itu sulit dicapai jika industri ini masih dilanda ketidakpastian bahan baku akibat moratorium hutan. Bahkan, industri pulp dan kertas terancam tidak bisa berproduksi jika masalah itu tidak segera diselesaikan.
“Kami berharap PT OKI bisa segera memulai produksi sebanyak 2 juta ton. Yang pasti, kami harapkan moratorium tidak diperpanjangan hingga dua tahun lagi, karena sangat berat bagi industri,” ujar Pranata di Jakarta, Selasa (22/12).
Pranata mengatakan, untuk memproduksi 1 juta ton pulp dibutuhkan kayu dari area seluas 250 ribu hektare (ha). Dengan demikian, jika kawasan yang dibekukan sekitar 500 ribu ha, industri berpotensi kehilangan 2 juta ton pulp tahun depan.
Selama ini, kata dia, mahalnya harga kertas dan bahan baku kertas selalu menjadi kendala dari tahun ke tahun. Oleh karena itu, Kemenperin akan berkoordinasi dengan Kementerian Perdagangan (Kemendag) agar importasi kertas bekas disederhanakan sehingga bisa dijadikan bahan baku.
Saat ini, produksi pulp mencapai 6,4 juta ton per tahun dan produksi kertas 10,4 juta ton per tahun. Adapun ekspor pulp mencapai 3,5 juta ton senilai US$ 1,72 miliar atau sekitar Rp 23,5 triliun dan ekspor kertas sebesar 4,35 juta ton senilaiUS$3,74miliaratauRp51,2triliun.
Pranata menilai, dengan adanya peraturan pembekuan izin dan larangan penghentian operasi tidak hanya di areal terbakar saja, tetapi juga di seluruh areal operasi, target pertumbuhan industri pulp dan kertas tahun depan tidak akan tercapai.
“Kami akan mengirimkan surat keberatan kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan agar peraturan pembekuan izin dan larangan penghentian operasi di seluruh areal operasi HTI dicabut. Industri pulp dan kertas memiliki daya saing yang tinggi dan menyerap ribuan tenaga kerja,” ujar Pranata.
Industri pulp dan kertas juga meminta pemerintahmencabut peraturan pembekuan izin perusahaan HTI, terkait dengan dugaan pembakaran hutan. Aturan ini dinilai bisa membuat pasokan bahan baku kertas terancam berkurang sehingga kinerja ekspor dan devisa negara akan turun.
Suara Industri
Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Purwadi Soeprihanto menyayangkan, pembekuan izin dengan larangan penghentian operasi tidak hanya di areal terbakar saja, tetapi diseluruh areal operasi.
Akibatnya 901.184 ha areal HTI berhenti beroperasi. Dengan pembekuan izin tersebut, akan terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) tenaga kerja langsung sekitar 40.202 orang. Pembekuan izin akan berdampak pada menurunnya pasokan bahan baku ke industri yang berujung padamelemahnya kinerja ekspor.
“Pasokan kayu ke industri pulp triwulan III turun 30%, kondisi ini membuat devisa, pajak, dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) menurun, sehingga perekonomian juga melemah. Diperkirakan, devisa ekspor industri pulp tahun depan akan dibawah tahun ini yang mencapai US$ 5,6 miliar dolar AS,” papar dia.
Sampai saat ini, belum ada kepastian kapan izin perusahaan yang dibekukan dapat beroperasi kembali. Purwadi mengusulkan, areal yang terbakar pada areal konsensi tetap dapat dilakukan rehabilitasi oleh pemegang izin dengan pengawasan dari pemerintah secara transparan.
Investor Daily, 23 Desember 2015, Hal. 8

Print Friendly, PDF & Email

Share this post:

Related Posts

Comments are closed.