Pemerintah Akan Pangkas Hambatan Industri Sawit dan Kertas

JAKARTA – Pemerintah berjanji untuk mengatasi berbagai hambatan ( bottlenecking) yang dihadapi industri berbasis kehutanan di Tanah Air, terutama industri kelapa sawit serta bubur kertas (pulp) dan kertas. Keduanya merupakan industri strategis karena mampu memberikan kontribusi signifikan bagi perekonomian nasional. Oleh karenanya kendala perizinan, birokrasi, perpajakan, pasokan bahan baku, hingga pengembangan industri itu sendiri akan dicarikan solusi konkret agar pertumbuhan industri tersebut terjaga.
Menteri Perindustrian Saleh Husin mengatakan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menginstruksikan tiga menteri terkait industri berbasis kehutanan, yakni Menteri Perindustrian, Menteri Perdagangan, dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), untukmelakukan evaluasi atas regulasi yang harus dibenahi atau dipangkas guna mendorong laju peningkatan industri tersebut. “Pemerintah akan melakukan review apa saja yang harus dilakukan untuk industri kelapa sawit serta pulp dan kertas. Keduanya merupakan industri andalan Indonesia karena merupakan industri strategis yang keseluruhannya bermuatan lokal. Misalnya, kita akan lihat aturan apa yang selama ini menghambat industri sawit serta pulp dan kertas, nanti akan dipangkas atau dibenahi,” kata Saleh Husin di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Selasa (2/2).
Saleh Husin mendampingi Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam pertemuan dengan jajaran pimpinan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (APKI), dan Asosiasi Pengusaha Hutan Industri (APHI) di Istana Merdeka. Hadir pula Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong, Menteri LHK Siti Nurbaya, dan Sekretaris Kabinet Pramono Anung. Pertemuan Presiden Jokowi dengan kalangan asosiasi itu dilakukan untuk mendengarkan secara langsung berbagai masukan, kritikan, dan harapan dunia usaha bagi peningkatan industri sawit serta pulp dan kertas.
Saleh Husin menuturkan, pemerintah sejatinya terus mendorong industri sawit nasional, industri strategis tersebut harus betul-betul dikembangkan. Industri sawit telah menyumbangkan devisa sebesar US$ 21,7 miliar pada 2014 dan menjadi US$ 18,6 miliar pada 2015. Sementara itu, tenaga kerja langsung yang terlibat dalam industri tersebut mencapai 6 juta orang. “Untuk itu, pemerintah memandang perlunya upaya duduk bersama untuk meningkatkan produksi terutama dari perkebunan mandiri masyarakat. Ini karena saat ini 43% areal perkebunan sawit di Indonesia adalahmilikmasyarakat dan plasma,” kata Saleh Husin.
Saat ini, hasil perkebunan mandiri masyarakat masih sangat rendah, yakni 2,5 ton per hektare (ha). Ini jauh lebih rendah dari kebun plasma yang merupakan binaan pada perusahaan besar. Di sisi lain, kualitas yang dihasilkan pun tidak sebaik perkebunan plasma. Namun demikian, perkebunan mandiri masyarakat harus dipertahankan guna mendukung program mandatori biodiesel. Penggunaan biodiesel dari minyak sawit yang saat ini masih rendah, harus didorong agar nantinya bisa mengangkar harga minyak sawit. “Ini yang harus diperhatikan, apalagi saat ini sudah ada BLU sawit (Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit/BPDP-KS), sehingga nantinya dana itu bisa untuk replanting kebun sawit masyarakat,” kata dia.
Program mandatori biodiesel untuk tahun ini diarahkan menuju pencampuran hingga 20% (B20). Menurut Saleh Husin, pihaknya akan berkoordinasi dengan Gaikindo (Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia) agar industri otomotif bisa menyesuaikan dengan kebijakan pemerintah. Dengan cara itu, penyerapan bioiesel akan tinggi dengan sendirinya dan harga minyak sawit akan naik. “Kalau harga minyak sawit naik tentu akan berdampak kepada masyarakat secara luas yang menguasai lahan sawit, baik yang mandiri maupun plasma. Penghasilan mereka lebih baik,” kata Menperin.
Menperin juga menyampaikan bahwa pemeringah terus mendorong agar hilirisasi industri minyak sawit juga dilakukan. Saat ini, hilirisasi sawit sudah cukup berhasil yang ditandai dengan mulai berkurangnya ekspor minyak sawit dalam bentuk mentah (crude palm oil/CPO). “Ini yang terus kita dorong, yaitu bagaimana pemerintah akan mendorongnya dengan memberikan rangsangan, misalnya insentif fiskal untuk industri sawit yang menghasilkan produk turunan CPO,” papar Menperin.
Pun dengan industri pulp dan kertas, kata Saleh Husin, industri tersebut merupakan andalan ekonomi nasional. Industri tersebut menghasilkan produk yang berbahan baku hasil hutan yakni kayu. Sektor hulu dan hilir dari industri pulp dan kertas saat ini semuanya mengandalkan pasokan kayu lokal. “Industri pulp dan kertas adalah andalan ekonomi kita, produknya berasal dari hutan dan produk hasil dari hulu ke hilir ada di Indonesia. Jika industri tekstil devisanya mencapai US$ 13,5 miliar, namun bahan bakunya yang diimpor kira-kira sekitar US$ 8 miliar. Tapi kalau industri pulp milsanya, tidak ada impor. Ini yang disampaikan bahwa dari hulu sampai hilir industri pulp dan kertas semuanya lokal, sehingga butuh dukungan,” kata Saleh.
Marak Kayu Impor dan Beban Pajak
Menteri LHK Siti Nurbaya mengungkapkan, kendala yang dikeluhkan para pengusaha yang bergerak di industri berbasis kehutanan terutama adalah maraknya peredaran kayu impor, termasuk kayu impor yang masuk tanpa aspek legal atau tanpa persyaratan legal. Sementara kayu milik anggota Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) yang akan diekspor harus menggunakan syarat legal. “Presiden memerintahkan saya untuk melihat kembali seluruh strategi yang lalu. Mencari upaya bersama untuk mengembangkan strategi yang tepat tentang pengembangan hutan taman industri (HTI) dalamnegeri,” kata Siti.
Siti Nurbaya berjanji akan melihat kembali secara keseluruhan peta jalan (road map) industri tersebut dan akan menyesuaikanya dengan perkembangan dan target-target pemerintah. Pada dasarnya, potensi industri berbasis kehutanan masih sangat besar. Hanya saja, selama ini kondisi di lapangan menunjukkan bahwa industri itu banyak di Jawa, sehingga kayu-kayu itu harus diangkut ke Jawa dengan harga yang mahal. Masalah lain dari industri itu adalah harga kayu. APHI meminta agar perizinan kayu gergajian diperlonggar, selama ini ada peraturan menteri perdagangan (Permendag) yang membatasi industri kayu gergajian, misalnya luasan penampang kayu untuk diekspor dan industri seperti apa yang boleh serta hal lainnya.
Dia juga mengakui, saat ini tidak semua izin konsesi HTI efektif atau beroperasi. Menurut catatan APHI, lebih dari 10,7 juta hektare (ha) HTI berizin yang efektif hanya 4 juta ha. “Kita ada catatan-catatan tentang itu, termasuk visualisasi langsung tutupan lahan dan sebagainya serta kemajuan pertanamannya,” ujar dia.
Siti juga mengatakan, APHI juga meminta perhatian pemerintah tentang perpajakan dan kebijakan fiskal. Saat ini, di sektor kehutanan memang ada beberapa pajak yang dikenakan yaitu PSDR (Pengelolaan Sumber Daya Hutan dan Reboisasi) serta ada Pajak Nilai Tegakan. Pengusaha juga keberatan dengan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Untuk itu, Menteri LHK Siti Nurbaya berjanji akan meminta Dirjen secara teknis dan Sekjen untuk melihat kembali apa saja yang betul-betul menjadikan kesulitan dunia usaha dan tidak sesuai dengan ketentuan perundangan maupun peraturan pemerintah (PP). “Pajak-pajak yang lain tentu kami harus konsultasikan kepada Menteri Keuangan karena menyangkut PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak), ada UU sehingga harus konsultasi betul denganMenteri Keuangan,” jelas dia. (tl)
Investor Daily, Rabu 3 Februari 2016, Hal. 7

Print Friendly, PDF & Email

Share this post:

Related Posts

Leave a Comment