PP Lahan Gambut Perlu Diperbaiki

JAKARTA – Himpunan Gambut Indonesia (HGI) menyatakan bahwa PP No 71 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan EkosistemGambut perlu diperbaiki dengan mempertimbangkan kajian ilmiah dan keterlibatan semua pemangku kepentingan (stakeholders ) di sektor terkait. Salah satu ketentuan yang perlu direvisi adalah soal pembatasan muka air paling rendah 0,4 meter dari permukaan lahan gambut.
Ketua HGI Supiandi Sabiham men­ jelaskan, salah satu ketentuan yang perlu direvisi adalah soal pembatasan muka air paling rendah 0,4 meter dari permukaan. Ketentuan itu sa­ ngat rancu karena bergantung pada curah hujan. “Sulit untuk menetapkan ketinggian muka air secara mutlak. Seharusnya penetapan ketinggian ditetapkan secara kisaran (range) agar tidakmenimbulkan polemik berkepan­ jangan,” kata dia di Jakarta, kemarin.
Supiandi mengatakan, pengukuran kedalaman juga dilakukan dengan menggunakan pada beberapa titik dan diambil nilai rata-ratanya. Pengukuran pun harus dilakukan pada musim pa­ nas dan musim kering agar hasilnya akurat. Persoalan kebakaran pada prinsipnya tidak berkorelasi dengan kebakaran hutan dan lahan (karhutla). “Kebakaran hutan lebih disebabkan faktor sosial. Itu yang perlu dicari jalan keluarnya,” ungkap dia.
Pakar gambut Azwar Maas juga menegaskan, yang terpenting dalam pengelolaangambut sebenarnya bukan­ lah soal tinggi rendahnyamuka air. Me­ lainkan kepastian gambut tetap terjaga kelembabannya. Gambut yang lembab mencegah dari kebakaran. Lahan gam­ but yang dalam sebenarnya masih bisa dimanfaatkan tergantung sejumlah fak­ tor, seperti lokasi, jenis komoditas, dan pengelolaannya. “Contohnya kegiatan budidaya padi di Tembilahan, Sumatera Selatan, yang tetap produktif meski di­ lakukan pada gambut dengan kedalam­ an lebih dari 10 meter. Yang penting bagaimana menjaga ekosistemgambut agar tetap berkelanjutan,” kata dia.
Sementara itu, Ketua Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia bidang Hutan Tanaman Industri (HTI) Nana Suparna mengatakan, apabila PP Gambut ini diterapkan maka semua HTI di lahan gambut secara otomatis akan menghentikan kegiatannya. Po­ tensi kerugian yang ditimbulkan pun sangat besar mencapai Rp 103 triliun per daur tanam. Kematian juga meng­ ancam industri hilir pengguna bahan baku kayu HTI, pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran pun akan terjadi. Saat ini saja, HTI yang terhenti operasionalnya karena berbagai ken­ dala ekonomi seperti konflik lahan, tumpang tindih regulasi, termasuk pungutan dan iuran, sudah puluhan unit. “Dengan berlakunya PP Gambut, HTI yang aktif akan berkurang lagi, menjadi 27% dari 45% yang kini aktif, karena 60% dari HTI yang beroperasi adalah HTI gambut,” ungkap dia.
Investor Daily, Rabu 15 Oktober 2014, hal. 7

Print Friendly, PDF & Email

Share this post:

Related Posts

Comments are closed.