Tak Semua Perusahaan Perkebunan Wajib Buat Kebun Plasma

JAKARTA – Kementerian Pertanian (Kementan) segera menyusun Peraturan Pemerintah (PP) yang mengatur tentang besaran skala luas perkebunan yang wajib menyerahkan 20% lahannya untuk dikelola masyarakat sekitar. Skala luas perkebunan perlu ditetapkan karena tidak semua perkebunan di Indonesia memiliki lahan yang begitu luas sehingga tidak bisa dipukul rata.
Menteri Pertanian Suswono mengungkapkan, UU Perkebunan yang disahkan DPR pada Senin (29/9) mengatur kewajiban bagi perusahaan perkebunan untuk menyerahkan 20% lahannya untuk dikelola masyarakat. Namun, dalam aturan tersebut tidak disebutkan skala luas perkebunan yang wajib menjalankan ketentuan tersebut. “Bila semua dikenakan, tentu akan merugikan bagi pengusaha kebun yang mempunyai luas lahan minim. Karena itu, segera disusun PP. Jadi, plasma 20% tetap berlaku untuk perusahaan perkebunan, hanya saja skalanya akan diatur di dalam PP,” kata dia di Jakarta, pekan lalu.
Selain PP itu, kata Suswono, Kementan juga segera menyusun PP tentang berapa besaran atau persentase pembatasan investasi bagi pemodal asing. Besaran pembatasan akan mempertimbangkan jenis komoditas, skala usaha, dan wilayah. “Harus dibedakan investasi asing di wilayah potensial dan wilayahremote yang minim infrastruktur. Pengaturan PP itu akan diatur oleh menteri pertanian di masa pemerintahan Jokowi-JK. Yang pasti, PP itu akan dibuat tidak berlaku surut karena dapat menimbulkan tidak kepastian usaha dan gejolak,” kata dia.
Dirjen Perkebunan Kementan Gamal Nasir mengatakan, penerbitan kedua PP tersebut tergantung dari keseriusan pemerintahan baru dalam membenahi subsektor perkebunan. Namun biasanya PP bisa keluar antara rentang waktu 6 bulan hingga setahun sejakUUdisahkan. Sedianya produk turunan dari UU Perkebunan yang baru terdiri atas tiga PP dan delapan Peraturan Menteri (Permen). “Tergantung situasiny, ini perlu dikaji lebih mendalam. Berapa skala yang ideal untuk melakukan itu, termasuk investasi asing karena kondisi tiap daerah berlainan,” ujar Gamal Nasir.
Sekjen Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono mengatakan, skala usaha perkebunan untukmenyumbang 20% lahan untuk rakyat, konsepnya sudah ada dalam Permentan No 98 Tahun 2013 tentang Pedoman Izin Usaha Perkebunan, sehingga apabila ada pengusaha perkebunan baru yang ingin mengurus izin harus didesain dari awal soal kewajiban plasam 20% itu. “Itu dikemukakan kalau 20% untuk rakyat. Tapi kalau kebun-kebun lama tidak mungkin dipaksa, jadi itu untuk izin baru dan tidak berlaku surut,” ujar Joko.
Joko mengaku, pengusaha sawit tidak keberatan akan kewajiban penyediaan kebun plasma seluas 20% dari total lahan tersebut, justru dari awal Gapki sudah mendukung. Sebab, itu menjadi kekuatan perkebunan kelapa sawit di masa depan. “Di PT Astra Agro Lestari misalnya, sudahmenyediakan 20% lahan perkebunan untuk rakyat. Sekitar 23 kebun milik Astra sudah melaksanakan kewajiban itu, total plasma 65ribu hektare (ha),” kata dia.
Lebih jauh Jokomengatakan, secara umum UU Perkebunan yang baru sudah mengakomodir kepentingan pengusaha. Meski sebenarnya masih abu-abu dan harus diturunkan dalam PP. Gapki sendiri siap mengawal PP turunan dari UU tersebut. Terkait pembatasan kepemilikan asing, Gapki menilai hal itu harus dilihat secara situasional. Idealnya, perludibuatroadmap, apakah memang membutuhkan investasi asing atau tidak. Faktanya sekarang tidak ada sektor perkebunan yang tidakada campur tanganpihakasing. Pembatasan ini lucu, di satu pihak pemerintahgencarmengundangasing untuk investasi tetapi di pihak lain dibatasi. (leo)
Investor Daily, Senin 6 Oktober 2014, hal. 7

Print Friendly, PDF & Email

Share this post:

Related Posts

Comments are closed.