JAKARTA – Komisi IV DPR dan Kementerian Pertanian (Kementan) akhirnya sepakat untuk tidak memasukkan persentase pembatasan kepemilikan modal asing dalam draf amendemen UU No 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan. Persentase pembatasan tersebut akan diatur tersendiri dalam peraturan pemerintah (PP) yang akan disusun setelah UU Perkebunan yang baru disahkan akhir bulan ini.
Sebelumnya, amendemen UUPerkebun anmemuat klausul pembatasan saham asing di perusahaan perkebunan sebesar 30%.
Wakil Ketua Komisi IVHerman Khaeron mengatakan, pembahasan amendemen UU Perkebunan terus dilakukan. Bila sebelumnya dalam draf memuat klausul pembatasan kepemilikan modal asing pada perusahaan perkebunan sebesar 30%, kini tidak lagi. “Sebenarnya bukan melunak pembahasannya. Dalam draf nanti tetap dicantumkan, hanya saja sifat yang mem batasi itu atau angkanya tidak dicantumkan dalam UU yang baru,” ungkap dia usai ra pat kerja Komisi IVDPR dengan Kementan di Jakarta, Senin (15/9).
Herman mengungkapkan, perubahan itu dilatarbelakangi fakta bahwa subsektor perkebunan memiliki banyak kategori atau tidak bisa semua komoditas perkebunan disamaratakan. Awalnya, perubahan terse but berasal dari pembahasan informal yang dilakukan Komisi IV DPR dengan Menteri Pertanian Suswono. “Pembatasan dalam UU adalah afirmatif legislasi, nanti kuantitas angka diatur dalamPP. Ini sama dengan UU tentang Investasi yang tidak membatasi secara kuantitatif tetapi diserahkan atau diatur lebih dalammelalui PP,” ujar Herman.
Herman meminta pengusaha tidak perlu khawatir dengan hadirnya UU Perkebunan yang baru. Komisi IV DPR siap mendengar dan mendalami setiap pendapat dan kemu dian membahasnya dengan pemerintah. Komisi IV menyadari bahwa subsektor perkebunan merupakan penyumbang devi sa negara yang cukup besar. “Kami berpikir lebih jauh soal pembatasan dan tidak jadi dicantumkan dalam UU untuk kemudian didelegasikan dalam PP. Biar nanti peme rintah yangmendelegasikan per komoditas besarannya berapa. Ini wacananya,” ujar dia.
Menurut dia, pembahasan besaran persentase pembatasan kepemilikanmodal asing dalam PP akan dibahas lebih jauh oleh panitia kerja (panja) dengan peme rintah. Dalam pembahasan itu juga akan dilakukan public hearing dengan pergu ruan tinggi selaku perwakilan akademisi. Selain itu juga akan mengundang asosiasi perkebunan, seperti Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), untuk memberikan masukan yang terbaik.
Dengan kesepakatan itu, kata Herman, klausul yang diatur dalam draf UU Perke bunan yang baru di antaranya menakup penyampaian data dan informasi yang belum diatur dalam UU Perkebunan sebelumnya, kewajiban pengelolaan minimal plasma dan inti, integrasi ternak dan kebun sawit, dan kewenangan perizinan. Selama ini, izin perkebunan di daerah secara prin sip merupakan kewenangan daerah, na mun bila terkait dampak dari keberadaan perkebunan itu menjadi kewenangan pemerintah pusat. “Yang menjadi sorotan kami adalahnya adanya tumpang tindih izin begitu ada pergantian pimpinan daerah. Kami ingin ini diubah, izin dikeluarkan oleh pemerintah pusat melalui Kementan untuk memberikan legalitas yang jelas,” kata dia.
Herman menuturkan, kebijakan per izinan perkebunan selayaknya menjadi ke wenangan pemerintah pusat dan tidak bisa menggunakan sistem parsial. Ini karena subsektor perkebunan harus dibangun dengan sebuah perencanaan atau cetak biru (blue print). Misalnya, cetak biru perkebunan sawit dimuat tentang berapa hektare (ha) lahan untuk perkebunan sa wit, nantinya pemerintah daerah inline atau mengikuti perencanaan pusat. “Tu juan akhirnya adalah untuk menciptakan kepastian usaha, tapi kepentingan rakyat juga diutamakan. Perkebunan adalahback bone sehingga di dalamnya ada kepenting an nasional,” kata dia.
Sebelumnya, Gapki menolak revisi UU Perkebunan. Alasannya, amendemen UU Perkebunan tersebut akanmembatasi kepe milikanmodal asing di perkebunan sebesar 30%. Direktur Eksekutif Gapki Fadhil Hasan mengingatkan, jangan sampai adanya aturan tersebut membuat investasi di subsektor perkebunan kelapa sawitmenjadi berkurang karena investor tidak mau masuk.
Investor Daily, Selasa 16 September 2014, hal. 7