GabunganPengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menolak revisi UU No 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan. Alasannya, amendemenUUPerkebunan tersebut akan membatasi kepemilikan modal asing di perkebunan sebesar 30%. Proses revisi UU itu sendiri kini masih dalam pembahasan di Komisi IV DPR dan diharapkan disahkan pada akhir bulan ini.
Direktur Eksekutif Gapki Fadhil Hasan mengungkapkan, pihaknya menolak draf RUU Perkebunan yang baru yang memuat klausul tentang pembatasan kepemilikan modal asing pada perusahaan perkebunan sebesar 30%. Nantinya, perusahaan-perusahaan itu diberikan waktu selama lima tahun untuk menyesuaikannya. “Kami kira ini harus dipertimbangkan masak-masak. Perekomonian nasional secara keseluruhan masih membutuhkan investasi baik asing ataupun dalam negeri,” ujar Fadhil di Jakarta, Rabu (10/9).
Gapki mengingatkan, jangan sampai adanya aturan tersebut membuat in vestasi di subsektor perkebunan ke lapa sawit menjadi berkurang karena investor tidak mau masuk. Pemerintah juga harus memikirkan efisiensinya, mengingat skala pengusahaan sawit penting dengan adanya persaingan yang semakin ketat, baik di dalam negeri antarindustri dan di luar negeri antar negara. Terlebih, Afrika mulai membuka lahannya untuk sawit dan Brazil mulai masuk usaha sawit. “Jangan sampai investor malah lari ke Brazil atau negara lain. Jangan sampai ada keguncangan akibat peraturan itu dan menimbulkan ketidakpastian usaha,” ucap dia.
Fadhil mengungkapkan, apabila memang ada pembatasan akan lebih baik cukup diatur dalam peraturan pemerintah (PP) dan bukan UU. UU cukup menyatakan kepemilikan asing akan dibatasi melalui peraturan lebih lanjut, seperti yang sekarang berlaku melalui peraturan tentang daftar negatif investasi (DNI). Kepala Negara sendiri pun sebenarnya sudah menyatakan ke tidaksetujuannya terhadap pembatasan kepemilikan asing. “Dengan adanya desakan aspirasi penolakan dari swasta, kami berharap DPR dan pemerintah betul-betul mempertimbangkan aturan itu. Karena ini untuk menjaga iklim in vestasi,” kata Fadhil.
Wakil Ketua Komisi IV DPR Herman Khaeron menjelaskan, revisi UU Perkebunan merupakan inisiatif DPR dengan tujuan memberikan perlindungan terhadap kawasan. Komisi IV DPR menerima dengan baik masukan dari Gapki tentang klausul pembatasan kepemilikan asing di perusahaan perkebunan. Latar belakang dari pembatasan tersebut adalah untuk meningkatkan pengusahaan dalam negeri, yakni 70% perusahaan domestik dan 30% lainnya bisa asing. “Kami ingin meningkatkan pengusahaan dalam negeri, untuk perusahaan yang sudah ada kami akan berikan masa penyesuaian selama lima tahun,” ungkap Herman.
Herman juga mengatakan, pihaknya juga menggeser PP tentang Pemanfaatan Lahan Terlantar Tujuannya adalah agar ada komitmen yang kuat dari pelaku usaha sehingga dibatasi. Misalnya, tiga tahun terpakai 50%, enam tahun bisa menyelesaikan 80%, dan 10 tahun seluruh hak guna usaha (HGU) bisa dijadikan kawasan perkebunan. “Ini karena saat ini, para pengusaha rata-rata menempatkan 60% lahan untuk digunakan dan 40% untuk dicadangkan. Itu membuat perkebunan tidak produktif, di sisi lain telah dilepas dari kehutanan atau sudah dibeli masyarakat. Ini juga untuk memberikan kepastian usaha, ini yang menjadi satu upaya untuk memberikan revisi itu agar masyarakat bisa juga menikmati perkebunan itu,” kata dia.
Komisi IV DPR tidak takut amendemen UU Perkebunan tersebut akan digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) sama seperti UU Hortikultura. Komisi IV DPR hanya bertekad membuat UU Perkebunan menjadi lebih baik. Misalnya tentang mekanisme pengalihan saham apabila pembatasan kepemilikan saham, itu semuanya diserahkan kepada pemerintah. (leo)
Investor Daily, Kamis 11 September 2014, hal. 7