Indonesia Jajaki Pembangunan Rubber Valley US$ 5 Miliar

JAKARTA – Pemerintah bersama Dewan Karet Indonesia berencana membangun kawasan industrial khusus karet (rubber valley) di Kalimantan Timur (Kaltim) sebagai upaya hilirisasi produk tersebut. Pengembangan rubber valley tersebut akan membutuhkan investasi minimal sebesar US$ 5 miliar (Rp 58,6 triliun).
“Kementerian Perindustrian danDewan Karet tengah menjajaki kemungkinan untuk mengembangkan rubber valleydi Kalimantan Timur. Ini seperti Rubber Valley yang ada di Shandong, Tiongkok. Rubber Valley di Shandong mampu menampung ratusan perusahaan pengolahan karet, padahal me­reka tidak punya karet alam dan mendatangkan bahan bakunya dari kita,” kata Ketua Umum Dewan Karet Indonesia Aziz Pane kepada Investor Daily di Jakarta, Rabu (27/8).
Sebagai tahap awal, lanjut Aziz, Rubber Valley di Indonesia bisa diisi de­ngan 10 pabrik pengolahan karet. Untuk pembangunan satu pabrik, dibutuhkan investasi sekitar US$ 100-500 juta.
“Itu saja sudah cukup untuk membuat nama Indonesia mendunia di pasar global. Selanjutnya, investor akan datang sendiri untuk investasi di Rubber Valley ini,” tambah dia.
Rubber Valley tersebut, kata Aziz, akan diisi pabrik-pabrik pengolahan karet. Hasil produksi pabrik akan ditujukan untuk pemenuhan kebutuhan pasar dalam negeri dan ekspor.
Aziz mencontohkan, investasi yang dibutuhkan untuk membangun pabrik ban mencapai US$ 300-500 juta. De­ ngan investasi tersebut, pabrik ini mampu memproduksi sekitar 1,5-2 juta ton ban per tahun. Sementara untuk pabrik Dock Fender (karet bantalan di pelabuhan), dibutuhkan investasi sekitar US$ 150 juta.
Kalimantan Timur, menurut Aziz, dipilih menjadi lokasi Rubber Valley setelah melalui berbagai pertimbang­ an. Wilayah ini dinilai memiliki nilai strategi dimana banyak lahan bekas pertambangan yang tidak tergarap. “Kita bisa mereboisasi area bekas pertambangan ini . Kita ingin industri di Kalimantan jangan hanya pertambangan saja, tetapi karet juga bisa,” jelas dia.
Aziz mengungkapkan, pihaknya sudah siap menarik investor-investor asing untuk berinvestasi di Rubber Valley tersebut. Beberapa investor strategis yang akan didekati adalah Jepang, Korea Selatan, dan Singapura.
Aziz menjamin, industri tersebut tidak akan kekurangan bahan baku karet untukmenjalankan produksinya. “Kita bisa sediakan bahan baku karet sebesar yang dibutuhkan. Dan kalau domestik demand terhadap karet semakin besar, ini akan menggairahkan petani untuk kembali menanamkaret,” tambah dia.
Hilirisasi
Selama ini, produksi karet alam Indonesia sebagian besar diekspor ke pasar global dan hanya sedikit yang diserap pasar domestik. Tercatat, hanya 15% dari total 3 juta ton produksi karet Indonesia yang dipasok untuk diolah industri di dalam negeri. Sisanya yang mencapai 2,55 juta ton masih diekspor dalam bentuk karet mentah.
Oleh karena itu, Aziz juga mendesak pemerintah untuk memacu hilirisasi industri berbasis karet. Hilirisasi ini penting untukmengamankan pasokan bahan baku industri pengguna karet olahan di dalam negeri.
“Industri berbasis karet kita itu kebanyakan ban. Dan itu sudah hampir jenuh. Tapi, pemerintah hanya mendorong industri yang itu-itu saja. Padahal, industri hilir berbasis karet tidak hanya ban. Pemerintah harus mendorong pembangunan industri berbasis karet, misalnya dengan mengembangkan industri berbasis karet untuk bahan penolong produksi sepatu,” kata Aziz
Aziz menjelaskan, dari total karet lokal yang dipasarkan di dalam ne­geri, sekitar 68% dipasok untuk industri ban di dalam negeri, sekitar 25% untuk industri sepatu karet, dan sisanya untuk industri komponen otomotif. Sedangkan 85% sisa produksi karet Indonesia ditujukan untuk kepentingan ekspor.
Padahal, lanjut dia, angka itu bisa lebih tinggi jika industri penyerap di dalam negeri tumbuh lebih banyak, terutama industri-industri pengolahan karet untuk bahan penolong industri manufaktur.
Aziz mencontohkan, industri sepatu karet di dalam negeri sampai saat ini masih kesulitan mendapatkan bahan penolong berupa sol untuk produksi­ nya. Akibatnya, industri sepatu karet di dalam negeri mengandalkan pasokan sol impor dari Korea dan Tiongkok.
Sampai saat ini, terdapat sekitar 200 perusahaan sepatu karet, dan 100 diantaranya merupakan perusahaan berskala kecil. “Perusahaan-perusahaan besar masih bisa berinvestasi membangun fasilitas produksi sol karet. Jadi, mereka tidak perlu mengandalkan impor. Kalau yang skala kecil, harus mengimpor karena mereka tidak mampu membangun fasilitas pendukung untuk memproduksi sol karet,” ujar Aziz.
Aziz melanjutkan, pengusaha-pe­ ngusaha sepatu ini sudah pernah melaporkan masalah tersebut ke pemerintah. Sebab, jika harus terus mengandalkan bahan baku atau bahan penolong impor juga bisa menjadi masalah buat mereka.
Untuk itu, menurut Aziz, pembangunan industri hilir untuk kebutuhan bahan baku dan bahan penolong industri manufaktur di dalam negeri harus dipercepat. Apalagi, pasokan bahan baku seperti karet sudah bisa dihasilkan dari dalam negeri.
“Saya hanya bisa menyampaikan semoga dengan UU No 3/2014 tentang Perindustrian dan UU tentang Perdagangan yang baru, persoalanpersoalan ini bisa diatasi. Jadi, peme­ rintah tidak lagi hanya menanggapi dengan jawaban yang biasa. Yakni, terkendala infrastruktur. Persoalan seperti ini harus segera dibereskan,” kata Aziz.
Investor Daily, Kamis 28 Agustus 2014, Hal. 7

Print Friendly, PDF & Email

Share this post:

Related Posts

Comments are closed.