JAKARTA – Industri pembiayaan (multifinance) nasional sampai saat ini tidak kunjung memiliki undang-undang (UU) sendiri. Hal ini menimbulkan disparitas atau perbedaan harga yang berlaku di pasar pembiayaan.
Direktur Utama PT Mandiri Tunas Finance (MTF) Ignatius Susatyo Wijoyo mengatakan, pelaku industri multifinance sudah beberapa kali bertemu dengan para petinggi di Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Pihaknya sudah memberi masukan agar industri multifinance memiliki UU sendiri, seperti di asuransi dan dana pensiun (dapen).
Dengan hanya mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) tanpa memiliki undangundang sendiri, aturan industri multifinancekerap kalah dibanding sektor lain. “Misalnya, kalau ada masalah dengan konsumen, kami kalah dengan UU Perlindungan Konsumen,” ujar Ignatius di Jakarta, baru-baru ini.
Selain itu, adanya undangundang tersebut penting untuk memberikan definisi yang jelas mengenai konten yang ada di industri pembiayaan. Kontenkonten ini seperti pencadangan aktiva produktif, rasio kredit bermasalah (non performing loan/ NPL), danautomatic write off.
Begitu juga dengan rencana perluasan usaha industri multifinance. Rencana tersebut, menurut Ignatius, hanya akan menjadi rencana belaka karena aturan yang tidak solid. “Kepastian hukumnya sampai sekarang belum ada,” tegas dia.
Faktor terpenting dengan tidak adanya undang-undang industri multifinance, menurut Ignatius, adalah terjadinya disparitas harga di pasar. Artinya, masyarakat dihadapkan pada bermacam-macam harga atau tarif. “Dengan adanya disparitas di pasar, tentunya nasabah pasti beli yang lebihmurah, akibatnya persaingan jadi kurang sehat,” tutur dia.
Terjadinya disparitas harga karena aturan uang muka (down payment/DP) tidak dikeluarkan oleh satu institusi. Ignatius mengungkapkan, multifinance sebagai sebuah industri tidak berdiri sendiri. MTF, misalnya, mendapatkan pendanaan joint financingdari PT Bank Mandiri (Persero) Tbk.
Apabila mengacu pada pendanaan seperti ini, aturan DP mengacu pada Bank Indonesia (BI). Namun, apabila pendanaan MTF berasal dari obligasi atau pasar modal, aturan DP mengacu pada OJK. “Masih ada ambiguitas soal pengaturan DP, ada yang 25%, ada yang 30%,” ujar dia. (gtr)
Investor Daily, 21 Agustus 2014, hal. 22