OJK Dorong Pelunasan Utang LN Anak Usaha Bank

JAKARTA – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akan mendorong ketentuan pembatasan utang luar negeri (ULN) yang saat ini berlaku bagi bank untuk diterapkan terhadap anak usaha bank. OJK akan memantau aktivitas ULN pada anak usaha bank agar tidak terekspos dengan risiko nilai tukar.
Ketua Dewan Komisioner OJK Muliaman D Hadad menuturkan, pihaknya ikut serta dalam mendo­ rong pengendalian utang luar negeri swasta antara lain melalui edukasi dan penyuluhan. Hingga saat ini, sudah diatur pembatasan utang luar negeri untuk bank, na­ mun belum terhadap anak usaha.
“Kemudian, kami juga mau do­ rong penerapannya pada anak-anak usaha bank. Kami pantau juga agar tak terlalu terekspos dengan risiko nilai tukar yang berlebihan. Kami juga ingin pantau emiten-emiten,” ujar Muliaman di Jakarta, Selasa (16/7) malam.
Ia mengaku, OJK belum akan mengeluarkan aturan guna ikut mengendalikan ULN pada perusa­ haan jasa keuangan maupun emi­ ten. Namun, menurut dia, pihaknya akan melakukan analisis risiko utang luar negeri pada masingmasing perusahaan jasa keuangan dan emiten. Risiko-risiko pasar yang bakal dicermati tersebut, antara lain risiko nilai tukar dan kenaikan suku bunga acuan bank sentral Amerika Serikat (The Fed).
“Analisisnya akan ditekankan pada risiko yang ada di pasar dan kami akanminta manajemen untuk memperhatikan. Selain itu, untuk bank juga terkait dengan risiko kredit,” ungkap dia. Sebagai infor­ masi, saat ini otoritas telah mem­ berlakukan ketentuan pembatasan utang luar negeri perbankan mak­ simal 30% dari modal.
Sementara itu, Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Mirza Adi­ tyaswara menilai, OJK perlu untuk mengatur ULN swasta, khususnya yang dilakukan oleh emiten atau perusahaan yangmelantai di bursa. Kendati saat ini dalam prospektus surat utang sudah dijelaskan ra­ sio-rasio yangmemungkinkan pem­ batasan pinjaman terhadap debitor, menurut Mirza, pengaturan tetap diperlukan.
“Nah, rasio itu bisa ditambah soal utang valas dan utang luar negeri. OJK bisa mengatur itu. Kalau ada rasio-rasio tersebut, nanti kreditor (yang memberi pinjaman) juga melihat,” tambah dia.
Sebelumnya, Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan Ekono­ mi dan Moneter BI Juda Agung me­nyatakan, bank sentral akan meluncurkan kebijakan mitigasi risiko utang luar negeri (LN) me­ nyusul pemburukan kerentanan eksternal yang tercermin pada kenaikan sejumlah rasio utang LN hingga triwulan II-2014. Kebijakan ini ditujukan untuk mendorong kehati-hatian setiap perusahaan dalam melakukan pinjaman dalam bentuk valuta asing (valas).
Juda memaparkan, per triwulan II-2014 (hingga April) rasio debt to GDP utang luar negeri Indonesia tercatat 32,8%. Persentase ini relatif masih amanmenurut standar inter­ nasional dan tak jauh beda dengan posisi pada 2007.
Namun, untuk level debt service ratio (DSR) dan debt to expor t ma­sing-masing sebesar 50% dan 128,8%. Menurut dia, level kedua ra­ sio tergolong sudah berisiko. “DSR 50% ini sudah tinggi karena pada tahun 2007 hanya 20%. Sedangkan rasiodebt to export pada tahun 2007 tidak lebih dari 35%,” ujar Juda.
DSR adalah angka rasio yang diperoleh dari jumlah pembayaran bunga dan cicilan pokok utang luar negeri jangka panjang dibagi dengan jumlah penerimaan ekspor. Jika DSR semakin besar, beban utang luar negeri semakin berat dan serius. Menurut Juda, kenaik­ an DSR terutama disumbang oleh kenaikan utang luar negeri yang dilakukan oleh perusahaan-per­ usahaan di dalam negeri.
Dorong Kehati-hatian
Sebagai respons atas perkem­ bangan rasio-rasio utang tersebut, BI akan mendorong kehati-hatian setiap perusahaan dalam melaku­ kan pinjaman valas. “Kami men­ dorong adanya kebijakan terkait utang luar negeri swasta. BI sedang mengkaji suatu kebijakan untuk memitigasi kerentanan di sektor utang swasta. Nanti (kalau sudah selesai) akan kami komunikasi­ kan,” kata Juda.
Juda menadaskan, peningkatan utang luar negeri suatu negara akan diikuti dengan peningkatan sejumlah risiko perekonomian di antaranya risiko nilai tukar (cur­ rency mismatch) dan risiko over leverage atau utang lebih besar daripada pendapatan.
Terkait currency mismatch, menurut dia, utang luar negeri perusahaan-perusahaan di Indo­ nesia memiliki risiko yang perlu diwaspadasi. Pasalnya, dari survei yang dilakukan BI terhadap 100 perusahaan pengutang terbesar, hanya 12 perusahaan yang mel­ akukan lindung nilai (hedging). Sementara itu, 12 perusahaan memiliki lin­dung nilai alamiah (natural hedge) karena pendapatan dari ekspor dalam bentuk dolar AS.
“Jadi, ada 76 dari 100 perusahaan pengutang terbesar utannya tidak di-hedging atau tidak memiliki na­ tural hedge. Kalau ada gejolak, ini akan berdampak negatif kepada mereka,” kata Juda. Apalagi, ia me­ nambahkan, dari 2011 hingga 2013, risiko over leverage perusahaanperusahaan pengutang terbesar tersebut semakin meningkat.
Investor Daily, Kamis 17 Juli 2014, hal. 21

Print Friendly, PDF & Email

Share this post:

Related Posts

Leave a Comment