JAKARTA, KOMPAS — Pengusaha pertambangan mineral sulit mendapatkan pinjaman dari perbankan untuk membangun pabrik pengolahan dan pemurnian. Bank berhati-hati mengucurkan pembiayaan untuk sektor ini. Akibatnya, realisasi pembangunan pabrik bisa mundur dari target.
Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Mineral Indonesia (Apemindo) Ladjiman Damanik mengatakan, dukungan pembiayaan dari perbankan sangat diperlukan supaya program hilirisasi sektor tambang mineral yang digulirkan pemerintah bisa sukses.
”Sangat disayangkan, saat pemerintah menganjurkan pengolahan dan pemurnian mineral, tidak ada dukungan pembiayaan dari perbankan. Hal itu menyulitkan kami sebagai pengusaha,” kata Ladjiman di Jakarta, Selasa (15/7).
Menurut dia, pengusaha mineral tambang memerlukan dana untuk kegiatan pengolahan
dan pemurnian. Pembangunan smelter atau pabrik pengolahan dan pemurnian mineral itu sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Usaha mineral tambang semakin sulit mendapatkan dana karena ada kebijakan pemerintah yang melarang ekspor mineral mentah.
”Selama ini, sebagian pengusaha yang tergabung dalam Apemindo mendapat bantuan dari mitra asing untuk pendanaan smelter. Tetapi, kan, tidak bisa terus-menerus bergantung pada mereka,” ujar dia.
Tidak murah
Dana untuk pembangunan pengolahan dan pemurnian mineral, imbuh Ladjiman, tidak bisa dibilang murah. Dia mencontohkan, pembangunan smelter untuk jenis nikel berkapasitas konsentrat 18.000 ton per tahun memerlukan biaya investasi sedikitnya 32 juta dollar AS atau sekitar Rp 374,688 miliar. Dengan kapasitas tersebut, listrik yang diperlukan sekitar 6 megawatt.
”Kapasitas tersebut terbilang paling kecil. Jika smelter dengan kapasitas konsentrat mencapai ratusan ribu ton per tahun, angka investasi pembangunannya bisa mencapai ratusan juta dollar AS,” ujar Ladjiman.
Ketua Umum Perhimpunan Bank-bank Umum Nasional (Perbanas) Sigit Pramono menyatakan, perbankan hati-hati menyalurkan kredit pada 2014.
”Persepsi risiko penyaluran kredit ke sektor pertambangan meningkat pada tahun 2014 dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Hal ini menyebabkan perbankan berhati-hati menyalurkan kredit,” kata Sigit.
Risiko meningkat
Persepsi risiko kredit ke sektor pertambangan meningkat karena beberapa faktor. Kalangan perbankan menilai, sektor pertambangan mineral langsung terkena dampak implementasi UU No 4/2009. Dengan larangan ekspor mineral mentah, risiko yang dihadapi perusahaan pertambangan meningkat.
”Di tingkat global, permintaan berbagai komoditas, termasuk tambang, juga menurun karena pelemahan perekonomian dunia. Kondisi ini juga meningkatkan persepsi risiko,” ucap Sigit.
Peningkatan faktor risiko itu membuat perbankan sangat selektif memberikan kredit. Perbankan melihat satu per satu profil usaha pertambangan perihal kemungkinan memberikan pembiayaan. Jika risiko kredit macet tinggi akibat aliran kas perusahaan yang tidak lancar, biasanya bank tidak bersedia memberikan kredit.
”Selain faktor risiko, saya menduga ada perbankan yang sudah menyalurkan kredit ke sektor pertambangan cukup besar. Untuk itu, mereka membatasi penyaluran kredit baru ke sektor pertambangan,” ujar dia.
Data Otoritas Jasa Keuangan menunjukkan, kredit bank umum untuk sektor pertambangan dan penggalian per April 2014 mencapai Rp 124,408 triliun. Dari jumlah tersebut, Rp 2,401 triliun atau 1,93 persen merupakan kredit bermasalah.
(APO/AHA)
Kompas, Rabu 16 Juli 2014, hal. 20