JAKARTA – Indonesia terus berupaya meyakinkan pasar internasional bahwa industri kelapa sawit di Tanah Air telah dikelola dengan ramah lingkungan, terutama kepada Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa (UE) yang selama ini menolak penggunaan renewable fuel berbahan baku sawit.
Salah satu upaya yang dilakukan pelaku usaha nasional adalah dengan menerapkan teknologi atau instalasi penangkap gas metane (PGM/me thane capture) yang mampu mem bantu industri kelapa sawit dalamme nekan emisi gas rumah kaca (GRK).
Saat ini, sedikitnya 11% atau 74 pa brik kelapa sawit (PKS) di Tanah Air telah menerapkan teknologi PGM. PKS-PKS itu di antaranya adalah milik REA Kaltim, Sinarmas Group, Wilmar Group, PT Perkebunan Nusantara (PTPN) III, dan PTPN IV. Ditargetkan, pada 2020 sebanyak 60% dari total PKS di Indonesia yang berjumlah 680 unit telah menerapkan teknologi tersebut. Biaya penerapan teknologi tersebut terbilang mahal sebesar US$ 2 juta untuk setiap PKS, sehingga sejauh ini sudah US$ 148 juta yang dikeluarkan oleh 74 PKS di Indonesia.
Ketua Dewan Minyak Sawit Indo nesia (DMSI) Derom Bangun menga takan, penerapanPGMdi PKS bermula dari penolakan Badan Perlindungan Lingkungan Amerika Serikat (US Environmental Protection Agency/ EPA/USEPA) akan biodiesel berbahan bakuminyak sawit asal Indonesia. EPA masih berpandangan bahwa minyak sawit Indonesia hanya berkontribusi dalam pengurangan GRK sebesar 17% atau di bawah standar EPA 20%. Mela lui PGM, Indonesia meyakinkan EPA bahwa industri kelapa sawit nasional mampu memenuhi standar badan itu.
“Indonesia berupaya meyakinkan dunia internasional, termasuk EPA, bahwa industri kelapa sawit nasional telah bergerak menuju konsep ramah lingkungan. Salah satunya melalui pemasangan instalasi PGM. Saat ini, baru 11% PKS yang memasang insta lasi itu, namun pada 2020 akan men capai 60%,” ungkap Derom kepada In vestor Daily di Jakarta, baru-baru ini.
Hingga kini, EPA memang belum mau menerima biodiesel berbahan baku sawit dari Indonesia. Meski, In donesia sudah mengirimkan empat ahli sawitnya ke AS untukmeyakinkan bahwa minyak sawit Indonesia telah dikelola secara ramah lingkungan. Pengiriman empat ahli tersebut sudah dari 2012, setelah timEPA berkunjung ke Riau untuk melihat PKS di wilayah itu. Tapi sampai sekarang belum dipu tuskan dan belum ada lanjutannya. EPA juga tidak menjanjikan waktu untuk memutuskannya, dari dulu masalah ini memang sering molor. Mungkin karena penggantian pejabat atau hal-hal lain yang terjadi di AS yang Indonesia tidak tahu.
Meski berupaya memenuhi standar EPA, kata Derom, hingga kini Indo nesia masih mempertanyakan peng hitungan pengurangan emisi GRK oleh EPA. Metode penghitungan EPA berbeda dengan metode ahli sawit dari Indonesia. Mengacu perhitungan ahli sawit Indonesia, pengurangan GRK oleh industri sawit nasional justru sudah mencapai 50%, jauh dari standar EPA 20%.
Perbedaan ini telah disampaikan tim Indonesia kepada EPA saat di Washington, AS, dan ke lanjutannya Indonesia mengundang tim EPA ke Riau, Indonesia. Saat itu, EPA menerima hasil tersebut dan mempelajarinya, EPAmenyatakan hal itu perlu dibahas di lingkungan para ahli. EPA telahmeminta ahli-ahli sawit Indonesia untuk ikut berdiskusi. Perbedaan metode itu disebabkan sumber informasi yang berbeda. In formasi yang diterima EPA dari tenaga ahli di luar negeri yang mengatakan lahan gambut mengeluarkan GRK kira-kira 90 ton per tahun. Sedangkan data-data yang Indonesia kumpulkan tidak sampai begitu tinggi, hanya 40an ton. EPA juga menghitung GRK yang timbul dari pengolahan limbah pabrik, sekarang limbah-limbah itu diolah dalam kolam dan dari kolam itu keluar gas metana. Gas metana inilah yang dinilai sebagai GRK yang sangat buruk, yakni 1 ton gas metana sama dengan 23 ton gas karbondioksida. Dengan cara ini, EPA mengatakan sekian banyak pabrik mempunyai banyak limbah, diolah lalu keluarlah gas metana sekian ton per tahun. Gas metana tersebutlah yang kemudian difasilitasi oleh pelaku usaha untuk dikelola melalui instalasi PGM.
Taktik Dagang
Ketua Bidang Hukum dan Advokasi Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Tungkot Sipayung mengatakan, sampai saat ini AS me mang belum menerima minyak sawit Indonesia menjadi biodiesel. Langkah itu sebenarnya hanyalah akal-akalan dari EPA, mengingat AS adalah produs en kedelai terbesar. Denganmasuknya sawit Indonesia ke AS, pasar minyak nabati di negara itu akan tergerus karena kalah saing dengan sawit yang jauh lebih unggul. Jadi sebenarnya tidak ada persoalan teknikal yang harus dipusingkan Indonesia atas hal itu. Sebab, pada kenyataannya meski AS sering mengkritik minyak sawit dari Indonesia, akan tetapi volume ekspor ke negeri Paman Sam tersebut justru terus meningkat.
“Metode yang digunakan EPA ada lah recycle analisis memiliki banyak kelemahan. Standar yang digunakan punmenggunakan standar yang dibuat di AS. Minyak sawit Indonesia setelah sampai di pelabuhan AS, pasti akan dinilai memiliki karbon banyak. Seperti halnya ketika kedelai AS sampai di In donesia, pasti di sini juga dibilang tidak ramah lingkungan. Dengan kondisi itu berarti CPOmenjadi defisit karbon karena dilihat dari pengangkutan dan bukan karena produksi barang itu,” ujar Tungkot Sipayung.
Tungkot mengatakan, produksi mi nyak sawit sendiri sebenarnya justru secara netto menyerap karbondiok sida. Setiap hektare (ha) kebun sawit secara netto menyerap karbon 64 ton per ha per tahun. Apabila dihitung menggunakan metodologi biologi, minyak sawit Indonesia justru dapat menghemat pembuangan emisi kar bon. Dari dulu, recycle analisis milik EPA juga telah dikritik banyak orang dan tidak pernah disetujui, namun AS selalu menggunakannya. (c07)
Investor Daily, Selasa, 15 Juli 2014, hal. 7