BI siapkan Kebijakan Mitigasi Utan LN Swasta

BANDUNG – Bank Indonesia (BI) mengingatkan Indonesia menghadapi risiko terkait utang luar negeri yang terlihat dari peningkatan debt service ratio (DSR). Untuk itu, BI akan meluncurkan kebijakan mitigasi risiko utang luar negeri (LN) menyusul pemburukan kerentanan eksternal yang tercermin pada kenaikan sejumlah rasio utang LN hingga triwulan II-2014.
Berdasarkan data per triwulan II-2014 (hingga April) rasio debt to GDP utang luar negeri Indonesia tercatat 32,8%. Persentase ini relatif masih aman menurut standar internasional dan tak jauh beda dengan posisi pada 2007.

Namun, untuk level debt service ratio(DSR) dandebt to export masingmasing sebesar 50% dan 128,8%.
“DSR 50% ini sudah tinggi karena pada tahun 2007 hanya 20%. Sedangkan rasio debt to export pada tahun 2007 tidak lebih dari 35%,” kata Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI, Juda Agung pada acara Focus Group Discussion Redaktur Media Masa di Bandung, Sabtu (12/7).
Menurut dia, kebijakan mitigasi ditujukan untuk mendorong kehatihatian setiap perusahaan dalam melakukan pinjaman dalam bentuk valuta asing (valas). Di antara sektor yang melakukan pinjaman ke luar negeri yang akhirnya mendongkrak rasio-rasio utang tersebut adalah sektor energi seperti untuk pemba­ ngunan pembangkit (power plant) serta manufaktur seperti industri mobil. “Tapi yang bahaya ada juga berutang ke luar negeri untuk pro­ perti. Ini memiliki risiko nilai tukar,” tandasnya.
Juda mengatakan, peningkatan utang luar negeri suatu negara akan diikuti dengan peningkatan sejumlah risiko perekonomian di antaranya risiko nilai tukar (currency mismatch) dan risiko over leverage atau utang lebih besar daripada pendapatan.
Terkait currency mismatch, menurut dia, utang luar negeri perusahaan-perusahaan di Indonesia memiliki risiko yang perlu diwaspadasi. Pa­salnya, dari survei yang dilakukan BI terhadap 100 perusahaan pengutang terbesar, hanya 12 perusahaan yang melakukan lindung nilai. Sementara itu, 12 perusahaan memiliki lindung nilai alamiah (natural hedge) karena pendapatan dari ekspor dalam bentuk dolar AS.
“Jadi, ada 76 dari 100 perusahaan pengutang terbesar utannya tidak dihedging atau tidak memiliki natural hedge. Kalau ada gejolak, ini akan berdampak negatif kepada mereka,” kata Juda. Apalagi, ia menambahkan, dari 2011 hingga 2013, risikoover leverage perusahaan-perusahaan pengutang terbesar tersebut semakinmeningkat.
Lindung Nilai
Direktur Departemen Pengelolaan Moneter BI, Edi Susianto Bank Indonesia (BI)mengungkapkan implementasi lindung nilai atau hedging pada badan usaha milik negara (BUMN) terkendala perbedaan persepsi merugikan keuangan negara yang dikaitkan dengan tindak pidana korupsi dan adanya ketidakselarasan ketentuan.
“Saat ini yang sudah melakukan lindung nilai tukar baru PT Garuda Indonesia dan PT Krakatau Steel,” kata Edi.
Ia menyebutkan sebagian besar BUMN belum melakukan hedging (lindung nilai). BUMN besar yaitu Pertamina dan PLN sedang dalam proses finalisasi infrastruktur pendukung seperti standar operasi dan prosedur (SOP), sistem, sumber daya manusia dan sebagainya.
Edi menyebutkan pada 19 Juni 2014 diadakan pertemuan antarinstansi antara lain dari BI, Kemenkeu, Kejaksaan, Kepolisian dan KPK untuk membahas masalah tersebut dan disepakati pembentukan tim. “Kamis 10 Juli lalu diadakan pertemuan perdana,” katanya. Chief Economist Samuel Sekuritas Lana Soelistianingsih mengatakan, BI wajib mendorong BUMN dan perusahaan swasta untuk melakukan transaksi lindung nilai. “BI harus mendorong perusahaan untuk melakukan hedging, meskipun agak sulit menentukan mana perusahaan yang harus menggunakan hedging,” kata Lana kepada Investor Daily, di Jakarta, Minggu (13/7). Terkait utang luar negeri (ULN) swasta, Lana mengatakan masih dalam posisi aman atau tidak meng­ alami default. Hal ini dilihat dari tenor pinjaman. “Secara umum rata-rata masih aman, karena jika dibandingkan dengan total ULNUS$ 270miliar yang jangka pendek swasta cuma sekitar 15%. Artinya mengingat cadangan devisa kita yang US$ 107 miliar dapat ditutupi sekitar US$ 40,5 miliar dari ULN tersebut. Namun, kita juga perlu waspada,” kata Lana. Lana juga mengingatkan mengenai risiko mismatch sebagai akibat dari risiko nilai tukar maka BI wajib mendorong perusahaan swasta untuk melakukan lindung nilai. Perusahaan yang memperoleh kredit dengan nilai rupiah, tetapi membayar dalam dolar dapat diantisipasi dengan lindung nilai tersebut. “Mungkin ada beberapa perusahaan yang tidak membutuhkan lindung nilai karena mereka berpikir pinjaman yang didapat berasal dari induk serta afiliasi. Namun, bagi perusahaan yang meminjam dari komersial, saya pikir harus melakukan lindung nilai,” kata Lana. (c02)
Investor Daily, Senin 14 Juli 2014, hal. 20

Print Friendly, PDF & Email

Share this post:

Related Posts

Leave a Comment