JAKARTA – PT PLN (Persero) segera menggarap proyek pengganti PLTU Jawa Tengah yang seharusnya mulai beroperasi pada 2018. Hal ini menyusul pengumuman kondisi kahar oleh PT Bhimasena Power Indonesia (BPI) selaku kontraktor pembangkit tersebut.
Direktur Perencanaan dan Afiliasi PLN Murtaqi Syamsuddin mengata kan, penyelesaian proyek PLTU Jawa Tengah 2×1.000 megawatt (MW) dipastikan bakal molor dari jadwal 2018. Karena itu, PLN disebutnya harus menyiapkan pembangunan pembangkit lainnya.
“Contohnya PLTGU Jawa 1 dan 2 yang masing-masing kapasitasnya 800 MW,” kata dia dalam pesan pendek kepada Investor Daily, Minggu (13/7). Kedua pembangkit ini ditargetkan bisa beroperasi sebelum 2018.
Proyek pengganti diperlukanmeng ingat kebutuhan setrum naik setiap tahunnya. Apalagi termasuk PLTU Jawa Tengah, dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN periode 2013-2022,terdapat lebih dari 30 pembangkit listrik di wilayah Jawa-Bali yang bakal mundur penyele saian. Hal ini menyebabkan cadangan listrik di Jawa-Bali menjadi hanya 16% pada 2016-2017 nanti.
Terkait nasib proyek, Murtaqi me nyebutkan, pihak BPI memang sudah mengumumkan klaim keadaan kahar (force majeur) terkait proyek PLTU Jawa Tengah. Namun di sisi lain, BPI juga berharap pihak pemerintah dan PLN bisa mengambil alih pembebasan lahan proyek tersebut.
“Saat ini, PLN dan BPI sedang membicarakan klaim itu. Orientasi pembicaraan adalah untuk mencari solusi bagaimana pembebasan lahan bisa diteruskan oleh pemerintah/ PLN dan proyek ini bisa dilanjutkan,” papar dia.
BPI mengumumkan force majeur menyusul terkendalanya pembebasan lahan untuk proyek PLTU Jawa Te ngah. Proyek ini rencananya dibangun di atas lahan seluas 226 hektare, di mana BPI sudah membebaskan 197 hektar atau 85% dari total lahan yang dibutuhkan. Sisa lahan sulit dibebas kan karena pemilik bersikeras me nolak menjual lahannya tanpa alasan yang jelas dan wajar.
Dengan kondisi ini, BPI memutus kan untuk menunda pembangunan PLTU Jawa Tengah. Namun, BPI tetap berkomitmen menyelesaikan pembebasan lahan agar proyek bisa segera dibangun. Untuk menghindari konflik itulah, BPI kemudian meminta bantuan pemerintah dan PLN untuk pembebasan lahan.
Mur taqi membenarkan bahwa seluruh pihak terkait menyatakan perlunya proyek ini dilanjutkan jika masalah lahan bisa dibereskan. Peng alihan tugas pembebasan lahan kepada pemerintah, berdasarkan aturan yang berlaku, disebutnya juga bisa dilaku kan. Pasalnya, proyek pembangkit listrik ini termasuk infrastruktur untuk kepentingan publik. “Tentu saja itu harus berdasarkan kesepakatan antara PLN dan BPI, serta dituangkan dalam amandemen kontrak dulu,” jelas dia.
Konsorsium BPI terdiri atas PT Adaro Energy (34%), J-Power (34%), dan Itochu (32%). Konsorsiummeme nangkan lelang proyek kerja sama swasta pemerintah ini pada Juni 2011. Sesuai kontrak, pendanaan proyek pembangkit ini seharusnya selesai satu tahun setelah PPA diteken pada Oktober 2012. Penyelesaian pendan aan kemudian diperpanjang satu tahun agar bisa selesai pada 6 Oktober 2013. Sayang, pembebasan lahan belum kelar sehingga financial close harus diperpanjang kembali.
Pembangkit ini rencananya meng gunakan teknologi supercritical/ultrasupercritical yang memiliki tingkat efisiensi dan emisi karbon lebih baik dari pembangkit batu bara yang dimi liki PLN saat ini. Nilai investasi dari proyek ini diperkirakan sebesar US$ 3,2 miliar atau sekitar Rp 30 triliun. Jangka waktu perjanjian jual beli listrik adalah 25 tahun dengan harga listrik US$ 5,79 per kilowatt hour (kWh) dan skema Build-Operate-Transfer (BOT). (ayu)
Investor Daily, Senin 14 Juli 2014, hal. 9