KORUPSI PERIZINAN: Potensi Korupsi Perizinan Berusaha

Sekretaris Jenderal Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi menyebutkan, tujuan UU Cipta Kerja adalah menyederhanakan, menyinkronkan dan memangkas regulasi yang menghambat penciptaan lapangan kerja.

Pernyataan dalam warta Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, “UU Cipta Kerja Tingkatkan Produktivitas Tenaga Kerja Indonesia” (Kompas, 14/11/2020), sepintas dapat dimengerti. Namun, apabila didalami lebih jauh masih ada ketidak-pastian.

Apakah benar menyederhanakan regulasi itu dapat meningkatkan efektivitas birokrasi, dan kemudian dapat menghadirkan investasi yang menyerap tenaga kerja? Berikut lima butir kondisi yang dapat menjadi penyebab ketidak-pastian itu.

Respons berbeda

Pertama, respons yang berbeda dari perusahaan. Pada 2013-2014, pernah ada upaya menyederhanakan birokrasi untuk perizinan kehutanan dan pertambangan. Beberapa peraturan menteri direvisi atas rekomendasi Litbang KPK.

Dua tahun kemudian, pada 2016, dari evaluasi perizinan kehutanan ada peningkatan efisiensi pelayanan birokrasi. Dengan indikator antara lain penurunan biaya suap sampai 60 persen dari nilai suap perizinan pada 2014. Rata-rata Rp 640 juta per izin per tahun atau Rp 22 miliar per perusahaan.

Akan tetapi, hal itu hanya berlaku bagi perusahaan-perusahaan dengan kinerja baik. Perusahaan dengan kinerja buruk cenderung tetap memanipulasi perizinan melalui suap, sepanjang nilai manfaat—misalnya berupa produksi yang tidak dilaporkan—lebih besar daripada nilai suapnya.

Beberapa peraturan menteri direvisi atas rekomendasi Litbang KPK.

Kedua, memelihara jaringan pengusaha dan pejabat. Litbang KPK pada 2019, pernah meninjau suap perizinan setelah satu tahun dicanangkan kebijakan online single submission (OSS). Hasil penelitian itu menunjukkan bahwa suap masih ada dengan variasi besaran suap berbeda menurut jenis-jenis layanan yang berbeda.

Wawancara saya pribadi dengan dua orang perusahaan yang tugasnya mengurus izin memberikan abstraksi adanya jaringan sosial hubungan perizinan yang sangat tidak mudah dihapus. Ada atau tidak adanya kewenangan bagi seseorang pejabat di daerah, bisa menjadi pelanggan untuk mendapat ongkos cuma-cuma dari para pengusaha jaringannya.

Mereka saat itu menyebut bahwa bagi pengusaha, biaya tambahan itu tidak masalah sepanjang besarannya masih masuk dalam kalkulasi keuntungan. Yang penting hubungan yang menjadi faktor penentu kepastian pelayanan publik diperoleh.

Ketiga, memelihara jaringan dalam penegakan hukum. Perusahaan-perusahaan juga mempunyai jaringan dengan individu maupun lembaga penegak hukum, di samping masyarakat yang tinggal di dalam maupun di sekitar lokasi usaha.

Tacconi, dkk (2019) dalam artikelnya “Law Enforcement and Deforestation: Lessons for Indonesia from Brazil” menyebut bahwa kerangka kerja dalam jaringan itu dapat memengaruhi proses maupun hasil penegakan hukum melalui pengaruh mereka terhadap persepsi atas keadilan dari kasus yang sedang dibicarakan, atau pun terjadinya korupsi dalam proses peradilan.

Dalam hal ini, apabila terjadi korupsi, uang hasil korupsi beredar melampaui penerima manfaat langsungnya, tetapi penyidik jarang mengejar aliran uang di luar transaksi tingkat pertama dan kedua.

Integritas birokrasi

Keempat, jaringan pendukung korupsi mematahkan integritas birokrasi. Adanya jaringan perizinan di atas diperkuat oleh hasil kajian Jacqui Baker (2020) yang bertajuk “Jaringan Korupsi di Sektor Kehutanan Indonesia: Politik dan Pulp di Pelalawan, Riau”. Hasil kajian ini menyebut bahwa seorang bupati yang telah terbukti korupsi bidang kehutanan, ternyata punya wadah 201 simpul jaringan.

Keempat, jaringan pendukung korupsi mematahkan integritas birokrasi.

Simpul itu dikuasai oleh oknum-oknum industri pulp (82), dinas kehutanan kabupaten (47), jaringan kepercayaan bupati (17), swasta non pulp (14), dinas kehutanan provinsi (9) maupun pemerintah (8). Di sini perlu diketahui bahwa meskipun jumlah simpul pemerintah paling kecil, tetapi berperan paling besar menggerakkan jaringan.

Di sini dapat ditunjukkan, bahwa kerja birokrasi menjadi bagian dari politik praktis yang senantiasa mendapat tekanan kepentingan tertentu. Situasi ini sekaligus menjadi alasan, mengapa upaya pencegahan korupsi dapat dikatakan tidak berhasil tanpa ada tindakan.

Kelima, penguatan posisi politik perusahaan berkinerja buruk. Masalah tata kelola perizinan sejauh ini tidak hanya berkepanjangan karena dibiarkan tak tersentuh, tetapi juga terpelihara dan bahkan di beberapa lokasi tertentu, berdaulat akibat adanya dukungan yang kuat.

Seperti pandangan Bregman, dkk (1966) mengenai “pollution paradox”, bahwa semakin mencemari atau merusak lingkungan suatu perusahaan, semakin banyak uang yang harus dikeluarkan perusahaan itu. Ini untuk memastikan, perusahaan itu tidak diganggu keberadaannya.

KPK, pada 2016-2018, pernah melakukan survai pembiayaan politik dari donatur atas pelaksanaan pilkada. Sumber donatur, yang antara lain berasal dari perusahaan-perusahaan swasta itu, bukan hanya meminta kelancaran pelaksanaan perizinan berusaha, tetapi juga ikut menentukan kebijakan maupun pejabat pemda.

Hal-hal di atas menunjukkan bahwa kelembagaan perizinan secara umum sedang mengalami tekanan dari para pelaku korupsi perizinan, sehingga kehilangan semangat untuk berkreasi maupun berinovasi untuk melancarkan pelayanan perizinan bagi publik.

Di banyak unit kerja perizinan umumnya menjadi zona tertutup. Serupa dengan yang pernah diucapkan Joe Biden, saat sebagai wakil presiden Barack Obama, “Corruption is a cancer, a cancer that eats away at a citizen’s faith in democracy, diminishes the instinct for innovation and creativity.”

Di banyak unit kerja perizinan umumnya menjadi zona tertutup.

Sayangnya, kondisi demikian itu berpotensi tidak banyak berubah, karena isi UU Cipta Kerja tidak menopang perbaikan tata kelola perizinan seperti peningkatan partisipasi, transparansi maupun akuntabilitas, termasuk bagi para pemegang izin atau pemegang persetujuan usaha.

Dengan kata lain, hanya berharap pada muatan isi UU Cipta Kerja sebagai unsur pengurai hambatan penciptaan lapangan kerja, mengandung ketidak-pastian. Masih diperlukan penataan kelembagaan perizinan untuk mengurangi tingginya biaya transaksi sebagai gerbong pengangkutnya.

(Hariadi KartodihardjoGuru Besar Kebijakan Kehutanan IPB University)

KOMPAS, JUM’AT 27 November 2020 Halaman 7.

Print Friendly, PDF & Email

Share this post:

Related Posts

Comments are closed.