Target indeks inklusi keuangan Indonesia memang tercapai, tetapi masih banyak tantangan. Ketersediaan akses pada produk/layanan jasa keuangan, harus dibarengi dengan tingkat pemahaman yang memadai. Sesuai yang tertera dalam Perpres No 82/2016 tentang Strategi Nasional Keuangan Inklusif, pemerintah menargetkan indeks inklusi keuangan sebesar 75 persen di 2019. Capaiannya lebih besar, 76,19 persen. Indeks ini menunjukkan jumlah pengguna produk/layanan jasa keuangan.
Namun sayangnya, indeks literasinya masih tertinggal. Indeks literasi 38,03 persen di 2019 menunjukkan tak semua orang yang menggunakan produk/layanan jasa keuangan memiliki pemahaman cukup atas produk/layanan tersebut.
Baca juga: Inklusi Keuangan Memacu Pemulihan Ekonomi
Untuk inklusi keuangan digital, diyakini lebih rendah lagi angkanya. Dalam Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan tahun 2019 terhadap 4.536 responden, hanya 31,26 persen yang menggunakan jasa layanan financial technology (teknologi finansial/ (tekfin). Sebanyak 68,74 persen belum menggunakan layanan tekfin.
Masyarakat paling banyak menggunakan tekfin berjenis pembayaran (66,6 persen), peer-to-peer lending/pinjaman daring (27,4 persen), asuransi (9,9 persen), dan agregator (9,1 persen). Yang menarik, alasan orang yang belum menggunakan tekfin adalah tidak membutuhkan (52,7 persen), tidak paham (39,2 persen), tidak percaya (37,4 persen), dan biayanya mahal (13,6 persen). Bila kita perhatikan keempat alasan utama kenapa orang belum menggunakan tekfin, faktornya lebih banyak pada persoalan kurangnya literasi.
Baca juga: Arti Penting Literasi Keuangan Digital

Hasil survey inklusi keuangan. Sumber: Otoritas Jasa Keuangan
Optimalisasi literasi
Untuk mendongkrak penggunaan keuangan digital, optimalisasi literasi publik masih menjadi cara yang efektif. Level pemahaman terhadap layanan keuangan digital dapat dilihat dari empat kategori.
Pertama, memahami produk. Sebagian orang beranggapan produk keuangan digital sama dengan produk keuangan tradisional, hanya ditambahkan penggunaan teknologi informasi. Sejatinya tak demikian. Ada perubahan mendasar, khususnya terkait dengan kenyamanan dan kemudahan konsumen.
Baca juga: Pahami agar Tidak Tertipu
Kedua, memahami bagaimana memanfaatkan produk keuangan digital secara bijak dan memahami konsekuensinya. Masyarakat perlu menyadari bahwa dengan segala kemudahan transaksi layanan keuangan digital, mereka harus mampu memanfaatkannya secara bijak.
Dalam transaksi pinjaman daring, misalnya, harus meminjam sesuai kebutuhan, prioritas pinjaman produktif, dan menghitung mampu bayar. Hal ini untuk menghindari pinjaman berlebihan ke banyak platform untuk gali lubang tutup lubang.
Ketiga, masyarakat perlu memahami risiko bertransaksi di dunia digital dan mampu melakukan kontrol atas risiko. Sebagian risiko itu tak ada di layanan keuangan tradisional. Ada risiko penyalahgunaan data pribadi, jebakan platform tekfin ilegal, hacking, dan lain-lain. Mengingat kita belum memiliki UU perlindungan data pribadi, masyarakat harus hati-hati pada pihak yang secara legal maupun ilegal mengakses data pribadi kita.
Keempat, memahami penyelesaian masalah/sengketa. Seperti di industri keuangan lainnya, di industri tekfin juga terdapat sejumlah pengaduan. Dengan literasi yang mencukupi, masyarakat akan dapat melindungi dirinya sendiri.
Baca juga: Dituduh Menipu Bikin Trauma
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengidentifikasi dua tantangan utama literasi keuangan, yakni faktor demografi dan geografi. Dari sisi demografi, Indonesia menghadapi beragamnya budaya, etnis, bahasa, agama, dan lain-lain. Juga level edukasi dan ekonomi yang berbeda. Sementara dari sisi geografi, Indonesia memiliki lebih dari 17.000 pulau dan dukungan internet yang belum merata.

Partisipasi aktif pelaku
Menurut Saal, dkk (2017), ada empat tantangan pengembangan layanan keuangan digital di negara berkembang. Tantangan itu adalah rendahnya penetrasi layanan keuangan formal, rendahnya penghasilan dan literasi keuangan, ekosistem teknologi yang belum berkembang, dan lemahnya infrastruktur.
Keempat faktor ini juga berlaku di Indonesia dalam level yang berbeda. Ditambah lagi ada faktor kekurangpercayaan, terutama yang dipicu oleh kasus-kasus kejahatan siber. Khusus di industri pinjaman daring, tantangan lain adalah citra industri yang ternodai oleh aksi perusahaan tekfin ilegal (tak terdaftar/berizin di OJK). Mereka tak hanya mematok bunga sangat tinggi, tetapi juga melakukan tindakan penagihan tidak beretika serta pengancaman.
Dalam layanan keuangan digital yang menyasar pelanggan masyarakat umum, literasi yang efektif dan masif, menjadi faktor pendongkrak tingkat inklusi. Ini sudah terbukti pada industri pinjaman daring yang tumbuh sangat tinggi tiga tahun terakhir. Literasi tak hanya dilakukan OJK, tetapi melibatkan partisipasi aktif penyelenggara pinjaman daring.
Baca juga: Teknologi Finansial Tumbuh Pesat, Risikonya Juga Tinggi
Karakteristik layanan keuangan digital adalah kecepatan, kemudahan, dan kenyamanan pelanggan. Dengan karakteristik ini, dikombinasikan dengan jumlah pengguna internet yang sangat besar dan dukungan literasi yang efektif, perkembangan layanan keuangan digital di Indonesia akan terus tumbuh signifikan.
Munawar, Deputi Direktur di Otoritas Jasa Keuangan.
KOMPAS, RABU, 27102020 Halaman 7.