Dalam ranah politik dan hukum, terdapat konsep trias politika yang dikembangkan filsuf Perancis Montesquieu, yang berarti pemisahan atau perimbangan kekuasaan menjadi tiga cabang, yakni eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Tujuan utama trias politika adalah agar penguasa tidak menyalahgunakan kekuasaannya. Adanya sistem checks and balances atau sistem pengawasan dan keseimbangan di antara cabang-cabang kekuasaan akan mencegah penguasa memiliki otoritas absolut.
Sebab, penulis dan sejarawan Inggris Lord Acton pernah berdalil ”power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely”, kekuasaan cenderung korup, dan kekuasaan mutlak akan sepenuhnya korup. Intinya, perimbangan kekuasaan akan mencegah munculnya moral hazard.
Dalam ranah ekonomi, negara-negara modern juga melakukan perimbangan dengan memisahkan otoritas fiskal yang dipegang kementerian keuangan mewakili pemerintah dan otoritas moneter yang dimiliki bank sentral, yang di Indonesia disebut Bank Indonesia (BI).
Seperti halnya trias politika, pemisahan otoritas fiskal dan moneter juga bertujuan agar ada checks and balances dalam tata kelola perekonomian negara. Karakter otoritas fiskal yang cenderung agresif mendorong pertumbuhan ekonomi harus diimbangi oleh otoritas moneter yang cenderung hati-hati. Ibarat mobil, otoritas fiskal adalah pedal gas, sementara otoritas moneter sebagai rem.
Apabila pertumbuhan ekonomi terus dipacu kencang, mesin perekonomian berpotensi memanas, terindikasi dari inflasi yang membubung tinggi. Jika tidak direm, perekonomian akan kolaps. Di sinilah otoritas moneter memainkan perannya. Ketika ekonomi mulai memanas, bank sentral akan menaikkan suku bunga untuk mendinginkan mesin perekonomian, yang akan tecermin dari turunnya inflasi.
Ibarat mobil, otoritas fiskal adalah pedal gas, sementara otoritas moneter sebagai rem.
Tugas otoritas moneter menjaga inflasi bertujuan agar perekonomian bisa tumbuh dalam laju yang optimal secara berkesinambungan dalam jangka panjang.
Oleh karena memiliki fungsi yang bertolak belakang, otoritas fiskal dan otoritas moneter diposisikan independen satu sama lain. Masing-masing tidak bisa mencampuri atau mengintervensi urusan yang lain, tetapi keduanya tetap bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama.
Karena itulah, Pasal 4 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia menyatakan, ”Bank Indonesia adalah lembaga negara yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan pemerintah dan/atau pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam undang-undang ini.”
Namun, kondisi ideal tersebut sepertinya bakal berakhir. Pemerintah selaku otoritas fiskal dan DPR kini sedang mengkaji ulang UU BI, yang berpotensi menghilangkan independensi BI terhadap pemerintah. Dengan kata lain, otoritas moneter kemungkinan akan ditempatkan di bawah kendali otoritas fiskal.
Baca juga : Peran yang Ditukar
Dalam draf perubahan UU BI yang diusulkan DPR, Pasal 4 Ayat 2 UU No 3/2004 tentang BI diusulkan diganti menjadi ”Bank Indonesia adalah lembaga negara yang independen yang berkoordinasi dengan pemerintah dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam Undang-Undang ini”.
Apabila perubahan ini disetujui, BI yang sebelumnya tak perlu berkoordinasi dengan pemerintah dalam melaksanakan tugasnya, menjadi wajib berkoordinasi dengan pemerintah. Ini berarti, BI tak lagi independen karena pemerintah bisa ikut campur dalam setiap kebijakan BI.
Keberadaan Dewan Moneter yang diusulkan dalam perubahan UU BI makin memperjelas hilangnya independensi BI. Sebab seluruh kebijakan moneter yang akan dijalankan BI ditetapkan oleh Dewan Moneter yang akan diketuai oleh menteri keuangan sebagai otoritas fiskal.
Tak hanya menghilangkan independensi, perubahan UU BI juga berpotensi menghapus peran bank sentral sebagai rem dalam menjaga stabilitas perekonomian. Pasal 7 Ayat 1 UU No 3/2004 tentang BI berbunyi, ”Tujuan Bank Indonesia adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah.”.
Akan tetapi, dalam draf perubahan UU BI, ayat tersebut diusulkan diganti menjadi ”Tujuan Bank Indonesia adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah serta meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja yang berkelanjutan”.
Berdasarkan usulan tersebut, fungsi BI tidak lagi fokus menjaga inflasi sebagai kontrol pertumbuhan ekonomi, tetapi justru ditarik ke ranah fiskal, yakni mendukung pemerintah dalam mendorong laju ekonomi dan menciptakan lapangan kerja. Jika pasal ini disetujui, ke depan tak ada lagi lembaga yang akan mengontrol laju pertumbuhan sehingga risiko krisis bakal meningkat.
Baca juga : Efektivitas Perppu Reformasi Sektor Keuangan Dipertanyakan
Guna mendukung pemerintah, BI bahkan diusulkan diberi kewenangan untuk membiayai defisit fiskal, yang sebenarnya tidak diperbolehkan berdasarkan best practice tata kelola otoritas moneter. Ini seperti mengulang rezim Orde Baru, yang terbukti banyak menimbulkan moral hazard dan instabilitas perekonomian.
Dalam upaya pemulihan ekonomi akibat pandemi covid-19, pemerintah memang kerap terbentur regulasi, termasuk yang terkait dengan bank sentral. Contohnya, pemerintah menginginkan surat utangnya bisa dibeli BI dengan zero coupon, tetapi prinsip prudensial dan tata kelola moneter tidak memungkinkan hal tersebut. BI juga tidak bisa serta-merta menurunkan biaya pinjaman likuiditas jangka pendek (PLJP) karena terbentur aturan.

Namun, kondisi tersebut sebenarnya tidak bisa dituding sebagai penghambat pemulihan ekonomi. Karena, toh, pada akhirnya pemerintah dan BI tetap bisa bersinergi menemukan terobosan-terobosan kreatif tanpa perlu mencederai independensi masing-masing. Contohnya, muncul kebijakan burden sharing antara pemerintah dan BI dalam membiayai pemulihan ekonomi nasional.
Lagi pula, tak efektifnya gelontoran stimulus dalam mendongkrak perekonomian lebih disebabkan oleh lemahnya daya beli dan sikap kelas menengah yang masih menahan belanja dan investasi akibat belum optimalnya penanganan kesehatan selama pandemi Covid-19.
Adapun sistem pembayaran, ketersediaan likuiditas, dan stabilitas perbankan, yang berada di bawah kendali otoritas moneter dan otoritas jasa keuangan relatif aman selama masa pandemi ini.
Baca juga : Skema ”Burden Sharing” Diperpanjang hingga 2022
KOMPAS, RABU, 09092020 Halaman 9.