DAMPAK COVID-19: Resesi Semakin di Depan Mata

JAKARTA, KOMPAS — Ancaman resesi semakin nyata mengintai Indonesia. Pertumbuhan ekonomi sepanjang triwulan III-2020 berpotensi terjebak pada zona negatif karena konsumsi rumah tangga belum pulih ke level normal.

Pada triwulan II-2020, perekonomian RI tumbuh minus 5,32 persen. Pemerintah memproyeksikan pertumbuhan ekonomi sepanjang triwulan III-2020 berkisar nol sampai minus 2 persen. Jika triwulan III-2020 tumbuh negatif, Indonesia dipastikan mengalami resesi.

Chief Economist and Investment Strategist PT Manulife Asset Management Indonesia Katarina Setiawan mengatakan, ekonomi nasional pada triwulan III-2020 kemungkinan besar masih tumbuh negatif. Penyerapan berbagai stimulus pemerintah untuk mendorong perekonomian butuh waktu.

”Resesi teknikal kemungkinan terjadi karena pertumbuhan ekonomi baru akan positif pada triwulan IV-2020,” ujar Katarina dalam webinar bertajuk ”Market Update Golden Moment: The Rise of The E-Conomy” di Jakarta, Selasa (25/8/2020).

Ekspektasi konsensus ekonomi memproyeksikan, ekonomi Indonesia pada triwulan III-2020 tumbuh pada kisaran minus 1 persen. Kendati terjebak dalam zona negatif, respons pasar tidak akan terlalu kaget karena sudah masuk dalam kalkulasi investor. Pemulihan ekonomi akan bertahap mulai triwulan IV-2020. Ekspektasi konsensus ekonomi memproyeksikan, ekonomi Indonesia pada triwulan III-2020 tumbuh pada kisaran minus 1 persen.

Menurut Katarina, konsumsi rumah tangga sebagai penopang produk domestik bruto (PDB) terkontraksi sangat dalam akibat Covid-19. Pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada triwulan II-2020 minus 5,51 persen. Konsumsi kelas menengah turun signifikan di subsektor restoran, hotel, komunikasi, dan transportasi.

Konsumsi rumah tangga akan membaik pada paruh kedua 2020. Pembayaran gaji dan pensiun ke-13; subsidi gaji bagi pegawai swasta; stimulus dan bantuan produktif usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM); serta berbagai stimulus yang menyasar kelas menengah akan mendorong pertumbuhan konsumsi keluar dari zona negatif.

”Stimulus kini memang perlu diberikan untuk mendorong konsumsi kelas menengah bukan hanya penduduk miskin,” katanya.

Stimulus kini memang perlu diberikan untuk mendorong konsumsi kelas menengah bukan hanya penduduk miskin.

Katarina menilai, penyaluran bantuan sosial (bansos) yang menyasar 45 persen kelompok terbawah cukup efektif. Hal ini tecermin dalam kontraksi konsumsi di bidang pendidikan, kesehatan, serta makanan dan minuman yang tidak terlalu dalam. Konsumsi dan akses layanan dasar penduduk miskin terjaga di tengah pandemi.

Baca juga: Ekonomi Triwulan III-2020 Diproyeksikan Negatif, Ancaman Resesi Semakin Nyata

Resesi Semakin di Depan Mata

Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia juga memperkirakan ekonomi Indonesia pada triwulan III-2020 tumbuh minus 2 persen. Belum adanya tanda-tanda penurunan kasus penularan Covid-19 semakin memberatkan konsumsi masyarakat untuk dapat tumbuh di sisa tahun 2020.

Direktur Eksekutif CORE Indonesia Mohammad Faisal mengatakan, meski kembali terkontraksi, pertumbuhan menunjukkan perbaikan jika dibandingkan dengan kontraksi negatif 5,32 persen pada triwulan II-2020.

”Indonesia akan terkonfirmasi mengalami resesi setelah mengalami pertumbuhan ekonomi yang negatif secara dua triwulan berturut-turut. Ini jadi tantangan bagi pemerintah untuk mengembalikan ekonomi ke jalur positif,” ujarnya.

Faisal menambahkan, kunci utama dalam menumbuhkan perekonomian dengan cara pemerintah fokus menangani pandemi Covid-19 dan implementasi percepatan bansos. Bila kedua unsur itu tidak diperhatikan, ekonomi Indonesia akan kembali negatif pada triwulan IV-2020. Tanpa adanya penurunan kasus penularan Covid-19, optimisme masyarakat untuk membelanjakan uang tidak akan tumbuh.

Tanpa adanya penurunan kasus penularan Covid-19, optimisme masyarakat untuk membelanjakan uang tidak akan tumbuh.

Baca juga: Ekonomi Indonesia di Ambang Resesi

Masih rapuh

Pemerintah memproyeksikan pertumbuhan ekonomi tahun ini berkisar 0,2-minus 1,1 persen dengan asumsi konsumsi rumah tangga tumbuh 0-minus 1,3 persen, investasi minus 2,6 persen-minus 4,2 persen, ekspor minus 4,4 persen-minus 5,6 persen, dan impor minus 8,4 persen-minus 10,5 persen. Hanya konsumsi pemerintah yang diperkirakan tumbuh positif pada tahun ini, yakni 2-4 persen.

Resesi Semakin di Depan Mata

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati ͥ mengatakan, pergerakan indikator pemulihan ekonomi belum stabil. Indikasi pemulihan ekonomi sempat terlihat pada Juni 2020, berupa realisasi penerimaan pajak. Namun, penerimaan pajak pada Juli kembali terkontraksi cukup dalam.

Realisasi penerimaan pajak per Juli 2020 sebesar Rp 601,9 triliun atau tumbuh negatif 14,7 persen. Sebelumnya, pada Juni, pertumbuhan negatif sempat melandai dibandingkan dengan April dan Mei. Namun, tren pemulihan tidak bertahan seperti perkiraan semula.

Pada Juli, realisasi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang menggambarkan aktivitas konsumsi masyarakat kembali turun 12 persen secara tahunan. Realisasi Pajak Penghasilan (PPh) karyawan dan korporasi juga kembali masuk zona negatif, masing-masing terkontraksi 20,38 persen dan 45,55 persen.

”Tanda-tanda dari penerimaan perpajakan harus diwaspadai. Pemulihan ekonomi masih sangat dini, bahkan rapuh sehingga masih harus diperkuat,” kata Sri Mulyani dalam telekonferensi pers APBN edisi Agustus 2020, Selasa.

Baca juga: Sri Mulyani: Pemulihan Ekonomi Nasional Masih Rapuh dan Belum Solid

Resesi Semakin di Depan Mata

KOMPAS, RABU, 26082020 Halaman 9.

Print Friendly, PDF & Email

Share this post:

Related Posts

Comments are closed.