Untuk menggerakkan ekonomi, penempatan pekerja migran Indonesia di luar negeri akan dibuka kembali di paruh kedua 2020.
Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziah saat memberikan pengantar konferensi pers Rencana Penempatan Pekerja Migran di Era Adaptasi Kebiasaan Baru (30/7/2020) mengatakan, langkah itu wujud kontribusi nyata untuk menggerakkan ekonomi Indonesia yang lesu. Tujuan utama pembukaan penempatan pekerja migran di paruh kedua 2020 ini adalah menggaet remitansi yang merosot drastis di paruh pertama 2020, menyusul capaian remitansi Rp 169 triliun sepanjang 2019.
Menggenjot devisa
Secara legal, pembukaan penempatan pekerja migran Indonesia di masa adaptasi baru ini ditandai dengan pencabutan Kepmenaker No 151/2020 tentang Penghentian Sementara Penempatan Pekerja Migran Indonesia melalui Kepmenaker No 294/2020 tentang Pelaksanaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia pada Masa Adaptasi Kebiasaan Baru.
Langkah Kementerian Ketenagakerjaan RI ini mengulang kembali sejarah penempatan pekerja migran sebagai solusi krisis ekonomi. Jika kita tengok sejarah perekonomian Indonesia, terutama di masa Orde Baru dan Reformasi, penempatan pekerja migran tak pernah lepas dari campur tangan pemerintah. Namun, ketika muncul masalah yang menimpa pekerja migran di luar negeri, persoalan itu dipersonalisasi sebagai masalah individu.
Langkah Kementerian Ketenagakerjaan RI ini mengulang kembali sejarah penempatan pekerja migran sebagai solusi krisis ekonomi.
Oleh karena itu, tidak mengherankan hingga jatuhnya pemerintahan Orde Baru, tak pernah tersedia payung hukum perlindungan pekerja migran.
Krisis ekonomi pertama era Orde Baru ditandai oleh berakhirnya rezeki minyak (oil boom) akibat anjloknya harga minyak dunia yang dibarengi dengan korupsi di tubuh Pertamina. Pada masa itu pembangunan Orde Baru ditopang oleh utang luar negeri. Kebijakan penempatan pekerja migran secara masif dimulai pada era ini, terutama ke Timur Tengah.
Selain untuk menggenjot penerimaan devisa, langkah ini juga jadi katup pengaman mengantisipasi lonjakan pengangguran dan keresahan sosial akibat krisis lapangan pekerjaan.
Karena Indonesia pendatang baru di pasar tenaga kerja internasional, strategi yang digenjot untuk dapat mengejar kompetitor pemasok pekerja migran lain (terutama India dan Filipina) adalah dengan mengedepankan keunggulan komparatif pekerja migran Indonesia.
Baca juga : Pekerja Migran Tertunda Berangkat, Pemerintah Tak Boleh Lepas Tangan
Narasi yang dijual: pekerja migran Indonesia penurut, tak berserikat, mau dibayar murah! Untuk pasar tenaga kerja di Malaysia, pekerja migran Indonesia bisa berbahasa Melayu. Sementara untuk Timur Tengah, pekerja migran Indonesia mayoritas beragama Islam.
Secara internal, bekerja ke luar negeri juga dipromosikan sebagai salah satu jalan tercepat untuk menunaikan ibadah haji di Arab Saudi dan menjadi duta bangsa dalam persaudaraan serumpun dengan Malaysia. Menteri Tenaga Kerja (saat itu) Sudomo memopulerkan pujian untuk para pekerja migran sebagai pahlawan devisa.
Pada krisis moneter 1997-1998 yang melumpuhkan fondasi perekonomian Indonesia yang rapuh, mobilisasi penempatan pekerja migran ke luar negeri juga dilakukan sebagai penyelamat ekonomi. Bahkan, institusi keuangan internasional yang sejak 1997 menyupervisi Indonesia dengan serangkaian paket kebijakan ekonomi dan persyaratannya ikut berperan.
Menteri Tenaga Kerja (saat itu) Sudomo memopulerkan pujian untuk para pekerja migran sebagai pahlawan devisa.
Kelahiran UU No 39/2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri—yang menurut berbagai pihak dianggap melegitimasi dan memberi monopoli pada perusahaan pengerah tenaga kerja untuk menjadi aktor utama penempatan pekerja migran—tak lepas dari pengaruh eksternal ini.
Persoalan pekerja migran muncul dalam dokumen Post-Program Monitoring IMF yang menjadi substansi Inpres No 5/2003. Dalam matriks kebijakan yang menjadi lampiran dalam inpres ini dinyatakan masalah pekerja migran masuk dalam Program Stabilisasi Ekonomi Makro. Kebijakan penempatan pekerja migran merupakan salah satu langkah untuk menjaga kemantapan neraca pembayaran dan program peningkatan investasi, ekspor, dan penciptaan lapangan kerja.
Studi Migrant CARE tahun 2013 memperlihatkan, regulasi ini memang mendongkrak perolehan remitansi. Angkanya meningkat tiga kali lipat, dari 1,866 miliar dollar AS tahun 2004 (sebelum ada UU) menjadi 5,420 miliar dollar AS hanya dalam waktu setahun (2005), dan 6,794 miliar dollar AS pada 2008. Pada 2009, terjadi stagnasi remitansi di kisaran 6,793 miliar dollar AS karena krisis ekonomi global.
Baca juga : Jalan Panjang Pemulihan Ekonomi
Ini tren global. Remitansi dalam dua dekade terakhir telah menjadi penyelamat ekonomi global. Aliran derasnya yang menjadi pelumas pertumbuhan ekonomi dan PDB bahkan melampaui peran foreign direct investment (FDI) dan official development assistance (ODA). Namun, kontribusi besar ini sering tak dibarengi pelayanan dan perlindungan yang memadai terhadap pekerja migran, baik di dalam negeri maupun saat bekerja di luar negeri.
Pertimbangkan kembali
Jika langkah pembukaan penempatan pekerja migran di era adaptasi baru ini memang diarahkan untuk menderaskan kembali aliran remitansi demi pertumbuhan ekonomi, maka untuk kesekian kali pekerja migran Indonesia kembali menjadi tumbal kebijakan ekonomi. Ini mengingkari substansi UU No 18/2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia yang mengedepankan pelindungan hak asasi pekerja migran Indonesia. UU ini mengoreksi kelemahan mendasar UU No 39/2004 yang hanya berorientasi bisnis penempatan.
Krisis pandemik saat ini juga berbeda dengan krisis yang terjadi pada 1997-1998, di mana penempatan pekerja migran dianggap sebagai penyelamat ekonomi. Krisis saat ini adalah krisis kesehatan yang berdampak pada kemerosotan pertumbuhan ekonomi.
Krisis pandemik saat ini juga berbeda dengan krisis yang terjadi pada 1997-1998, di mana penempatan pekerja migran dianggap sebagai penyelamat ekonomi.
Belum terlihat tanda-tanda signifikan yang memperlihatkan krisis ini akan berakhir. Bahkan gelombang kedua pandemi ini terjadi di beberapa negara yang sebelumnya mengklaim sukses mengakhiri pandemi ini. Di Indonesia sendiri, kurva kasus terus meninggi akibat kesalahan mengelola new normal demi geliat ekonomi.
Atas situasi tersebut, Pemerintah Indonesia harus mempertimbangkan kembali niat untuk membuka penempatan pekerja migran sekarang ini.
Pekerja migran adalah kelompok yang rentan berhadapan dengan pandemi ini. Karena mobilitasnya dan pekerjaannya rentan terpapar virus ini, juga karena statusnya sebagai pendatang asing rentan distigma sebagai pembawa virus, rentan didiskriminasi dari layanan publik, dan rentan dikriminalisasi oleh kebijakan sekuritisasi yang mengatasnamakan pencegahan Covid-19.
Wahyu Susilo Direktur Eksekutif Migrant CARE.
KOMPAS, KAMIS, 13082020 Halaman 7.