PENANGANAN PANDEMI: Menjembatani Sektor Keuangan dan Sektor Riil

Di masa pandemi ini, sektor keuangan, yakni perbankan, pasar modal, pasar uang, dan pasar obligasi, umumnya masih mengalami perkembangan, baik di negara maju maupun negara berkembang.

Perusahaan di sektor keuangan masih menunjukkan kinerja cukup baik sekalipun relatif mengalami perlambatan dibandingkan sebelum pandemi. Tetapi sektor riil umumnya mengalami pukulan berat karena terhentinya kegiatan produksi di masa lockdown dan penurunan permintaan yang besar. Akibatnya, pengangguran meningkat tajam di semua negara. Seakan terjadi pemisahan antara kedua sektor ini, yang juga menyebabkan ketimpangan pendapatan yang semakin besar.

Perkembangan sektor keuangan difasilitasi oleh kebijakan bank sentral dengan suku bunga sangat rendah, bahkan di beberapa negara nol, pembelian aset perusahaan (quantitative easing) dan pembiayaan defisit anggaran pemerintah oleh bank sentral. Karena itu, risiko di sektor keuangan secara artifisial menjadi rendah, bank sentral selalu siap menopang kebutuhan likuiditas.

Seakan terjadi pemisahan antara kedua sektor ini, yang juga menyebabkan ketimpangan pendapatan yang semakin besar.

Terpisah

Namun, perkembangan di sektor keuangan ini tidak banyak terkait dengan sektor riil, seakan berkembang secara terpisah. Karena itu, sektor keuangan dapat juga jatuh dengan cepat tanpa dukungan memadai dari sektor riil.

Jika perkembangan sektor riil mengikuti hukum ekonomi seperti fisika klasik, permintaan sama dengan penawaran, dan investasi mendorong pertumbuhan, maka keuangan lebih mengikuti fisika kuantum (quantum money and finance) . Nilai mata uang dan harga saham bisa meloncat dengan cepat, bisa terjadi transaksi tanpa harus ada landasan riil ekonominya, dan nilainya bisa muncul dan hilang dengan cepat, seperti partikel dalam fisika kuantum yang berada di beberapa tempat dalam waktu bersamaan. Semua itu dapat terjadi dan diikuti secara elektronika.

Baca juga : Menyelamatkan UMKM dan Korporasi

Di Indonesia, nilai rupiah relatif stabil dalam masa pandemi ini sekalipun sektor riil mengalami pukulan keras dan peningkatan pemutusan hubungan kerja (PHK) yang tinggi. Nilai rupiah lebih ditentukan oleh aliran modal masuk dan keluar.

Semakin besar modal masuk ke pasar modal dan obligasi ditambah dengan masuknya utang pemerintah dalam dollar, maka rupiah cenderung menguat. Sebaliknya jika terjadi aliran modal keluar, nilai rupiah akan melemah. Perkembangan pasar modal dan pasar obligasi (pemerintah) tidak seburuk yang diperkirakan sebelumnya.

Baca juga : Jalan Panjang Pemulihan Ekonomi

Sekalipun indeks pasar modal dari awal tahun (year to date/ytd) masih negatif, terjadi perbaikan signifikan. Begitu pula imbal hasil (yield) obligasi pemerintah cukup stabil.

Pertumbuhan kredit perbankan masih sekitar 3 persen sekalipun mengalami perlambatan signifikan. Dana pihak ketiga (DPK) masih tumbuh cukup tinggi sekitar 8 persen. Untuk bank-bank besar yang sistemik, likuiditas lebih dari cukup dan NPL (kredit macet) masih terjaga di sekitar 3 persen.

Namun, bank tertentu dan yang bermodal kecil mengalami kesulitan likuiditas dan NPL yang cenderung meningkat cukup tinggi. Begitu pula lembaga keuangan bermodal kecil, seperti yang membiayai kendaraan bermotor, banyak yang mengalami permasalahan karena langsung terkait dengan sektor riil tertentu yang terpuruk.

Kebijakan pemerintah banyak memberikan dukungan pada sektor keuangan yang mendapatkan tanggapan positif dari pelaku di sektor keuangan. Pemerintah menempatkan dana Rp 30 triliun untuk bank BUMN dan kemungkinan juga ke BPD dan bank swasta besar. Dana ini untuk menopang restrukturisasi nasabah bank bersangkutan dan juga bank perantara yang mengalami kesulitan.

Kebijakan pemerintah banyak memberikan dukungan pada sektor keuangan yang mendapatkan tanggapan positif dari pelaku di sektor keuangan.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengumumkan, dengan pelonggaran peraturan, dimungkinkan restrukturisasi kredit di masa pandemi sebesar Rp 769 triliun, di mana lebih dari setengahnya UMKM. Kebijakan ini tentu saja membantu sektor riil sebagai nasabah bank, tetapi berisiko cukup tinggi jadi kredit macet jika pemulihan ekonomi lambat.

Bank Indonesia (BI) juga diperbolehkan membeli obligasi di pasar primer dan berbagi beban (burden sharing) dengan pemerintah dalam menanggung bunga utang untuk penanganan Covid-19 yang mencapai Rp 397 triliun (dengan reverse repo rate) dan Rp 177 triliun (reverse repo rate dikurangi 1 persen). Kebijakan berbagi beban ini menjadi beban tersendiri bagi BI karena menambah aset di bukunya dengan imbal hasil rendah (low yielding assets).

Dalam pembukuan BI, penerimaan utamanya adalah dari penempatan dana di surat berharga, terutama treasury di AS yang bunganya sangat rendah. Surplus BI banyak diperoleh dari konversi (kurs) dari dollar ke rupiah. Jika harus membiayai defisit anggaran pemerintah yang semakin besar, BI harus mencetak uang. Tentu saja di kemudian hari langkah ini akan berpengaruh terhadap inflasi dan kredibilitas BI.

Baca juga: Ekonomi dalam Normal Baru

Bagaimanapun surat utang negara ini harus dapat diperdagangkan (tradeable and marketable) sehingga fungsional dalam memperkuat kebijakan moneter dan bersinergi dengan kebijakan fiskal.

Langkah-langkah pembiayaan (deficit financing) oleh BI ini juga harus dapat dikembalikan (unwind) ke praktik prudensial dan tidak menjadi sirosis keuangan publik.

Peraturan pemerintah juga dikeluarkan untuk memungkinkan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) memberikan bantuan likuiditas, bahkan injeksi modal, untuk bank bermasalah. Pada umumnya, bank yang bermasalah, baik likuiditas maupun permodalan (solvabilitas), merupakan bank yang sebelum masa pandemi sebenarnya sudah lemah. Karena itu, fasilitas LPS ini sebaiknya bersifat sebagai pertahanan terakhir (last resort), dengan OJK melakukan terlebih dahulu konsolidasi perbankan.

Baca juga: Kebijakan Fiskal untuk Kelas Menengah Bawah

Dengan jumlah bank lebih dari 100 memang sangat diperlukan konsolidasi ini. Langkah ini juga untuk menghindari penyalahgunaan (moral hazard) dan permasalahan akuntabilitas di kemudian hari dengan intervensi LPS.

Sementara itu, sektor riil terpuruk karena penutupan kegiatan usaha selama Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan dalam masa transisi PSBB ini pun kegiatan produksi dan distribusi masih sulit dilakukan pada saat jumlah infeksi Covid-19 masih terus meningkat.

Karena itu, fasilitas LPS ini sebaiknya bersifat sebagai pertahanan terakhir (last resort), dengan OJK melakukan terlebih dahulu konsolidasi perbankan.

Apalagi dengan alasan yang sama penurunan permintaan terjadi sangat besar. Banyak perusahaan mengalami kesulitan likuiditas (cash flow) dengan prospek usaha yang belum jelas. Karena itu, PHK besar tidak terhindarkan.

Dukungan ke sektor riil dengan insentif pajak telah dilakukan. Perluasan insentif pajak ini masih dimungkinkan. Pemerintah juga melakukan bantuan likuiditas dan penyertaan modal kepada BUMN. Namun, langkah ini tidak dapat dilakukan kepada perusahaan swasta di sektor riil karena tidak dimungkinkan secara peraturan dan permasalahan pertanggungjawaban. Hanya melalui perbankan yang didukung oleh pemerintah dan BI yang dapat memfasilitasinya.

Permintaan dalam negeri

Apa yang dapat menjembatani sektor keuangan dan sektor riil adalah menjaga permintaan di dalam negeri. Pada saat ekonomi dunia terkontraksi lebih dalam dari ekonomi domestik, harapan ekonomi di masa transisi pandemi ini adalah pasar domestik. Bantuan tunai langsung, kartu prakerja, dan kompensasi untuk pekerja yang terkena PHK adalah cara untuk mempertahankan permintaan golongan berpendapatan rendah.

Baca juga : Kartu Prakerja, Masalah dan Solusi

Penurunan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan kemungkinan untuk memberikan subsidi upah pekerja di industri padat karya untuk menghindarkan PHK perlu dipertimbangkan untuk menjaga permintaan dan konsumsi masyarakat. Apa yang perlu disiapkan dan diperbaiki adalah tata kelola (governance) dan akuntabilitasnya.

Dengan ketidakpastian dalam upaya mengatasi pandemi Covid-19 ini, pemulihan ekonomi kemungkinan akan berjalan lebih lambat. Apalagi kemungkinan resesi cukup besar sehingga membutuhkan waktu lebih lama untuk pemulihan. Bagaimanapun keberhasilan mengatasi wabah Covid-19 masih menjadi penentu utama seberapa cepat pemulihan ekonomi akan terjadi.

Umar Juoro, Senior Fellow the Habibie Center.

KOMPAS, RABU, 12082020 Halaman 6

Print Friendly, PDF & Email

Share this post:

Related Posts

Comments are closed.