JAKARTA, KOMPAS – Di tengah masih kuatnya penolakan terhadap konten ataupun terhadap pembahasan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja di masa reses, sejumlah serikat buruh dan pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat sepakat membentuk tim kerja bersama. Tim tersebut akan mengkaji tiap pasal dalam kluster ketenagakerjaan RUU Cipta Kerja.
Kesepakatan itu dicapai dalam pertemuan tertutup selama hampir 4 jam antara pimpinan DPR, pimpinan Badan Legislasi (Baleg) DPR, anggota Baleg DPR, dan pimpinan serikat buruh di Gedung DPR di Jakarta, Selasa (11/8/2020). Pertemuan antara lain dihadiri Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad, Ketua Panitia Kerja RUU Cipta Kerja dan Ketua Baleg DPR Supratman Andi Agtas, perwakilan anggota Baleg DPR dari fraksi-fraksi, dan Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal.
Sehari sebelumnya, kelompok masyarakat sipil menyomasi DPR karena membahas RUU omnibus law Cipta Kerja di masa reses. Tindakan ini dinilai menyalahi UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3).
Dihubungi seusai pertemuan, Dasco mengatakan, dalam dialog dengan buruh telah disepakati pembentukan tim kerja bersama DPR dan serikat buruh untuk membahas pasal per pasal RUU Cipta Kerja. ”Kami sepakat membentuk tim kerja untuk membahas bersama-sama, yakni membahas kluster ketenagakerjaan, untuk kita mencari titik temu untuk kemajuan bersama,” tuturnya.
Said Iqbal mengatakan, unsur buruh yang menyepakati pembentukan tim teknis itu antara lain Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) pimpinan Andi Gani, KSPSI pimpinan Yorrys Raweyai, dan Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI). Dia mengklaim serikat buruh yang menyepakati pembuatan tim kerja dengan DPR itu mewakili 75 persen anggota serikat buruh di Indonesia.
Dia mengapresiasi sikap pimpinan DPR dan Baleg yang memberikan kesempatan kepada buruh untuk menyampaikan aspirasinya. Tim kerja akan efektif bekerja mulai 18 Agustus 2020. Tim beranggotakan 16 orang, terdiri dari pihak buruh dan perwakilan anggota Panja RUU Cipta Kerja.
Substansi UU No 13/2003
Dalam diskusi-diskusi tim itu, kata Iqbal, pihaknya akan memastikan substansi masukan dari buruh tidak akan mengubah isi UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Hal itu juga disepakati dalam pertemuan dengan DPR.
Baca juga: DPR Abaikan Somasi Publik
”Titik beratnya tetap memberlakukan UU No 13/2003. Jadi, prinsipnya, apa yang masih ada di UU No 13/2003 itu dipertahankan, misalnya soal ketentuan PHK, pensiun, dan hak buruh lainnya. Adapun untuk hal-hal yang belum diatur, seperti pekerja digital, termasuk jam kerja, upah, dan pekerja paruh waktu, UMKM, dan sektor informal, bisa diatur dalam omnibus law,” papar Iqbal.
Untuk melengkapi usulan dari buruh, serikat buruh dalam pertemuan dengan DPR juga menyerahkan kajian dan analisis pasal per pasal tentang kluster ketenagakerjaan. Pasal di kluster itu dibedah satu per satu dan disesuaikan dengan aspirasi buruh.
Salah satu hasil analisis buruh disusun dengan metode tanya-jawab. Misalnya, untuk isu penghapusan uang pesangon, apakah ada atau tidak, lalu dijawab dalam analisis itu. Isu-isu lain, seperti perpanjangan masa kerja tenaga alih daya (outsourcing) juga dibedah. Said mengatakan, metode pemaparan pasal per pasal itu juga untuk memudahkan DPR dalam melihat pasal-pasal mana di draf RUU Cipta Kerja itu yang dinilai merugikan buruh.
Sekalipun telah ada kesepakatan dengan DPR, Said mengatakan, buruh tetap kritis terhadap RUU Cipta Kerja. Sebab, selain kluster ketenagakerjaan juga ada kluster-kluster lain yang dibahas pemerintah dan DPR. Kesepakatan dengan buruh hanya sebatas pembentukan tim kerja bersama guna memastikan kluster ketenagakerjaan itu tidak merugikan buruh. Namun, kluster-kluster lain yang juga banyak terkait dengan kepentingan buruh tetap dilihat secara kritis.
”Untuk pertama, tim kerja membahas soal pasal per pasal di kluster ketenagakerjaan. Namun, kalau ada pengaturan di kluster lain yang berkaitan dengan kepentingan buruh, tidak tertutup kemungkinan hal itu juga akan dibahas oleh tim kerja,” katanya.
Said mengatakan, DPR menjanjikan seoptimal mungkin meyakinkan pemerintah dalam pembahasan. Kesepakatan pasal per pasal antara DPR dan buruh yang dihasilkan dari tim kerja akan menjadi sikap DPR saat berhadapan dengan pemerintah dalam pembahasan kluster ketenagakerjaan.

Kesepakatan antara buruh dan DPR untuk terlibat dalam pembahasan RUU Cipta Kerja, menurut Said, tidak berarti buruh menghentikan demonstrasi. ”Mohon dipahami, aksi-aksi yang akan dilakukan serikat buruh akan jadi bagian dinamika dari proses ini. Dialog terus berjalan, tetapi aksi ini bagian dari dukungan terhadap panja Baleg DPR agar aspirasi buruh didengar pemerintah,” ujarnya.
Said menilai tim kerja yang dibentuk buruh dan DPR itu lebih efektif daripada forum tripartit yang difasilitasi pemerintah. Sebab, selama ini tak banyak perkembangan dari forum tripartit bentukan pemerintah. Pada Juli lalu, sejumlah serikat buruh menyatakan keluar dari keanggotaan di forum tripartit buruh, pemerintah, dan pengusaha.
”Tidak ada pembahasan pasal per pasal di forum tripartit itu sehingga kami merasa hanya dijadikan stempel, seolah-olah pemerintah telah mengajak buruh bicara. Padahal, di situ tidak ada perkembangan yang berarti,” ujar Said.
Ketua Panja RUU Cipta Kerja Supratman Andi Agtas mengatakan, pembicaraan dengan buruh merupakan upaya DPR menyerap aspirasi publik dan pihak terkait RUU Cipta Kerja. Keberimbangan kepentingan pihak-pihak berusaha dijaga di pembahasan RUU Cipta Kerja.
”Kami mencari keseimbangan dalam penyusunan RUU ini,” katanya.
KOMPAS, RABU, 12082020 Halaman 2.