KEBIJAKAN EKONOMI: Tantangan BI Kian Berat

Pada 13 Juli 2020, DPR telah menetapkan Doni Primanto Joewono sebagai Deputi Gubernur Bank Indonesia periode 2020-2025, menggantikan Erwin Rijanto yang habis masa jabatannya pada 17 Juni 2020. Apa tantangan BI kini dan mendatang?

Fungsi pengaturan dan pengawasan industri perbankan memang sudah beralih dari BI ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK) efektif 31 Desember 2013. Namun, BI tetap memiliki tugas tak kalah penting: menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter seperti suku bunga, nilai tukar rupiah, inflasi, dan mengatur serta menjaga kelancaran sistem pembayaran.

Tantangan BI

Tantangan BI adalah pertama, saat ini BI dan OJK memiliki wewenang masing-masing untuk menjalankan kebijakan makroprudensial dan mikroprudensial. Meski demikian, OJK tetap memerlukan koordinasi yang baik dengan BI untuk menjaga sektor jasa keuangan yang sedang gonjang-ganjing.

Sayangnya, kini justru mencuat wacana untuk mengembalikan fungsi pengaturan dan pengawasan perbankan kembali ke BI. Wacana ini dipicu munculnya kasus beberapa bank, perusahaan asuransi, dan lembaga pembiayaan yang mengalami risiko likuiditas.

Bahkan, pemerintah telah mengajukan revisi UU No 23 Tahun 1999 tentang BI sebagai program legislasi nasional. Usul sudah disetujui di rapat dengan Badan Legislasi DPR. Barangkali, revisi UU itu memang harus dilakukan mengingat fungsi pengaturan dan pengawasan BI sudah dialihkan ke OJK. Kemungkinan besar, revisi UU BI akan dibahas bersamaan dengan omnibus law Keuangan yang diusulkan Kemenkeu.

Kemungkinan besar revisi UU BI akan dibahas bersamaan dengan omnibus law Keuangan yang diusulkan Kemenkeu.

Alhasil, ada beberapa UU yang layak direvisi, termasuk di antaranya UU No 10 Tahun 1997 tentang Perubahan atas UU No 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Mengapa? Lantaran perkembangan perbankan kian kompleks. Produk perbankan makin bersinggungan dengan pasar modal, seperti unit link yang menawarkan proteksi dan investasi yang menarik atau produk perusahaan asuransi yang dipasarkan melalui perbankan, yakni bancassurance.

Baca Juga: Wewenang BI Jadi Opsi Terakhir

Kedua, lahirnya perusahaan teknologi keuangan (tekfin), terutama model pinjam-meminjam (peer to peer lending). Pinjaman daring merupakan layanan pinjam-meminjam uang dalam mata uang rupiah secara langsung antara kreditor dan debitor berbasis teknologi informasi.

Tekfin bukan bank, lembaga pembiayaan, atau koperasi, tetapi diizinkan melakukan pinjam-meminjam. Karena itu, status tekfin harus ditegaskan di UU sebagai payung hukum. Ini penting guna melindungi baik pemberi pinjaman maupun peminjam secara hukum apabila terjadi masalah.

Tantangan BI Kian Berat

Ketiga, untuk mengatur sistem pembayaran ekonomi digital, BI telah meluncurkan standar kode respons cepat (QR code) untuk pembayaran melalui aplikasi uang elektronik berbasis server, dompet elektronik atau mobile banking yang disebut QR Code Indonesian Standard (QRIS) pada 17 Agustus 2019. QRIS dilaksanakan secara nasional efektif 1 Januari 2020.

Akhir-akhir ini, bertaburan kartu pembayaran digital, dompet digital, atau uang elektronik, seperti DANA, OVO, Go-Pay. Uang elektronik itu merupakan layanan pembayaran digital yang dapat dimanfaatkan untuk pembayaran transaksi (dalam jumlah relatif kecil karena saldo maksimal hanya Rp 2 juta) seperti tiket, makanan dan minuman, parkir, dan transfer pulsa.

Selama ini, terlebih ketika Covid-19 mulai merebak, frekuensi penggunaan uang elektronik semakin tinggi karena konsumen lebih suka membeli keperluan makanan dan minuman melalui daring untuk menghindari tatap muka. Namun, kehadiran uang elektronik akan menekan pertumbuhan kartu kredit sebagai salah satu alat pembayaran menggunakan kartu (APMK).

Namun, kehadiran uang elektronik akan menekan pertumbuhan kartu kredit sebagai salah satu alat pembayaran menggunakan kartu (APMK).

Data BI menunjukkan, jumlah kartu kredit naik tipis 1,57 persen dari 17.199.903 lembar per Mei 2019 menjadi 17.469.264 lembar per Mei 2020. Padahal, empat bulan terakhir, jumlah kartu kredit meningkat lebih tinggi, yakni 2,46 persen per Januari, 2,68 persen per Februari, 2,44 persen per Maret, dan 3,38 persen per April 2020.

Aktivitas tarik tunai dengan kartu kredit juga turun signifikan 21,35 persen dari Rp 321,91 triliun per Mei 2019 menjadi Rp 253,19 triliun per Mei 2020. Penurunan sudah terjadi sebulan sebelumnya, April 2020, sebesar 15,21 persen. Padahal, aktivitas tarik tunai masih naik selama tiga bulan terakhir, masing-masing 2,36 persen, 4,28 persen, dan 1,60 persen per Januari, Februari, dan Maret 2020.

Ternyata penurunan juga terjadi pada aktivitas belanja dengan kartu kredit 6,67 persen, 43,39 persen, dan 45,41 persen per Maret, April, dan Mei 2020. Agaknya penurunan aktivitas tarik tunai dan belanja itu bukan hanya akibat kehadiran uang elektronik, melainkan juga karena Covid-19 mulai kuartal I-2020. Inilah tantangan serius BI.

Tantangan BI Kian Berat

Keempat, tantangan eksternal dari bank sentral AS, Federal Reserves (The Fed). The Fed menegaskan akan tetap mempertahankan suku bunga acuan (The Fed Fund Rate/FRR) pada level 0-0,25 persen sejak 15 Maret 2020.

Apakah FRR akan berubah lagi? Pada sidang Kongres 30 Juni 2020, Gubernur The Fed Jerome Powell mengatakan, ekonomi AS akan menghadapi ketidakpastian yang luar biasa, terutama mengingat upaya berkelanjutan dalam menahan penyebaran Covid-19.

Pasti perubahan FRR akan memengaruhi kebijakan BI dalam menetapkan suku bunga acuan (BI 7 Day Reverse Repo Rate/BI 7 DRRR) yang kini turun dari 4,25 persen per 18 Juni 2020 menjadi 4 persen per 16 Juli 2020. Ketika suku bunga acuan terlalu rendah, itu bisa mendorong hengkangnya dana asing (capital outflow).

Sebagai perbandingan, bunga acuan negara ASEAN lain: Singapura 0,16 persen, Thailand 0,50 persen, Malaysia 1,75 persen, Filipina 2,25 persen, dan Vietnam 4,50 persen. Singkatnya, BI wajib mengelola suku bunga acuan dengan bijak dan saksama.

Ketika suku bunga acuan terlalu rendah, itu bisa mendorong hengkangnya dana asing (capital outflow).

Pembagian beban

Kelima, pemerintah dan BI akhirnya menyepakati skema berbagi beban (burden sharing) pembayaran bunga surat berharga negara (SBN). Dari total Rp 1.173,74 triliun surat utang negara (SUN) neto yang akan diterbitkan tahun ini, BI akan membeli secara langsung Rp 397,56 triliun sekaligus menanggung beban bunga sebesar suku bunga acuan 4,25 persen.

BI juga akan menanggung sebagian beban bunga SBN yang dibeli BI sebagai noncompetitive bidder di pasar perdana sesuai mekanisme pasar. Skemanya, pemerintah akan menanggung bunga 1 persen poin di bawah suku bunga acuan, sedangkan BI menanggung selisih bunga pasar dengan porsi pemerintah  (Kompas, 13/7).

Muncul berbagai pro kontra terhadap langkah ini. Ada yang berpendapat, hal itu dapat memangkas kemandirian bank sentral dan mendorong kenaikan inflasi. Padahal, pembagian beban fiskal itu sudah sesuai Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020.

Pemerintah berwenang menerbitkan SUN dan/atau surat berharga syariah negara dengan tujuan tertentu, khususnya dalam rangka pandemi Covid-19, untuk dapat dibeli oleh BI, BUMN, investor korporasi dan/atau investor ritel (Pasal 2 butir 1 huruf f).

Artinya, itu sah secara hukum. Negara lain juga telah melakukan pembagian beban fiskal, seperti Chile, Kolombia, Hongaria, India, Korea Selatan, Meksiko, Polandia, Filipina, Afrika Selatan, Turki, Thailand.

Keenam, kondisi ekonomi yang kurang darah saat ini akan mendongkrak utang luar negeri (ULN) Indonesia. Data BI Juni 2020 menunjukkan, ULN Indonesia naik 2,9 persen menjadi 400,2 miliar dollar AS per akhir April 2020. Rinciannya: ULN sektor publik (pemerintah dan bank sentral) 192,4 miliar dollar AS dan ULN sektor swasta (termasuk BUMN) 207,8 miliar dollar AS.

Kenaikan itu lebih tinggi dibandingkan kenaikan per Maret 2020 sebesar 0,6 persen. Hal itu disebabkan oleh peningkatan ULN publik di tengah perlambatan pertumbuhan ULN swasta.

ULN pemerintah dilakukan untuk mendukung belanja prioritas untuk menangani pandemi Covid-19 dan stimulus ekonomi. Sektor prioritas meliputi sektor jasa kesehatan dan kegiatan sosial (23 persen dari total ULN pemerintah), sektor konstruksi (16,4 persen), sektor jasa pendidikan (16,2 persen), dan sektor administrasi pemerintah, pertahanan, dan jaminan sosial (11,6 persen).

Kenaikan ULN ini mengerek rasio ULN Indonesia terhadap produk domestik bruto (PDB) dari 34,6 persen per Maret 2020 menjadi 36,5 persen per April 2020.

Struktur ULN Indonesia tetap didominasi ULN berjangka panjang dengan pangsa 88,9 persen dari total ULN. Artinya, potensi risiko lebih kecil daripada sebagian besar bertenor jangka menengah, apalagi jangka pendek.

ULN pemerintah dilakukan untuk mendukung belanja prioritas untuk menangani pandemi Covid-19 dan stimulus ekonomi.

Tentu saja, pembagian beban fiskal itu akan meningkatkan rasio total utang terhadap PDB. BI hendaknya tetap memegang prinsip kehati-hatian dalam mengelola utang. Mengapa? Karena ketika nilai tukar rupiah melemah terhadap dollar AS, nilai ULN otomatis akan membengkak dalam rupiah.

(Paul Sutaryono

Staf Ahli Pusat Studi BUMN, Pengamat Perbankan,

Mantan Assistant Vice President BNI)

KOMPAS, JUM’AT, 07082020 Halaman 6.

Print Friendly, PDF & Email

Share this post:

Related Posts

Comments are closed.