ENERGI: Transisi Energi Tidak Bisa Tiba-tiba

JAKARTA, KOMPAS — Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform Fabby Tumiwa menyarankan pemerintah dan PLN mengkaji rencana pembangunan sejumlah pembangkit listrik tenaga uap atau PLTU di Indonesia. Sebab, teknologi energi terbarukan yang semakin efisien akan menghasilkan tarif tenaga listrik yang berpotensi lebih murah dari listrik yang dihasilkan PLTU.

Ia mengusulkan agar pemerintah menerbitkan moratorium pembangunan PLTU di Indonesia. ”Perlu dikaji lagi, apakah asumsi-asumsi yang digunakan saat membangun PLTU masih valid? Sebab, harga listrik energi terbarukan kian murah dari tahun ke tahun akibat dari teknologi yang terus berkembang,” ujar Fabby, Selasa (4/8/2020).

Managing Director Carbon Tracker Initiative Matthew Gray menyatakan, sejumlah PLTU yang berusia tua di Indonesia semakin tidak efisien dan layak diganti pembangkit energi terbarukan. Jenis sumber energi terbarukan yang layak di Indonesia adalah tenaga surya (PLTS) dan tenaga bayu (PLTB). Penggantian PLTU yang tak efisien dengan PLTS atau PLTB akan menghemat investasi yang luar biasa besar.

”Untuk mendukung transisi energi, perlu keterlibatan tiga pihak, yaitu pemerintah, lembaga keuangan, dan industri,” katanya.

Baca juga: Waspadai Nasib PLTU pada Masa Mendatang

Berpihak

Dalam webinar tentang transisi energi di Indonesia, Kepala Subdirektorat Penyiapan Program Ketenagalistrikan pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Husni Safruddin mengatakan, keberpihakan pemerintah pada pengembangan energi terbarukan antara lain terlihat dari Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional. PP itu menetapkan target energi terbarukan dalam bauran energi nasional di Indonesia.

”Keberpihakan pemerintah pada energi terbarukan sudah final. Hanya saja, transisi energi tak bisa dilakukan dengan tiba-tiba. Tidak dengan cara menghentikan operasi PLTU begitu saja. Sistem (kelistrikan) bisa kolaps,” kata Husni.

Pandemi Covid-19 menghambat sejumlah proyek energi terbarukan di Indonesia, antara lain karena permintaan tenaga listrik yang berkurang.
Beberapa pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) sudah selesai dibangun dan mulai masuk ke dalam sistem kelistrikan nasional. Pemerintah akan melihat dampak pandemi Covid-19 terhadap pengembangan energi terbarukan.

”Untuk mendukung pemanfaatan energi yang lebih bersih, pemerintah mengharuskan penggunaan teknologi ultrasupercritical di sejumlah PLTU agar emisi yang dihasilkan dari pembakaran batubara bisa lebih rendah,” ujar Husni. Tidak dengan cara menghentikan operasi PLTU begitu saja.

Selain itu, tambah Husni, dalam usaha meningkatkan pemanfaatan energi terbarukan, sejumlah PLTU sudah menerapkan co-firingCo-firing adalah pencampuran material berupa pelet dari kayu dengan komposisi tertentu bersama batubara sebagai sumber energi pada PLTU.

Ketua Umum Asosiasi Produsen Listrik Swasta Indonesia (APLSI) Arthur Simatupang membenarkan transisi energi dari fosil menuju energi terbarukan sedang terjadi di berbagai negara. Namun, seberapa cepat transisi tersebut terjadi di Indonesia, yang masih didominasi batubara sebagai energi primer.

”Pemerintah telah mendukung pengembang energi terbarukan dengan rencana penerbitan regulasi baru yang mengatur tentang tarif tenaga listrik dari energi terbarukan. Kami berharap kebijakan ini menarik bagi investor,” kata Arthur.

Data dari Kementerian ESDM hingga Mei 2020, kapasitas terpasang listrik di Indonesia 70.900 megawatt. Batubara masih dominan dalam bauran sumber energi primer pembangkit, yaitu 63,92 persen. Adapun gas bumi di peringkat kedua dengan porsi 18,08 persen. Pembangkit dengan sumber energi terbarukan berperan 14,95 persen, sedangkan 3,05 persen adalah pembangkit berbahan bakar minyak.

Batubara masih dominan dalam bauran sumber energi primer pembangkit, yaitu 63,92 persen.

KOMPAS, RABU, 05082020 Halaman 10.

 

 

 

Print Friendly, PDF & Email

Share this post:

Related Posts

Comments are closed.