JAKARTA, KOMPAS — Kredit perbankan per Juni 2020 memang hanya tumbuh 1,49 persen. Namun, perlambatan pertumbuhan penyaluran kredit pada tahun ini telah melewati level terendahnya pada Juni atau akhir semester I-2020. Otoritas meyakini level pertumbuhan kredit pada paruh kedua tahun ini akan meningkat secara bertahap seiring dengan pemulihan ekonomi.
Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso, Selasa (4/8/2020), mengatakan telah terjadi perlambatan pertumbuhan kredit perbankan. Penyaluran kredit pada semester I-2020 tercatat tumbuh hanya 1,49 persen secara tahunan, jauh lebih rendah dibandingkan pertumbuhan tahunan pada semester I-2019 yang sebesar 9,92 persen.
Namun, pertumbuhan penyaluran kredit per 23 Juli 2020 perlahan sudah mulai meningkat mencapai 2,27 persen apabila dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya.
”Penurunan ini kami harapkan hanya sementara akibat pandemi. Kredit perbankan diharapkan kembali pulih seiring dengan pulihnya kembali pertumbuhan ekonomi,” ujarnya dalam telekonferensi pers tentang ”Perkembangan Kebijakan dan Kondisi Terkini Sektor Jasa Keuangan”.
Penurunan ini kami harapkan hanya sementara akibat pandemi. Kredit perbankan diharapkan kembali pulih seiring dengan pulihnya kembali pertumbuhan ekonomi.
Perlambatan penyaluran kredit pada Juni 2020 didominasi penurunan kredit kelompok Bank Umum Kegiatan Usaha (BUKU) III. Penyaluran kredit bank dengan modal inti antara Rp 5 triliun dan Rp 30 triliun ini terkontraksi hingga minus 2,27 persen.
Sementara itu, pertumbuhan penyaluran kredit pada bank kelompok BUKU IV masih tumbuh 2,88 persen. Pertumbuhan kredit juga terjadi pada Bank BUKU I sebesar 3,94 persen, serta bank BUKU II yang mencapai 4,81 persen.

Grafik pergerakan pertumbuhan kredit, dana pihak ketiga (DPK), dan rasio likuiditas (LDR) secara triwulanan.
Menurut Wimboh, perlambatan kredit terutama terjadi di sektor perdagangan dan industri pengolahan sejalan dengan penurunan aktivitas ekonomi dan daya beli masyarakat. Untuk itu, OJK bersama perbankan dan pemangku kepentingan lembaga keuangan lainnya akan terus memonitor perkembangan kredit di lapangan.
Dari sisi segmentasi kredit, kredit modal kerja (KMK) masih terkontraksi hingga minus 1,3 persen. Pertumbuhan tertinggi terjadi pada segmen kredit investasi yang mencapai tumbuh 5,6 persen. Adapun kredit konstruksi menjadi segmen dengan pertumbuhan terbesar kedua, yaitu mencapai 2,3 persen.
”OJK selalu memantau apabila ada permasalahan-permasalahan yang akan kami atasi sesegera mungkin agar mempercepat pertumbuhan dan pertumbuhan kredit,” ujarnya.
Baca juga: Restrukturisasi Kredit dan Likuiditas

Grafik penurunan penyaluran kredit berdasarkan kategori bank umum kelompok usaha (BUKU).
Otoritas, lanjut Wimboh, akan tetap mendorong intermediasi perbankan sejalan turunnya suku bunga kredit secara konsisten. Selain itu, stimulus pemerintah, subsidi bunga, penempatan dana pemerintah, dan subsidi kredit korporasi menjadi amunisi dalam memberikan dorongan sektor riil untuk tumbuh kembali.
”Melalui insentif program restrukturisasi, diharapkan industri bisa bangkit kembali dalam waktu yang tidak terlalu lama sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi pada September sampai akhir tahun,” katanya.
Melalui insentif program restrukturisasi, diharapkan industri bisa bangkit kembali dalam waktu yang tidak terlalu lama sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi pada September sampai akhir tahun.
Perpanjangan restrukturisasi
Kebijakan restrukturisasi kredit untuk mendukung pertumbuhan ekonomi berlaku sejak Maret 2020 hingga Maret 2021. Hal itu tertuang dalam Peraturan OJK (POJK) Nomor 11/POJK.03/2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional Sebagai Kebijakan Kontra Siklus Dampak Penyebaran Covid-19 2019.
Wimboh menyampaikan, OJK tengah mempertimbangkan perpanjangan relaksasi tersebut untuk memberi ruang lebih lama bagi para pengusaha bisa bangkit dari bisnisnya yang masih terpuruk akibat pandemi. ”Ruang perpanjangan POJK ini dimungkinkan dan akan keluar sebelum akhir tahun. Kami berharap beberapa industri bangkit seperti semula,” ujarnya.
OJK akan memantau kondisi sektor usaha dan memastikan masih dibutuhkan tidaknya perpanjangan restrukturisasi. Apabila nantinya sektor usaha belum bisa bangkit, maka perpanjangan POJK bisa saja dilakukan agar sektor usaha bisa bangkit kembali.
”Bank-bank pasti tegas terhadap nasabah tidak bisa bangkit, contoh ekstremnya adalah nasabah merupakan pemilik usaha yang sudah tidak mau melanjutkan usahanya. Nasabah yang begitu jangan diterapkan POJK 11, karena mereka tidak memilih untuk bertahan,” katanya.
Restrukturisasi kredit perbankan mulai melandai pada Juni 2020 dengan realisasi Rp 784,36 triliun dari 6,73 juta debitor. Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan, hingga 20 Juli 2020, realisasi restrukturisasi kredit tersebut terdiri dari sektor UMKM dengan outstanding Rp 330,27 triliun dari 5,38 juta debitor, serta non-UMKM dengan outstanding Rp 454,09 triliun dari 1,34 juta debitor.
Baca juga: Jika Diperlukan, Restrukturisasi Kredit Bisa Diperpanjang
Menurut Wimboh, peran restruktursasi ini sangat besar untuk menjaga level kenaikan kredit macet (non-performing loan/NPL), yang hingga Juni 2020, berada di level 3,11 persen. Dalam enam bulan terakhir, NPL perbankan memang tengah berada dalam tren peningkatan dimulai dari Desember 2019 sebesar 2,53 persen, Maret 2020 (2,77 persen), April (2,89 persen), dan Mei (3,01 persen).
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Heru Kristiyana menambahkan, evaluasi bank akan menentukan potensi perpanjangan restrukturisasi pada nasabah perbankan. Perbankan akan banyak melakukan pertimbangan agar nasabah bisa mendapatkan relaksasi.
”Saat restrukturisasi berakhir perbankan akan menganalisis seperti apa neraca mereka. Kemudian di sisi lain bank juga akan lakukan penilaian terhadap nasabah, butuh perpanjangan atau tidak,” ujarnya.
KOMPAS, RABU, 05082020 Halaman 10.