LEGISLASI: Konsultasi Publik untuk RUU Perlindungan Data Pribadi Perlu Dibuka Lebar

JAKARTA, KOMPAS — Konsultasi publik dalam pembahasan Rancangan Undang-undang Perlindungan Data Pribadi di DPR diminta dibuka lebar. Masukan dari masyarakat dan pelaku industri akan dapat melengkapi upaya perlindungan data pribadi sensitif pada sektor spesifik, khususnya bidang kesehatan.

Guru Besar Fakultas Hukum Univeritas Atma Jaya Jakarta Prof Ida Bagus Rahmadi Supancana mengatakan, baik DPR maupun pemerintah harus membuka pintu konsultasi dan masukan dari masyarakat selebar-lebarnya.

Hal itu perlu agar masing-masing mendapatkan masukan mengenai potensi ganjalan yang akan timbul di lapangan. Apabila seluruh pemangku kepentingan didengar, implementasi di lapangan akan lebih mudah.

Selain itu, menurut Supancana, apabila masukan didengar, tingkat kepatuhannya juga akan tinggi. Untuk itu, mungkin perlu ada masa sosialisasi yang memadai agar sebagian masyarakat telah siap untuk mengikuti aturan.

”Nah berarti tujuan regulasi ini tercapai,” kata Supancana dalam diskusi virtual yang digelar Atma Jaya Institute of Public Policy pada Selasa (7/7/2020) sore.

Setelah draf terakhir Rancangan Undang-undang Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP) disampaikan oleh pemerintah kepada DPR pada Januari 2020, DPR mulai menggelar rapat dengar pendapat dengan para pemangku kepentingan.

Menilik draf RUU PDP, Supancana menilai, ada beberapa persoalan yang mutlak harus diselesaikan saat pembahasan di DPR. Salah satunya seperti keberadaan komisi independen.

Baca juga : DPR Turunkan Target Prolegnas karena Pandemi Covid-19

Keberadaan komisi independen menjadi penting apabila ada komplain dari subyek data terkait perilaku dari pengendali data. ”Nah, ini bagaimana fungsi komisi dan mekanisme penyelesaian sengketanya?” kata Supancana yang juga Koordinator Atma Jaya Studies on Aviation, Outer Space, and Cyber Laws.

Pengajar Fakultas Hukum Atma Jaya, Sih Yuliana Wahyuningtyas, berpendapat, komisi atau Data Protection Authority (DPA) memiliki fungsi lain seperti untuk konsultasi industri dan edukasi masyarakat.

Pandemi Covid-19 juga dinilai Yuliana telah mengakselerasi masyarakat untuk lebih sadar akan hak privasi dan perlindungan data pribadi masing-masing. Hal ini secara khusus dipicu oleh kehadiran aplikasi penelusuran kontak (contact tracing) yang dinilai akan mengorbankan privasi masyarakat.

”Untuk itu, kita semua para pemangku kepentingan harus saling mengingatkan untuk menemukan keseimbangan antara privasi dan kesehatan publik,” kata Yuliana.

Baca juga : Pemerintah Harus Transparan soal Data Aplikasi Pelacak Kontak Covid-19 PeduliLindungi

Deputi Direktur Riset Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Wahyudi Djafar berpandangan bahwa potensi pelanggaran hak privasi pada penanganan Covid-19 bermula pada regulasi perlindungan data yang tidak komprehensif.

Padahal, menurut catatan Elsam, ada 33 undang-undang di Indonesia yang mengatur perlindungan data pribadi dan enam di antaranya berkaitan dengan sektor kesehatan. Namun, hal ini masih belum mumpuni dan sesuai dengan kondisi saat ini.

Dalam UU No 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan memungkinkan pemerintah melakukan surveilans terhadap warga negara. Namun, tidak ada aturan teknis yang mengatur tentang metode dan batasan surveilans yang akan dilakukan. ”Hal ini membuat sangat luas penafsirannya,” kata Wahyudi.

Di masa pandemi ini, dari pemerintah daerah hingga pengelola pusat perbelanjaan juga banyak menggunakan aplikasi atau layanan yang meminta masyarakat untuk mengisikan data pribadi.

Hal ini dilakukan dengan tujuan dari keperluan pencegahan penyebaran infeksi hingga untuk pembatasan sosial di dalam mal. Namun, menurut dia, tidak ada aturan yang memastikan pengelolaan data pribadi yang mereka kumpulkan.

”Bagaimana data pribadi yang sudah mereka kumpulkan? Itu disimpan di ponsel masyarakat atau dimasukkan ke data center milik mereka?” kata Wahyudi.

Data unik

Menurut pelaku industri, perancangan regulasi perlindungan data pribadi sebaiknya juga mempertimbangkan berbagai praktik eksisting pelindungan data yang sudah menjadi standar di sektor tertentu.

Pendiri dan CEO Zi.care Jessy Abdurrahman menilai, data pribadi di sektor kesehatan cukup unik. Untuk itu, perlu ada ketentuan khusus mengenai praktik retensi data pribadi yang telah dikoleksi oleh fasilitas kesehatan.

Hal ini, menurut dia, karena data gejala atau penyakit yang merupakan turunan dari data rekam medis selama ini bisa tetap dipegang oleh fasilitas kesehatan asalkan faktor identitas spesifik sudah dihilangkan (masking).

Praktik ini lumrah dan penting dalam upaya kolaborasi penelitian secara nasional ataupun internasional. ”Hal ini berkaitan dengan transimisi data antarlembaga. Kalau sudah di-masking, seharusnya tidak masalah arena ini dipakai untuk kolaborasi penelitian,” kata Jessy.

Baca juga : Perkuat Konten Perlindungan Data Pribadi

Zi.care adalah layanan sistem informasi dan manajemen pelayanan fasilitas kesehatan. Pada Maret 2020, Zi.care bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan menyediakan sistem informasi penunjang operasionalisasi Rumah Sakit Darurat Covid-19 Wisma Atlet. Zi.care juga menjadi platform yang menghubungkan fasilitas kesehatan di seluruh Indonesia dengan Satgas Penanggulangan Covid-19.

Jessy mengatakan, peraturan eksisting mengenai perlindungan data pribadi kesehatan juga masih bermasalah. Ia mencontohkan mengenai Permenkes No 269/2008 tentang Rekam Medis. Dalam aturan itu disebut bahwa kertas berkas rekam medis adalah milik faskes. Namun, isi konten adalah milik pasien.

Padahal, sepengetahuannya, masih banyak faskes yang melakukan administrasi secara manual di atas kertas. ”Nah ini bagaimana? Apakah kita bisa memisahkan isi rekam medis dengan kertasnya?” kata Jessy.

Kepala Sub-Direktorat Perlindungan Data Pribadi Kementerian Komunikasi dan Informatika Hendri Sasimita Yudha mengakui memang masih banyak yang harus diperbaiki dari draf RUU PDP yang telah dibuat pemerintah.

Untuk itu, ia berharap, masukan dari akademisi, masyarakat sipil, dan pelaku industri dapat disampaikan di saat rapat dengar pendapat, baik kepada DPR maupun pemerintah.

”Ini mungkin tidak sempurna. Namun, saat ini, draf ini adalah satu-satunya draf yang kita miliki. Jadi, sebaiknya kita kawal bersama-sama,” kata Hendri.

KOMPAS, RABU, 08072020 Halaman 2.

Print Friendly, PDF & Email

Share this post:

Related Posts

Comments are closed.