KETENAGAKERJAAN: Pandemi Geser Struktur Ketenagakerjaan, Perhatikan Pekerja Informal

JAKARTA, KOMPAS — Sektor informal bisa menjadi penyelamat ekonomi nasional dalam situasi krisis. Namun, krisis ekonomi biasanya berdampak pada lonjakan jumlah pekerja informal. Oleh karena itu, kebijakan pemulihan ekonomi dinilai perlu memberi perhatian dan dukungan lebih pada sektor informal.

Kajian Organisasi Buruh Internasional (ILO) dalam ”Covid-19 Crisis and the Informal Economy: Immediate Responses and Policy Challenges” memprediksi, pandemi Covid-19, yang memukul ekonomi global, akan menggeser struktur ketenagakerjaan dalam jangka panjang, yakni dari sektor formal menuju informal.

Laporan Mei 2020 itu menunjukkan, pekerja informal, yang bergantung pada pendapatan harian, mendapat pukulan paling keras. Namun, pekerja yang terdampak tidak punya pilihan lain di tengah minimnya lowongan kerja dan persaingan pasar tenaga kerja yang kian kompetitif. Situasi ini diproyeksikan banyak terjadi di negara berkembang yang sistem jaring pengaman sosialnya lemah.

Saat ini, pekerja informal sudah menguasai struktur ketenagakerjaan global. ILO mencatat, pada 2020, sebanyak 62 persen dari pekerja di seluruh dunia atau  2 miliar orang bergerak di sektor informal. Kondisi ini paling banyak ditemukan di negara berkembang, seperti Indonesia.

Direktur Eksekutif Center for Reform on Economics Mohammad Faisal, Rabu (17/6/2020), mengatakan, tanpa krisis ekonomi pun, penambahan pekerja informal di Indonesia sudah lebih tinggi dibandingkan pekerja formal. Badan Pusat Statistik mencatat, pada Februari 2020, jumlah pekerja informal di Indonesia mencapai 56,5 persen atau 70,04 juta orang.

 

Pekerja informal umumnya bergerak di jenis pekerjaan serabutan yang bergantung pada pemasukan harian. Mereka, antara lain, ada di level usaha ultra mikro dan mikro, seperti pedagang kaki lima, pedagang asongan, penarik becak, hingga pekerjaan serabutan, seperti kuli bangunan, petugas kebersihan, dan pegawai kontrak yang dibayar harian. Namun, berbeda dengan pekerja formal, pekerja informal minim perlindungan hukum dan hak ketenagakerjaan.

”Sektor informal selalu menjadi penolong masyarakat dan perekonomian nasional saat krisis. Hal itu bisa terlihat pada saat krisis moneter 1998 dan 2008. Namun, sektor ini justru kerap luput dari perhatian dan perlindungan,” kata Faisal saat dihubungi di Jakarta.

Baca juga: Komposisi Lowongan dan Pencari Kerja Makin Timpang

Program pemulihan ekonomi nasional, ujarnya, harus lebih berorientasi pada perlindungan sektor informal. Mengacu pada data Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan 31 Mei 2020, pemerintah telah mengalokasikan Rp 6,4 triliun untuk membantu usaha ultramikro dan UMKM melalui bantuan pembiayaan seperti KUR, ultramikro (UMi), Mekaar (Membina Ekonomi Keluarga Sejahtera), dan pegadaian. Namun, bantuan itu masih bisa dimaksimalkan.

”Paket pemulihan ekonomi sudah banyak menyinggung pelaku usaha swasta, tetapi seharusnya lebih banyak terobosan untuk membantu usaha mikro milik masyarakat kecil, baru usaha besar. Mulai dari akses pembiayaan, pendampingan teknis, sampai penciptaan pasar yang bisa dimulai dari belanja barang dan jasa oleh pemerintah dan BUMN. Bantuannya harus benar-benar praktis, realistis, dan maksimal,” kata Faisal.

Hal terpenting saat ini adalah mendorong penciptaan lapangan kerja. Salah satunya lewat sektor informal.

Ia mengatakan, hal terpenting saat ini adalah mendorong penciptaan lapangan kerja. Salah satunya lewat sektor informal. Oleh karena itu, sektor ini sebaiknya tidak diberi beban melalui formalisasi sektor informal, seperti lewat pungutan pajak.

”Harus realistis, beri ruang bernapas dulu, yang terpenting memberi akses lapangan kerja dan yang bisa didorong memang sektor informal saat sektor formal terpuruk. Secara bertahap, baru tingkatkan kualitasnya,” katanya.

Perlindungan

Menurut Wakil Ketua Umum Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia Jumisih, di tengah potensi bertambahnya pekerja informal akibat pandemi, pemerintah harus memaksimalkan perlindungan hukum bagi pekerja informal yang selama ini terabaikan. ”Saat ini, masih sangat lemah. Jangankan tenaga kerja informal, yang formal saja banyak sekali ada pelanggaran dan hukum yang tidak berpihak pada pekerja,” katanya.

Selain bantuan akses permodalan dan penciptaan pasar bagi pekerja korban Covid-19 yang beralih ke sektor informal, pendataan dan perlindungan yang baik untuk pekerja informal juga diperlukan untuk jangka panjang. Selama ini, pemerintah berdalih sulit melindungi pekerja informal karena kendala pendataan yang sulit mencakup pekerja informal yang tersebar dan tidak terorganisasi.

Data Kementerian Ketenagakerjaan terkait pekerja yang terdampak Covid-19 pun tidak mampu menangkap kondisi pekerja informal sehingga mereka sulit mendapat bantuan jaring pengaman sosial. Data per 27 Mei 2020, ada 318.959 orang pekerja informal atau hanya 10,4 persen dari total 3,06 juta pekerja yang terdampak Covid-19. Padahal, sektor ini yang paling terpukul oleh kebijakan penanggulangan Covid-19.

Menurut Jumisih, pandemi ini menjadi pengingat bahwa sektor informal selaku tulang punggung perekonomian negara harus didata dan dilindungi lebih maksimal. ”Tenaga kerja informal yang selama ini upahnya rendah, lingkungan kerjanya tidak bagus, tidak punya kepastian dan perlindungan hukum, harus dilindungi pemerintah. Dan solusinya bukan omnibus law RUU Cipta Kerja seperti sekarang,” katanya.

Ekonomi desa

Perubahan struktur ketenagakerjaan terutama terjadi di perdesaan. Beban ekonomi di desa meningkat dengan surplus tenaga kerja akibat banyaknya pekerja terdampak Covid-19. Mereka meningggalkan kota dan kembali ke desa karena kehilangan sumber pemasukan. Tak hanya pekerja lokal, perdesaan juga menampung pekerja migran yang dipulangkan akibat Covid-19 dan kini menganggur.

Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo mengatakan, perlu ada intervensi pemerintah untuk memastikan ketersediaan sarana produksi dan mekanisme pasar yang adil dan berpihak pada sektor informal serta wilayah perdesaan. Salah satunya, mengubah skema bantuan langsung tunai (BLT) tidak sekadar sebagai transfer tunai, tetapi bisa menjadi modal awal usaha untuk menggerakkan perekonomian lokal.

Baca juga: RI Memasuki Fase Terberat, Resesi Membayangi

”Kontribusi remitansi untuk ekonomi pedesaan dan regional selama ini lebih bertumpu pada aktivitas konsumsi. Namun, kalau sekarang kita bisa mendorongnya menjadi aktivitas produktif, lewat para eks pekerja migran, itu bisa berkontribusi untuk pertumbuhan ekonomi yang lebih berkualitas,” ujarnya.

Wakil Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Budi Arie Setiadi mengatakan, pemulihan ekonomi pascapandemi telah ikut memperhatikan revitalisasi ekonomi desa. Upaya itu, antara lain, lewat program ketahanan pangan, revitalisasi BUMDes, digitalisasi ekonomi desa, dan padat karya tunai desa (PKTD).

”Berbagai kajian menunjukkan, desa akan menjadi wilayah yang paling cepat rebound pascapandemi karena penderita Covid-19 sedikit, potensi ekonominya juga besar,” ujar Budi.

KOMPAS, KAMIS, 18062020 Halaman 10.

Print Friendly, PDF & Email

Share this post:

Related Posts

Comments are closed.