RUU CIPTA KERJA: Labirin Pusat dan Daerah

Pada mulanya adalah masalah perizinan yang ruwet, berbelit-belit, dan tak ada kepastian kapan selesainya. Pemerintah berpandangan, kondisi seperti itu buruk untuk iklim investasi di Indonesia. Lalu, disiapkanlah Rancangan Undang-Undang atau RUU Cipta Kerja yang diharapkan bisa menjadi solusi. Adakah jaminannya?

Di sektor energi dan sumber daya mineral ada empat undang-undang (UU) yang masuk dalam revisi RUU Cipta Kerja. Keempat UU tersebut adalah UU No 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, UU No 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, UU No 21/2014 tentang Panas Bumi, dan UU No 30/2009 tentang Ketenagalistrikan. Sebagian besar revisi terhadap keempat UU itu adalah tentang penarikan wewenang daerah dalam hal perizinan ke pemerintah pusat.

Kesannya, ada ketidakpercayaan pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah untuk urusan investasi yang ada di daerah masing-masing. Kabar-kabar tentang perizinan yang rumit dan berbelit, administrasi yang tumpang tindih, dan kabar suap atau korupsi untuk urusan tersebut kerap mewarnai pemberitaan. Begitu pula dengan kabar kerusakan lingkungan atau penyerobotan kawasan konservasi.

Baca juga: Mempertaruhkan Ekologi dalam ”Omnibus Law” RUU Cipta Kerja

Kesannya, ada ketidakpercayaan pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah untuk urusan investasi yang ada di daerah masing-masing.

Sebagai contoh di sektor tambang. Sejak perizinan dilimpahkan ke pemerintah kabupaten dan kota, jumlah izin usaha pertambangan (IUP) yang tercatat melonjak drastis menjadi lebih dari 10.000 izin. Ada gejala obral izin oleh kepala daerah setempat. Obral izin tersebut sangat terkait dengan logistik untuk pemilihan kepala daerah.

Lantaran diobral yang sifatnya serba cepat, prinsip tata kelola yang baik diabaikan. Akibatnya, izin tumpang tindih, pengawasan di lapangan lemah, bahkan sampai pada praktik penyuapan demi terbitnya izin tersebut. Di sektor keuangan negara, banyak pemegang IUP yang tidak menyetor pajak dan royalti.

Hasil Koordinasi dan Supervisi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2016 menyebutkan, dari 10.000 lebih IUP di Indonesia, sebanyak 90 persen tidak menyetorkan dana jaminan reklamasi, 70 persen tidak membayar pajak dan royalti, serta 36 persen tidak memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP).

Tunggakan kewajiban itu mencapai Rp 4 triliun (Kompas, 1/8/2017). Belum pula di sektor minyak dan gas bumi. Kendati sedari awal lebih banyak dikendalikan pusat, bukan berarti tak ada urusan di daerah. Izin yang harus diurus dari lintas kementerian dan institusi, baik di pusat maupun di daerah, lebih dari 300 jenis izin.

Tak jelas pula kapan selesainya setiap izin tersebut. Sebagai contoh, Blok Masela di laut lepas Maluku yang ditemukan pada 1998, keputusan pengelolaannya baru keluar pada 2016.

Pertanyaannya adalah apakah setelah segala wewenang ditarik ke pusat lantas masalah bisa selesai? Belum ada yang tahu dan menjamin. Mengutip pernyataan Kepala Bidang Geologi dan Air Tanah pada Dinas ESDM Pemerintah Provinsi Banten Deri Dariawan dalam sebuah diskusi di Jakarta beberapa waktu lalu, sebenarnya UU yang sudah ada cukup bagus. Hanya saja, implementasi di lapangan yang bermasalah.

Sebenarnya UU yang sudah ada cukup bagus. Hanya saja, implementasi di lapangan yang bermasalah.

Implementasi itu jelas menyangkut tentang kapasitas sumber daya manusianya. Apa artinya UU yang bagus, tetapi tak dilaksanakan? Aturan yang baik, tetapi tak dipatuhi dan sanksi tak diberikan? Selain soal kualitas, terbatasnya jumlah sumber daya turut menambah runyam persoalan.

Toh, ditariknya segala wewenang ke pusat belum menjamin semuanya akan baik-baik saja. Beberapa berpendapat bahwa kualitas sumber daya di pusat lebih bagus ketimbang di daerah. Kenyataannya, 100 persen tidak benar. Buktinya, korupsi yang melibatkan orang-orang di pemerintah pusat dari lintas instansi dan kementerian seolah tak pernah reda.

Baca juga: RUU Cipta Kerja Pangkas Peran Daerah di Sektor Energi

Catatan lainnya adalah adanya pandangan bahwa sumber daya alam yang ada di daerah adalah milik daerah yang bersangkutan. Jadi, meski semua perizinan ditarik ke pusat, investor tak mungkin tidak izin atau sekadar ”permisi” kepada pemerintah setempat. Ini terkait dengan isu pemanfaatan tenaga kerja lokal dan konten lokal itu sendiri.

Semua pihak boleh optimistis dan itu keharusan. Oleh karena itu, sekali sah menjadi UU, pelaksanaannya harus konsisten. Pemerintah bertanggung jawab menyediakan sumber daya yang cukup, berkualitas, serta berkomitmen bahwa sumber daya alam untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, bukan kemakmuran diri sendiri dan kelompoknya.

KOMPAS, 06032020 Hal. 17.

Print Friendly, PDF & Email

Share this post:

Related Posts

Comments are closed.