Dari mula pun tidak terlalu sulit menduga, bila kehadiran Rancangan Undang- Undang (RUU) Cipta Kerja mengundang reaksi, polemik, atau bahkan debat. Yang tidak terduga, kalau ada penolakan.
Perbedaan pandang ataupun pendapat, adalah jamak. Tetapi pertanyaan yang akhirnya menunggu, lantas bagaimana? Mau diselesaikan atau tidak? Karenanya mencermati rancangan undang-undang (RUU) itu sendiri secara utuh menjadi penting, agar peta persoalan menjadi jelas.
Agar cara pandang bisa obyektif. Agar jalan keluar ditemukan. Bukankah kritik sebaiknya juga mesti disertai solusi?
Tujuannya baik
Kalau menyimak, baik wacana selama proses pengolahan ataupun penjelasan yang diberikan sesudah kelahiran RUU, semestinya diakui dan diterima bahwa latar belakang pikir dan tujuan yang ingin digapai, adalah baik. Bukankah penyederhanaan perizinan itu baik, dan sepantasnya diwujudkan?
Bukankah memberikan kemudahan berusaha juga penting ? Prosedur dan proses perizinan usaha yang berbelit pantaslah dipangkas. Yang panjang dan bertele-tele dibuat pendek dan dipercepat. Bukankah semua itu bagus?
Latar pikir sebagaimana dijabarkan dalam “Menimbang huruf b dan c” RUU, cukup jelas. Tujuan yang ingin diwujudkan, juga diutarakan dengan terang dalam Bab II dari Pasal 2 hingga 6. Soal rumusan sudah barang tentu bisa saja disempurnakan.
Singkatnya, seperti banyak diwacanakan, kebijakan politiknya baik dan tujuannya juga jelas: memperluas, mempermudah dan mempercepat penciptaan lapangan kerja. Lantas di mana masalahnya?
Singkatnya, seperti banyak diwacanakan, kebijakan politiknya baik dan tujuannya juga jelas: memperluas, mempermudah dan mempercepat penciptaan lapangan kerja.
Selain menegaskan beberapa kebijakan pokok, RUU yang berisikan 15 bab dan 174 pasal tersebut berisi jabaran keinginan untuk mewujudkan tujuan tadi. Jalannya melalui pengubahan dan penghapusan ketentuan serta pencabutan UU, yang kalau dihitung mencapai 91 UU.
Baca Juga: Omnibus Law dan Kekhawatiran Buruh
Entah persis atau tidak, kalau jabaran tentang cara dan laku mewujudkan tujuan tadi ditelisik, ada kurang lebih 1.253 titik atau langkah yang terkandung dalam RUU. Namun kalau materi di setiap titik atau langkah tadi diteliti, di luar isu makro tentang cara dan bentuk pendekatan, jangan-jangan jumlah itupun akan bertambah.
Bisa dibayangkan, mungkin sebanyak jumlah itu pula masalah yang nantinya akan menjadi panduan bahasan dalam DIM (Daftar Isian Masalah), untuk pembahasan di DPR nanti. Agaknya soal lingkup, materi dan teknik penjabaran itulah yang kemudian banyak dirasa ‘kurang terukur’. Apa saja dan bagaimana duduk soalnya?
Aspek formal atau prosedur
Mengawali aspek ini, pertanyaannya: apakah langkah perubahan, penghapusan dan pencabutan sekian banyak undang-undang (UU) tadi dapat dilakukan melalui satu UU seperti yang akan ditempuh dalam RUU Cipta Kerja? Bagaimana bila hal itu ditilik dari segi aturan pembuatan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 jo UU No 15 Tahun 2019?
Seperti rakyat Indonesia lainnya yang terikat dengan semua UU negara ini, para anggota DPR pastilah juga akan menguji pertanyaan tadi dengan UU Nomor 12 dan 15 tadi.
Amanatnya, pembentukan peraturan perundang-undangan mesti dilaksanakan dengan cara dan metode yang pasti, baku dan standar yang mengikat semua lembaga yang berwenang membentuk peraturan perundang-undangan. Bukankah untuk memberi kepastian, pembakuan dan standar tersebut, UU Nomor 12 jo Nomor 15 itu sendiri yang justru mengatur dan dengan begitu harus diindahkan?
Terlepas dari hal-hal yang bersifat normatif dan teoretik, pemahaman dan praktik yang selama ini dipegang, kalau mau mengubah atau menghapus ketentuan dalam UU A, susunlah RUU Perubahan UU A. Begitu pula bila berniat mencabut UU B, ajukanlah RUU Pencabutan UU B.
Sekarang, akankah dimulai cara, bentuk dan tradisi baru, yaitu mengubah, menghapus dan atau mencabut beberapa UU sekaligus melalui satu UU seperti RUU Cipta Kerja kali ini? Tetapi kalau cara, bentuk dan tradisi baru itu yang akan diwujudkan, bukankah untuk itu sendiri berarti harus mengubah dulu UU Nomor 12 Tahun 2011 jo UU Nomor 15 Tahun 2019 ?
Konsekuensi keinginan hidup dengan tatanan yang sistemik dan teratur, ya demikian. Itu kalau tak ingin dikatakan amuk-amukan. Pastilah menyesatkan bilamana menganggap metode omnibus adalah cara untuk menghapus, mengubah dan atau mencabut satu atau bahkan banyak UU sekaligus dengan atau melalui satu UU.
Samalah menyesatkannya seperti kesalahkaprahan yang tampil selama ini, ketika melekatkan predikat law untuk omnibus. Omnibus bukanlah hukum, dan bukan pula UU. Omnibus adalah metode untuk merangkai pelaksanaan sebuah kebijakan politik dalam berbagai kegiatan yang masing-masing sudah diatur terpisah dalam banyak UU. Omnibus memang bukan law atau act, dan bukan pula instrumen sapu jagat untuk membabat.
Omnibus adalah metode untuk merangkai pelaksanaan sebuah kebijakan politik dalam berbagai kegiatan yang masing-masing sudah diatur terpisah dalam banyak UU.
Karena itu pula adalah keliru bila sekadar untuk pembenaran langkah, lantas menjadikan UU Nomor 9 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan sebagai ‘defence’ dan padanan metode dalam RUU Cipta Kerja ini.
Sesungguhnya, UU Nomor 9 itulah yang justru menerapkan metode omnibus secara benar (walau mungkin, karena waktu itu belum tahu, tidak mengatakannya sebagai demikian). Kebijakan politiknya jelas, memberi akses informasi keuangan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk minta dan bisa mendapatkan informasi keuangan dilingkungan perbankan, pasar modal atau institusi keuangan lainnya.
Memberi akses terhadap informasi, tanpa mengubah atau menghapus atau mencabut ketentuan apapun dalam berbagai UU perbankan, pasar modal atau lainnya. Demikianlah, dari satu contoh dalam aspek formal/prosedur ini saja, problema telah mengadang. Bagaimana dengan soal-soal yang menjadi isi RUU Cipta Kerja?
Aspek substansi
Banyak substansi dalam RUU yang tampaknya memerlukan pendekatan dan kewaspadaan. Isu-isu sekitar analisis mengenai dampak lingkungan (amdal), Izin Mendirikan Bangunan (IMB), pencabutan UU Gangguan, usaha Pers, hubungan pusat dan daerah dalam kaitannya dengan penarikan kewenangan, perubahan stelsel pidana dengan denda, penghapusan kewajiban menggunakan paten di Indonesia (baca “Pembonceng Omnibus”, Kompas, 13/2/2020), dan lain-lain, hanyalah sedikit contoh tentang perlunya kecermatan dan kewaspadaan dalam soal materi dan dampak RUU ini.
Bagaimana jadinya arah kebijakan baru dan bentuk tatanan baru dalam soal-soal yang substantif itu nanti, pastilah menjadi otoritas Presiden dan DPR yang kelak akan membahasnya. Namun begitu, soal-soal tadi hanya sebagian persoalan substansi yang kini menjadi perhatian publik, dan sebenarnya juga kepentingan pemerintah sendiri. Benar juga: the devil is in the detail.
Demikian pula halnya dengan upaya pembenahan konsep kewenangan. Penilaian bahwa faktor utama dalam perizinan terletak pada soal kewenangan, tidaklah keliru. Pengaturan kewenangan dalam sektor sebagai kewenangan menteri/pimpinan lembaga yang masing-masing dipertegas dalam berbagai UU sektor yang bersangkutan, memang melahirkan tembok dan pengkotakan dalam penyelenggaraan administrasi pemerintahan ataupun layanan masyarakat.
Hal itu telah berlangsung lama dan berakar dalam sejarah pembangunan kita. Tembok dan kotak tersebut bukan saja melahirkan proses yang berlapis/tumpang tindih, tetapi juga ragam yang banyak, panjang, dan menyulitkan.
Upaya untuk menegaskan agar kewenangan menteri di berbagai UU yang telah ada, dibaca sebagai kewenangan Presiden (Pasal 164 Bab XI tentang Pelaksanaan Administrasi Pemerintahan untuk mendukung Cipta Lapangan Kerja) karenanya dapat dipahami. Namun kalau kesempatan seperti sekarang dianggap sebagai momentum perbaikan, sebaiknya itu dilakukan dengan runutan dan penataan pikir yang mendasar.
Di luar judul Bab III tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara, sesungguhnya UUD hanya mengenal istilah presiden dalam konstelasi penyelenggaraan kekuasaan negara. Presiden adalah pemerintah. Soal embel-embel ‘pusat’ yang kemudian digunakan dalam rumusan berikutnya, sama sekali tidak mengurangi esensi tadi.
Banyak substansi dalam RUU yang tampaknya memerlukan pendekatan dan kewaspadaan.
Meskipun melalui amandemen UUD kekuasaan membuat UU digeser ke DPR, tetapi penyelenggara kekuasaan pemerintahan negara tetaplah presiden. Presiden (dan wakil presiden) pula yang bersumpah untuk selalu memegang teguh UUD dan menjalankan segala UU dan peraturannya. Melanggar sumpah itu, presiden bisa kena perkara.
Karenanya kalau mau membenahi, memperbaiki, inilah momentum. Tegaskan sikap politik dan hukum, bahwa presiden adalah pemerintah. Presiden lah penyelenggara kekuasaan pemerintahan. Segala kewenangan pemerintahan, pertama-tama datang dari dan ada di tangan presiden. Tak perlu bersikap ambigu dalam menegaskan kewenangan pemerintahan di setiap UU.
Lebih tegas, lebih jelas, gunakan saja satu kata: presiden. Soal presiden nanti mendelegasikan sebagian kewenangan (katakanlah di tiap sektor yang diatur dalam UU yang bersangkutan), itu tanggung jawab presiden. Itu soal efektivitas dan efisiensi dalam menajemen pemerintahan. Ada kaidah-kaidah yang mengikat. Di atas segalanya adalah tujuan agar kewenangan pemerintahan —termasuk perizinan dalam tiap sektor atau bidang —dapat dikontrol, dan tumpang tindih dapat dihindarkan.
Cobalah renungkan pula contoh kekacauan pikir seperti ketika Pasal 164 Bab XI RUU berniat menegaskan kewenangan presiden tadi, tetapi di tempat lain dalam RUU yang sama masih mengobral istilah ‘pemerintah pusat’ (terdiri dari presiden, wakil presiden, menteri, kepala lembaga) dalam soal-soal terkait dengan perizinan itu.
Kekacauan pikir pula yang tampaknya menjadi biang perdebatan tentang konsepsi penggunaan peraturan pemerintah (PP) untuk keperluan perubahan UU (Pasal 170 RUU). Tata urutan perundangan jelas tak memungkinkan. Namun kalau menyisir pemikiran yang tertuang di Ayat (1) Pasal 170 RUU tadi, masalahnya jadi jelas. Bukan soal salah ketik. Bukan drafting fault’. Bukan pula soal salah mengartikan perintah. Jauh dari itu. Masalahnya justru berpangkal dari desain pikir dan persepsi keliru.
Seperti kemudian diargumentasikan bahwa PP pernah digunakan untuk mengubah UU dalam UU Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai, UU Nomor 8 Tahun 1983 tentang PPN, UU Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan, ataupun UU 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian, hal itu jelas contoh acuan yang salah.
Delegasi kewenangan yang diberikan kepada presiden untuk mengubah UU dengan menggunakan PP, hanya sebatas untuk perubahan tarif bea meterai, pajak dan besaran modal usaha perasuransian saja. Delegasi kewenangan serupa itu tidak dapat bila lantas digunakan sebagai aturan umum atau pola bagi perubahan peraturan perundang-undangan!
Di luar contoh-contoh persoalan substansi tadi, mengantisipasi kemungkinan dihadapinya kekosongan hukum yang muncul dari belum siapnya perangkat yang justru diperintahkan dalam UU, juga layak diwaspadai. Ambillah sebagai misal, konsep pencabutan hak atas tanah dan kesiapan menajemen Bank Tanah seperti dirancang dalam Pasal 171 (Bab XIII Ketentuan Lain-lain).
Atau contoh lain: perintah penerbitan berbagai peraturan dalam tempo satu bulan terhitung mulai berlakunya UU nanti (Pasal 173 Bab XV Ketentuan Penutup), rasanya juga penting diperhatikan. Bagaimana kalau karena satu dan banyak hal, tidak bisa terwujud?
Dimensi politik
Penulis bukanlah politisi. Tetapi bagaimana bila perbedaan pandang dan pengertian tentang segala aspek formal dan substansi tadi tidak terkelola dengan baik di tataran partai politik ketika membahas RUU Cipta Kerja tersebut? Benturan pendapat yang berawal dari visi dan cara pandang masing-masing, akan menjadi ramai.
Benturan pendapat yang berawal dari visi dan cara pandang masing-masing, akan menjadi ramai.
Baik tentang proses penanganan maupun mengenai bentuk akhir RUU itu sendiri. Tidak hanya antara partai politik yang tergabung dalam kelompok koalisi dan yang di luar itu. Di dalam kelompok koalisi pun bukan tidak mungkin gesekan perbedaan akan terjadi. Bukan hanya ramai di dalam gedung DPR, tetapi semuanya akan tersiar luas melalui media.
Bukan juga tidak mungkin, dan jangan-jangan tidak banyak yang menduga, kalau berkembang sikap mendukung begitu saja apapun posisi RUU saat ini. Kalau itu yang terjadi, dunia akademik dan kelompok profesi lainnya yang saat ini berupaya ikut membangun dan memelihara tatanan nasional (termasuk dalam bidang hukum dan perundang-undangan), akan bereaksi keras. Pada gilirannya, publik pasti akan mengikuti dan ikut larut dalam kegaduhan.
Mungkinkah jalan keluar?
Jauh dari rasa sok tahu apalagi menggurui. Dengan memerhatikan spektrum persoalan ataupun kemungkinan dampaknya, sebaiknya bila semua bersikap bijak dalam menangani RUU Cipta Kerja. Kalau tujuannya baik dan karenanya layak diamankan, seyogianya soal bentuk dan isi RUU juga dapat ditimbang dengan bijak.
Perlu ada semangat ‘take and give’, perlu ada semangat musyawarah dalam menanganinya. Rasanya pula, perlu semacam ‘jalan tengah’ dalam penyelesaiannya. Presiden mendapatkan tujuan politik yang ingin diwujudkan, tetapi luwes dalam soal isi, dan cara serta bentuk penuangannya, ataupun waktu bagi penanganannya.
Dengan metode omnibus, RUU memuat pokok kebijakan politik dan tujuan yang akan diwujudkan, serta memberi arahan prinsip-prinsip tentang kewenangan, penyederhanaan perizinan dan kemudahan berusaha di semua lini, yang perlu bagi penciptaan lapangan kerja. Sedangkan pelaksanaan perubahan, penghapusan ketentuan ataupun pencabutan UU tertentu, dituangkan dalam bentuk RUU perubahan, penghapusan atau pencabutan UU yang bersangkutan.
Prosedurnya mengikuti prinsip-prinsip dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 jo UU Nomor 15 Tahun 2019. Secara teknis, mestinya dapat berlangsung relatif cepat dengan memindahkan materi yang sudah ada di bagian atau paragraf dalam RUU Cipta Kerja, dan memberinya masing-masing baju RUU tersendiri.
Kemungkinan lain yang dapat ditimbang, dan masih tetap dengan metode omnibus, adalah RUU Cipta Kerja seperti yang ada sekarang, tetapi membatasi isinya hingga bidang tertentu saja, misalnya penyederhanaan perizinan di bidang investasi dan UMKM. Langkah ini bisa bermakna omnibus dalam arti yang sebenarnya, sebagai metode seperti pada UU Nomor 9 Tahun 2017. Langkah serupa dapat saja ditempuh bagi kebijakan politik yang berkenaan dengan pengadaan lahan dan kelancaran proyek.
Konsekuensi yang dihadapi adalah akan banyaknya RUU yang harus disiapkan. Mengingat besarnya kepentingan, semua memang harus diajukan dan diprioritaskan penyelesaiannya dalam 2020 ini. Bahwa semua tadi akan mendesak RUU yang sudah diagendakan dalam Prolegnas 2020, jelas akan menjadi timbangan berdasar urgensi.
Kemauan untuk bersepakat dalam musyawarah antara presiden dan DPR, akan menentukan. Dari sisi prolegnas, bukankah Pasal 23 Ayat 2 huruf b UU Nomor 12 Tahun 2011 jo Nomor 15 Tahun 2019 memberi jalan untuk itu?
Semua akan melibatkan kerja yang banyak, makan waktu dan tenaga ekstra, dan tidak ringan. Tetapi adakah sesungguhnya yang mudah, cepat dan murah demi terwujudnya kebijakan politik dan tujuan penciptaan lapangan kerja ini? Itu semua memang tantangan. Ya bagi presiden, ya bagi DPR.
Kemauan untuk bersepakat dalam musyawarah antara presiden dan DPR, akan menentukan.
Cara pemecahan tadi, kalau berkenan menimbang sebagai jalan tengah, rasanya membutuhkan kebesaran hati semua pihak yang berwenang dalam pembuatan UU. Secara politik, presiden perlu bersepakat dengan pimpinan DPR beserta fraksi yang ada.
Bila harus melambarinya, karena semua anggota DPR memiliki penjuru, di masa reses mereka, presiden dapat membicarakan terlebih dahulu dan membuat kesepakatan tersebut dengan para ketua umum dan pimpinan partai politik yang ada. Semoga saja menjadi perkenan para pemimpin negara ini. Sekali lagi, semoga.
(Bambang Kesowo Pengajar Sekolah Pasca Fakultas Hukum UGM, Ketua Dewan Penasihat IKAL Lemhannas)
KOMPAS, 06032020 Hal. 6.