OMNIBUS LAW: Obesitas PP “Omnibus Law”

Pekan kedua Februari lalu, pemerintah secara resmi menyerahkan RUU Cipta Kerja kepada DPR. Dengan struktur perumusan yang cukup membingungkan, RUU ini terdiri atas 174 pasal induk yang tertuang dalam draf setebal 684 halaman di luar bagian penjelasan.

Rancangan regulasi tersebut berisi norma pokok RUU Cipta Kerja sebagai undang-undang (UU) baru dan sekaligus memuat perubahan dan pembatalan norma sebanyak 79 UU multisektor.

Lebih jauh, dari draf yang ada juga dapat dibaca, terdapat hampir 500 norma delegasi pengaturan kepada peraturan pemerintah (PP). Secara kuantitatif, delegasi pengaturan ke dalam PP jauh melebihi jumlah pasal induk yang terdapat dalam RUU itu sendiri. Sesuatu yang amat fantastis untuk ukuran jumlah sebuah peraturan pelaksana.

Secara normatif jawaban atas pertanyaan tersebut sangat sederhana, yaitu karena PP lebih mudah membentuknya. Sesuai Pasal 5 Ayat (2) UUD 1945, PP ditetapkan oleh Presiden dalam rangka melaksanakan UU. Artinya, PP sebagai peraturan pelaksana (delegated legislation) cukup selesai di meja Presiden tanpa harus melalui proses panjang di parlemen.

Dengan demikian, ketika sebuah RUU memilih untuk memberikan banyak delegasi kepada PP, sudah dapat dibayangkan bahwa para perancang RUU hendak memberikan ruang lebih besar kepada pemerintah untuk melakukan pengaturan.

Selain alasan normatif itu, dalam Naskah Akademik RUU Cipta Kerja juga dapat dibaca ihwal paradigma yang digunakan dalam menyusun RUU ini, yaitu fleksibilitas bagi pemerintah pusat. Dengan alasan fleksibilitas, pilihan mendelegasikan pengaturan kepada PP telah diambil. Dalam konteks itu, keberadaan PP sebagai peraturan delegasi hendak dimanfaatkan sebagai pengisi ruang fleksibilitas yang disediakan bagi pemerintah.

Atas nama fleksibilitas, berbagai wewenang pemerintahan yang selama ini telah dibagi dalam sejumlah UU, ditarik menjadi wewenang Pemerintah Pusat. Penarikan itu dilakukan dengan merumuskan pasal yang menegaskan wewenang pemerintah pusat atas urusan tertentu, lalu diikuti dengan norma yang mendelegasikan pembentukan PP untuk mengatur pelaksanaan wewenang tersebut.

Dengan demikian, sangat jelas bahwa RUU Cipta Kerja hendak menempatkan PP sebagai sarana untuk menampung fleksibilitas pemerintah dalam mengatur berbagai aspek kehidupan rakyat yang saat ini diatur dalam 79 UU yang diubah melalui RUU itu.

Keliru fleksibilitas

Konstruksi berpikir fleksibilitas dalam membentuk UU jelas mengandung kekeliruan. Setidaknya terdapat tiga alasan mendasar yang dapat digunakan untuk menyanggah hal tersebut. Pertama, Pasal 4 UUD 1945 menegaskan bahwa Presiden memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar.

Berdasarkan ketentuan tersebut, Presiden memiliki kekuasaan yang sangat luas dalam memimpin dan menyelenggarakan pemerintahan. Artinya Presiden memang memiliki fleksibilitas dalam melaksanakan kekuasaannya. Hanya saja, fleksibilitas kekuasaan Presiden berada dalam pagar konstitusi, di mana kekuasaannya harus dijalankan di bawah pengawalan hukum.

Kedua, UU merupakan instrumen hukum utama untuk memandu berjalannya kekuasaan Presiden sesuai konstitusi. Dalam konteks itu, UU merupakan sarana untuk membatasi kekuasaan Presiden agar ia tidak bergerak liar dan akhirnya berubah menjadi kekuasaan tanpa batas dan sewenang-wenang. UU harus mengatur pembatasan-pembatasan agar kekuasaan pemerintahan berjalan sesuai kehendak konstitusi dan kepentingan publik.

Ketiga, fleksibilitas yang begitu luas sebagaimana tergambar dalam konstruksi normatif RUU Cipta Kerja akan menempatkan Presiden sebagai sentral dalam pembentukan regulasi. Dengan demikian, sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan yang juga memiliki posisi dominan dalam pembentukan regulasi, maka kekuasaan negara akan makin terkonsentrasi di tangan Presiden. Dengan makin terkonsentrasinya kekuasaan, peluang otoritarianisme jelas akan semakin terbuka.

UU harus mengatur pembatasan-pembatasan agar kekuasaan pemerintahan berjalan sesuai kehendak konstitusi dan kepentingan publik.

Tiga alasan itu juga diperkuat dengan fakta bahwa fleksibilitas pemerintah pusat juga diiringi dengan hadirnya Pasal 170 RUU Cipta Kerja yang mengatur bahwa UU dapat diubah dengan PP. Menteri Koordinator Politik Hukum dan HAM (Menkopolhukam) dan Menteri Hukum dan HAM memang telah mengklarifikasi kemungkinan adanya kesalahan dalam pengetikan, namun klarifikasi itu berseberangan dengan surat Menko Perekonomian yang beredar ke publik bahwa norma itu memang disusun secara sadar.

Jika dikaitkan dengan konstruksi fleksibilitas pemerintah pusat dalam RUU ini, alibi salah ketik tentu akan terbantahkan. Bahkan, dari teks norma yang dirumuskan, alasan salah ketik agaknya tak lebih dari sekadar jalan untuk menjatuhkan diri secara lebih lunak.

Berdasarkan berbagai argumentasi di atas, sangat jelas bahayanya jika UU terlalu banyak mendelegasikan pengaturan kepada PP. Oleh karena itu, RUU ini harus dibatasi agar tidak memberikan delegasi terlalu banyak kepada peraturan delegasi.

Bahaya superiotas PP

Pemaknaan fleksibilitas pemerintah pusat yang kurang cermat dan diringi pula dengan menjadikan PP sebagai instrumen mengejawantahkan fleksibilitas pada gilirannya akan menempatkan PP sebagai peraturan pelaksana dengan kekuatan yang menandingi undang-undang, bahkan bisa lebih kuat. Dengan posisi seperti itu, kekuasaan legislasi Presiden akan semakin bertambah dan akan melampaui kekuasaan legislasi DPR. Mengapa demikian?

Pertama, dalam Pasal 20 Ayat (2) UUD 1945 diatur, Presiden memiliki setengah kekuasaan legislasi. Setengah kekuasaan membentuk UU yang dimiliki Presiden sama kuatnya dengan setengah kekuasaan lainnya yang dipegang DPR. Dengan kekuasaan yang sama kuat, seharusnya UU tidak dibatasi hanya mengatur hal-hal yang bersifat umum dan selebihnya diserahkan kepada PP.

Obesitas yang akan berkonsekuensi terhadap superioritas PP yang hendak dibangun dalam RUU Cipta Kerja haruslah dieliminasi.

UU mesti mengatur lebih detail sehingga peluang penyalahgunaan oleh pemerintah dapat dikurangi. Kedua, ketika materi muatan yang akan diatur dalam UU makin disederhanakan dan sisanya didelegasi kepada PP, yang terjadi adalah penambahan kekuasaan legislasi Presiden. ini akan berkonsekuensi terhadap makin luasnya kekuasaan legislasi kepala pemerintahan dan semakin terbukanya peluang penyalahgunaan.

Agar kemudian tidak menimbulkan celaka bagi rakyat, obesitas yang akan berkonsekuensi terhadap superioritas PP yang hendak dibangun dalam RUU Cipta Kerja haruslah dieliminasi. DPR seharusnya tidak membiarkan hal ini berlanjut. Presiden tidak boleh diberi cek kosong dengan terlalu banyak menerima delegasi pengaturan. Hal-hal yang bersifat strategis terkait pelaksanaan wewenang pemerintah mesti dibahas DPR dan dimuat dalam UU.

Sejumlah materi UU yang telah ada dan dibatalkan RUU ini karena dianggap bersifat teknis haruslah dikaji serius oleh DPR. Delegasi pengaturan mestinya cukup untuk hal-hal yang bersifat jabaran dan teknis pelaksanaan belaka. Paradigma pembatasan mesti tetap dipegang guna menghadapi ide destruktif fleksibilitas dalam RUU Cipta Kerja. Sebab, hanya inilah jalan untuk tetap menjaga agar prinsip negara hukum yang demokratis tetap hadir dalam RUU Omnibus Law.

Khairul Fahmi, Dosen HTN, Peneliti Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas.

KOMPAS, 03032020 Hal. 6.

Print Friendly, PDF & Email

Share this post:

Related Posts

Comments are closed.